Mohon tunggu...
Mochammad Farhan Maulana
Mochammad Farhan Maulana Mohon Tunggu... Freelancer - Farhan Maulana

Tulisan adalah abadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan

5 Oktober 2019   18:10 Diperbarui: 5 Oktober 2019   18:23 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berusaha menahan air mata yang hendak menetes. Sekuat mungkin aku bertahan di sini, di tempat di mana semestinya aku bahagia bersama suamiku. Kutarik selimut, aku tidak mau bertemu dengan siapa-siapa, sekalipun itu suamiku.

Satria menarik ujung selimut, berusaha untuk menghiburku. Berusaha untuk membuatku berdiri tegak dan tegar menghadapi apa yang ada di depannya. Tetapi aku bersikeras untuk tidak menemui siapa-siapa hari ini. Aku malu dengan diriku sendiri.

Semua berawal ketika satu jam yang lalu, suamiku, Satria, baru datang dari kantor. Segera aku membuka dasi yang melilit lehernya, melepas sepatunya yang masih mengkilat, dan ia kubawa ke meja makan. Aku sudah menyiapkan beberapa santapan makan sore.

"Masakan istriku memang selalu enak. Nggak salah aku milih istri." Tandas Satria, dengan mulut mengunyah makanan yang kubuat.

"Bisa aja kamu," aku hanya terkekeh pelan.

Lalu percakapan mengalir begitu saja. Aku tertawa dan tersenyum ketika obrolanku dibalas dengan manis oleh Satria. Aku beruntung mempunyai suami sepertinya. Tidak menuntut apa-apa, dia menyayangiku apa adanya.

Namun suatu hal terjadi yang membuatku merasa kecil, merasa tidak pantas menjadi seorang perempuan. Ibu mertuaku, tiba-tiba datang dengan wajah tidak menyenangkan. Ia berbicara lantang kepadaku, di depan suamiku. Ia mengatakan kalau aku bukan perempuan sempurna jika masih belum memiliki anak.

Aku terkejut. Memang mertuaku dari awal tidak suka dengan kehadiranku. Tetapi ini kali pertama beliau berbicara seperti ini kepadaku. Tanpa sadar aku terlukai tanpa digores.

Aku sedih, marah, dan kecewa. Tetapi tidak ada yang bisa kulakukan selain berdiam diri di kamar. Menangis sekeras-kerasnya, dan sampai sekarang aku masih belum mau menemui Satria. Tetapi Satria tetap menghiburku supaya aku mau berbicara dengannya.

Sudah lebih dari 4 tahun aku berumah tangga dengan Satria tapi sampai sekarang masih belum diberi momongan. Aku terlalu takut, takut jika Satria meninggalkanku. 

Tetapi yang kutakuti tidak terjadi, Satria tetap setia. Selama ini Satria selalu mendukungku. Hanya saja, ibu dari Satria berbeda. Yang ada dipikirannya hanyalah cucu. Ia sangat mengharapkan cucu yang lahir dari rahimku.

Aku juga ingin mempunyai anak. Tapi kalau memang masih belum diberi, mau bagaimana lagi? Sebagai naluri seorang perempuan, aku ingin menjadi ibu seperti yang lainnya.

Tapi takdir berkata lain. Aku memang hidup berkecukupan. Suamiku bekerja di perusahaan pertambangan. Tetapi itu tidak lebih dari cukup jika aku tidak memiliki anak. Aku selalu berusaha. Tetapi jika memang ini jalanNya, aku harus selalu bersyukur dan tetap berusaha sekuat yang kubisa.

Besoknya, aku mendengar suara gaduh dari kamar ibu mertuaku. Aku mengintip dari pintu luar. Rupanya Satria sedang berdebat hebat dengan ibunya. Dan perdebatan itu tidak lain adalah membicarakanku.

"Rina itu istri aku, Ma. Seharusnya mama tidak bersikap seperti itu di depan menantu mama."

"Mama harus bersikap bagaimana untuk menantu mandul seperti Rina?"

Deg. Ucapannya begitu menusuk. Tanpa sadar tetesan air mata menetes di pipiku. Aku mendengar suara barang yang dibanting hingga berbunyi nyaring.

"Jaga ucapan Mama. Rina gak mandul. Mungkin Allah masih belum memberikan kami anak. Jadi tolong, Ma, jangan berucap kasar seperti itu."

"Mama pengen punya cucu. Apa salah kalau Mama pengen punya cucu dari keturunanmu? Lagian, dari awal mama memang gak setuju kalau kamu nikah sama Rina."

"Please, Ma. Jangan buat aku memilih antara mama dengan Rina. Mama pasti tahu aku akan memilih siapa!"

"Oh begitu. Kamu melawan mama hanya demi istri kamu yang mandul itu?"

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku langsung ke kamar dan tidak mau mendengarkan perdebatan mereka lagi. Berjalan terpontang-panting, aku menaiki tangga untuk menuju lantai dua tempat dimana kamarku dan Satria berada.

Di sana aku tidak menangis. Aku sudah bosan menangis. Sudah berapa kali air mata ini jatuh sia-sia. Sudah berapa kali hatiku disakiti tapi aku diam saja.

Saat aku melamun, Satria tiba-tiba datang. Mengeluarkan segala isi lemari sambil menyeret koper yang ada di samping lemari. Aku tentu bingung. Mengapa Satria memasukkan bajuku dan bajunya ke dalam koper. Langsung kuhampiri Satria, bertanya kepadanya tentang apa yang kubingungkan.

"Mending kita pergi saja dari sini," ucapnya dengan nada penuh kecewa.

"Kenapa, Mas? Kenapa mendadak seperti ini?"

"Aku kecewa sama ibu."

Aku tahu maksud dan arah pembicaraannya. Aku hanya menepuk pelan pundak Satria lalu mengelusnya perlahan-lahan.

"Mas, aku setuju kalau kamu mau nikah lagi. Berikan ibumu keturunan supaya dia senang."

Tentu Satria menatapku terkejut. "Nggak mau. Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?"

"Bahagiakan dulu ibumi, Mas. Itu yang terpenting."

"Nikah lagi saja. Itu istrimu mengizinkan." Tiba-tiba Ibu mertuaku berceletuk. Aku tidak sadar kapan ia berada di kamar kami.

"Nggak. Aku nggak mau. Aku cuma cinta sama Rina."

"Rina sudah mengizinkan kamu berpoligami. Lantas apalagi masalahnya?" Tandas ibu mertuaku.

"Masalahnya aku gak mau menduakan istriku. Aku cinta sama dia. Kalaupun dia masih belum memberiku anak, aku tetap cinta sama dia."

"Halah, cinta palsu!"

Dan di sini aku hanya bisa menjadi penenang Satria. "Sudahlah, Mas. Turuti saja kemauanku. Aku mengizinkanmu untuk berpoligami."

"Nggak, sayang. Aku nggak mau."

"Please, Mas, aku ikhlas." Aku memohon dengan sangat kepada Satria.

Satria tidak menjawab apa-apa. Tapi ia langsung memelukku. Dan pelukan itu kubalas dengan hangat. Mungkin ini jawaban dari Satria, jawaban yang diungkapkan tapi aku tahu maksudnya. Tujuanku hanya ingin membuat suasana rumah ini menjadi tentram.

Ibu mertuaku tidak sinis padaku, dan Satria tidak bertengkar dengan ibunya sendiri hanya gara-gara aku. Mungkin dengan Satria menikah lagi dan memberi ibunya cucu, mungkin beliau menjadi senang. Jika suami dan ibu mertuaku bahagia, aku juga merasakan seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun