Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negara, Masyarakat Madani, dan Pergumulan Politik Muslim Modernis

27 Juli 2023   08:46 Diperbarui: 27 Juli 2023   08:48 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dari tulisan dan pandangan beberapa cendekiawan muslim modernis tentang civil society, agaknya cukup jelas bahwa konsep dari masyarakat Madani Di atas dirumuskan sebagai tatanan sosial politik yang mengandaikan keterlibatan peran pemerintah atau elit penguasa yang bersangkutan. 

Tatanan itu bukan sepenuhnya merupakan sesuatu yang lahir dari kesadaran kolektif dan kemandirian masyarakat, melainkan melibatkan peran dari negara. dalam konteks demikian, kalangan muslim modernis percaya bahwa salah satu bentuk dari perwujudan tatanan sosial politik itu pernah terjadi pada zaman nabi di Madinah, di mana peran pemerintah nabi dan para pembantunya dalam menciptakan tertib hukum dan penegakan keadilan masyarakat dapat dilihat. Ihsan Ali Fauzi, seorang cendekiawan muslim yang pemikirannya tumbuh dalam tradisi pemikiran Islam modernis, menyatakan bahwa "Nurcholis Madjid" sering berbicara tentang pentingnya penegakan elemen-elemen masyarakat madani seperti supremasi hukum, keberadaban, pluralisme, dan lain sebagainya. sebagai beberapa ciri civil society yang ditopang oleh negara yang kokoh dan berwibawa.

Oleh karenanya masyarakat madani dipandang tidak bertentangan dengan negara dan malah tidak mungkin tanpa negara, dan karena itu perbincangan masyarakat madani tidak akan menemukan manfaatnya tanpa peran yang tangguh dari negara. Adanya masyarakat madani mengisyaratkan identitas yang dipunyai bersama, setidaknya melalui persetujuan tidak langsung tentang garis-garis besar batas pranata politik. Dengan kata lain, kewargaan, dengan hak dan tanggung jawabnya, adalah bagian utuh dari pengertian sipil society. Kewargaan memberi landasan masyarakat madani. Kalau tidak, masyarakat itu tidak mempunyai keutuhan, sekadar menjadi bejana yang penuh dengan onderdil onderdil yang terpisah-pisah. Karena itu, pribadi dalam civil society diakui hak-hak asasinya oleh negara, tetapi, sebagai imbalannya, dituntut penunaian kewajiban kepada negara.

Ketika negara, karena kegagalan ya, telah kehilangan kepercayaan warganya, kewargaan itu sendiri akan menjadi saran pengorbanan yang pertama. Ketika legitimasi pemerintah runtuh, civil society juga terancam mengalami fragmentasi. Karena itulah tidak punya makna apa-apa membicarakan civil society tanpa negara yang cukup tangguh pada tataran ini gagasan Nurcholish Madjid tentang negara memang bisa dikesankan sebagai mewakili pemikiran Hegel yang tentang idealisasi peran negara. Akan tetapi, paradigma yang sebenarnya ingin dibangun oleh Nurcholis masjid ialah sebuah jalan kompromi untuk tidak senantiasa menghadapkan kekuatan masyarakat dengan negara. Di sinilah, menurutnya, masyarakat yang tidak terkontrol, yakni antara lain oleh negara, akan menjadikannya sebagai satu entitas yang melumpuhkan diri sendiri (self crippling entity). 

Pada saat yang sama, kekuatan negara yang tak terkontrol juga akan menjadi cikal bakal dari tumbuhnya otoritarianisme yang membunuh kreativitas dan kemandirian masyarakat. Sejalan dengan itu, masuk akal jika Nurcholis Madjid untuk kemudian diikuti oleh para intelektual-aktivis muslim modernis lain- -tidak menggunakan istilah " masyarakat sipil "sebagai terjemahan civil society. Ini terjadi karena penerjemahan apa adanya menjadi masyarakat sipil mengandaikan adanya pertentangan istilah itu dengan masyarakat lainnya lebih lanjut Nurcholis madjid percaya bahwa masyarakat madani itu sendiri bukanlah pengganti pemerintah. Unsur-unsur tertentu yang biasanya melekat pada masyarakat madani, seperti kemandirian (independence) dan ke sukarelaan (voluntary), memang dapat berperan menjadi faktor dalam mendorong tumbuhnya oposisi bagi negara. Namun, hal itu tidak berarti dapat menampilkan peran dan tanggung jawab negara dalam mendorong upaya-upaya demokratisasi. Meminjam istilah Asrori, aktivis NU yang bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah di Jakarta, harus diakui bahwa pada kenyataannya masyarakat tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu mempertahankan keberadaannya tanpa keteraturan politik dan ketundukan pada institusi yang lebih tinggi, yakni negara. Oleh karenanya, apa yang dilakukan oleh negara untuk masyarakat adalah sesuatu yang sah jika dalam masyarakat terjadi situasi ketidakadilan (injustice), ketidaksejajaran (in equalities), yang mengancam kepentingan universal masyarakat itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun