Industri infotainment saat ini telah menjadi sorotan yang kritis dalam konteks etika jurnalistik. Banyak pihak berpendapat bahwa infotainment lebih cenderung memprioritaskan sensasionalisme daripada prinsip-prinsip dasar jurnalistik seperti kebenaran, keseimbangan, dan integritas. Infotaiment sendiri muncul di Indonesia diawali oleh stasiun swasta pertama di Indonesia, yaitu RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Stasiun RCTI memproduksi siaran infotainment dengan nama "Kabar-Kabari", "Cek & Ricek" dan "Buletin Sinetron". Tak lama setelahnya, produsen acara "Cek&Ricek) melebarkan sayapnya yang tidak hanya menayangkan infotainment di televisi, melainkan juga memproduksi tabloid dengan nama yang serupa dan berkembang besar sampai saat ini.
Dalam definisinya, Infotainment yang secara harfiah merupakan penggabungan dari kata"information" dan "entertaiment" bermaksud sebagai penyampaian informasi yang dikemas secara menghibur. Pada dasarnya infotainment adalah jurnalisme ringan yangnberkembang di Amerika Serikat, katagori ini bukan hanya menampilkan informasi dunia hiburan semata tapi beraneka ragam berita dari olahraga, politik sosial budaya dan kriminal yang dikemas menjadi lebih lunak dan menghibur.
Saat ini semakin berkembangnya teknologi, infotaiment di Indonesia juga di dorong untuk semakin lebih maju. Dengan adanya media platform seperti Youtube, Instagram dan Tiktok sekarang media televisi sudah mulai tersaingi dengan adanya media baru tersebut. Banyak artis dan publik figure yang beralih ke media baru tersebut karena mereka bisa bekerja dalam dunia Infotaiment namun terbebas dari aturan yang ada pada media televisi. Namun hal ini mempunyai dampak yang negatif yang bersinggungan dengan pasal 40 SPS, diantaranya :
Program siaran jurnalistik wajib memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik sebagai berikut (pasal 40 SPS):
a) akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan;
b) tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan/atau cabul;
c) menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam peliputan dan/ atau menyiarkan program siaran jurnalistik dan tidak melakukan penghakiman; dan
d) melakukan ralat atas informasi yang tidak akurat.
Diantara artis dan publik figur yang beralih ke media platform yang baru ini, banyak juga kasus permasalahan terkait Etika Jurnalistik yang melibatkan mereka, karena menurut saya mereka menganggap semakin sensasional tayangan yang mereka buat tanpa memikirkan informasi fakta dari tayangan tersebut, maka semakin tinggi rating yang mereka dapatkan. Sekaligus dengan mengesampingkan prinsip jurnalistik penyiaran dalam pasal 40 SPS tersebut, dengan mencampurkan fakta dan opini, menyinggung antar golongan dan kadang dalam tayangan tersebut berisikan berita yang belum pasti kebenarannya.
Selain itu jika berbicara tentang wartawan infotaiment, pada tahun 2005, wartawan infotainment dituding telah melanggar banyak etika -- etika jurnalistik karna telah menyinggung kehidupan sang selebriti hingga ke dalam hal yang paling sensitif. Jurnalis infotainment seolah dituntut untuk menyajikan informasi yang tidak memiliki nilai berita menjadi informasi yang harus diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia, menggunakan isu-isu sensitif yang bisa mendongkrak rating tayangan infotainment, tak heran jika banyak stasiun televisi yang menyukai format infotainment karena biaya produksi yang murah dan dapat dengan cepat mendapatkan profit yang banyak mengingat tayangan yang penuh sensasi ini kerap mengundang banyak penonton.
Dalam dunia infotaiment ini tidak terlepas dari sensasi kontroversi, karena hal demikian yang sangat mudah membuat rating dari tayangan yang dibuat naik signifikan. Dalam hal ini mereka mengemas pemberitaan yang tidak begitu memperdulikan kedalaman jurnalistik, tapi lebih mengunggulkan berita-berita seputar seks, skandal, kriminal, yang dikemas dengan cara menghibur.
Terakhir, saya menyimpulkan infotaiment saat ini sering kali lebih mementingkan sensasionalisme daripada etika jurnalistik, karena beberapa hal diantaranya sebagai berikut ini :
- Penekanan pada Gossip dan Kontroversi, Infotainment modern sering kali didominasi oleh gosip dan kontroversi, dengan fokus yang kuat pada kehidupan pribadi selebriti. Informasi yang tidak relevan atau bahkan tidak terverifikasi sering kali diungkapkan secara sensasional, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada privasi dan kesejahteraan subjek yang sedang diperbincangkan. Hal ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap etika jurnalistik yang menekankan kebenaran dan keadilan dalam memberikan informasi.
- Kekurangan Verifikasi dan Faktualitas, Dalam upaya untuk memperoleh rating dan popularitas, infotainment sering kali gagal dalam melakukan verifikasi dan memastikan kebenaran informasi yang disampaikan. Berita palsu atau rumor yang tidak terbukti dengan cepat menyebar dan dapat mempengaruhi reputasi dan kehidupan seseorang. Keberadaan infotainment yang kurang memperhatikan etika jurnalistik berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap media dan mengaburkan batas antara fakta dan opini.
- Sensasionalisme sebagai Alat Pemasaran, Infotainment saat ini sering kali melihat sensasionalisme sebagai strategi pemasaran yang efektif. Judul-judul yang provokatif dan gambar-gambar menarik perhatian digunakan untuk menarik penonton dan menghasilkan klik. Hal ini dapat menyebabkan informasi yang tidak akurat atau terdistorsi, dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan perhatian dan popularitas, tanpa mempertimbangkan implikasi etisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H