"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!" - Soekarno
Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) telah menjadi isu yang telah dibicarakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebelum berbicara mengenai isu SARA, terlebih dahulu harus ditarik definisi dari isu itu sendiri. Gosip, rumor, desas desus, dan kabar burung, isu berbeda dari itu semua. Ketika terdapat jarak atau perbedaan antara harapan publik dengan aktivitas suatu organisasi[1], maka disitulah isu muncul.
Dalam konteks SARA, organisasi yang dimaksud adalah Negara Indonesia. Benang merah yang terbentuk antara isu, SARA, dan organisasi (Indonesia) menghasilkan definisi isu SARA yaitu hasil interaksi sosial masyarakat Indonesia, dimana terdapat perbedaan harapan masyarakat dengan realita yang terjadi di Indonesia. Masyarakat berharap tidak adanya perbedaan, semua sama sebagaimana sila ke-3 (tiga) Pancasila; Persatuan Indonesia.
Namun pada aktivitasnya, masyarakat Indonesia menemui fakta bahwa mereka sangatlah majemuk yang berbeda-beda dari suku, agama, ras, dan golongannya. Data Badan Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan fakta bahwa Indonesia memiliki 300 kelompok etnis, 1.340 suku, 2.332 komunitas adat dan 6 agama resmi.[2] Pada tataran empiris, isu SARA terwujud dalam bentuk penonjolan SARA seseorang yang kemudian dikaitkan pada suatu konteks tertentu, khususnya dalam konteks kontestasi.
Isu SARA dalam beberapa tahun terakhir semakin terasa kehadirannya, khususnya dalam kancah perpolitikan. Tidak lagi dilakukan secara tertutup, saat ini isu SARA secara frontal disampaikan oleh banyak orang di ruang publik. Namun sebenarnya, isu SARA adalah barang lama dalam sebuah kontestasi. Bukan hanya kontestasi politik, tapi setiap kontestasi yang menggunakan prinsip yang sama, yaitu pemenang berasal dari suara terbanyak.
Misalnya kompetisi bernyanyi seperti Indonesian Idol, yang menggunakan vote sms terbanyak untuk mencari pemenang. Banyak kontestan yang menggunakan SARA dirinya untuk meraup suara. Orang Jawa Barat akan menunjukkan keahlian bahasa sunda, orang Medan akan meneriakkan "Horas!", dan lain-lainnya. Sementara dalam kontestasi politik, seringkali muncul kalimat-kalimat seperti "Pilihlah Putra Daerah", "Millenial pilih Millenial", "Orang baik pilih orang baik", atau "Saya ini wong cilik".
Hal tersebut dilakukan untuk meraup suara, dengan memanfaatkan isu SARA yang ada. Isu SARA demikian masih dapat dibenarkan oleh moral dan etika, pun masih tidak dipermasalahkan oleh masyarakat. Terbukti dengan tidak adanya satu pun pihak yang tersinggung ataupun mempermasalahkannya. Sehingga cara demikian, sah-sah saja dilakukan dalam ajang kontestasi.
Masalah muncul ketika isu SARA digunakan untuk menjatuhkan dan mengajak untuk tidak memilih calon lain. Isu SARA sengaja diangkat dengan maksud menghina dan merendahkan calon lain.
Ketika memasuki kondisi demikian, sentimen SARA akan dikuatkan. Isu SARA dijadikan alat politis untuk menjelekkan dan menjatuhkan lawan yang secara tidak langsung mengunggulkan dirinya. Istilah-istilah seperti "Jangan pilih orang kafir", atau "Ganyang Cina". Pada tahap ini, terjadi apa yang disebut dengan diskriminasi SARA. Diskriminasi SARA ini akan mengarah kepada Black Campaign (Kampanye Hitam)[3].
Suatu keniscayaan bahwa persamaan SARA diantara orang dengan orang lainnya menimbulkan rasa solidaritas dan ikatan persaudaraan yang lebih kuat dibanding dengan yang berbeda SARA. Hal itu merupakan sifat naluriah manusia. Khusus dalam kontestasi politik, setiap calon membutuhkan basis suara atau massa yang setia dan loyal mendukungnya.
Wajar jika isu SARA digunakan si calon untuk meraup suara semaksimal mungkin ditengah lingkup pemilih yang majemuk. Hal ini dikuatkan dengan preferensi politik pemilih di Indonesia yang masih berkutat pada kesamaan SARA. Misalnya survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) periode 31 Maret - 5 April 2017 menunjukkan bahwa faktor pertimbangan kesamaan agama (16,7 persen) menjadi alasan terbesar kedua dalam penentuan pemilihan pada Pilkada DKI 2017.[4]