Mohon tunggu...
Farhan Fakhriza Tsani
Farhan Fakhriza Tsani Mohon Tunggu... Akuntan - Seorang Pelajar

Tertarik pada sastra, isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pelarangan Tiktok Shop Tidak Akan Membuat Pasar Tanah Abang Kembali Ramai

25 September 2023   10:00 Diperbarui: 27 September 2023   01:00 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada periode 1910-an, Amerika Serikat mengalami kemajuan ekonomi yang pesat. Mereka menyebutnya the roaring twenties. Kemajuan ini terutama didorong oleh ledakan inovasi dan industrialisasi. Lini produksi yang diciptakan oleh Henry Ford di pabrik mobilnya menciptakan efisiensi yang belum pernah ada sejak konsep division of labour dikemukakan oleh Adam Smith. Akibatnya, produktivitas meningkat, pekerjaan mudah didapat, masyarakat sejahtera. Meskipun kisah the roaring twenties berakhir tragis dengan adanya Depresi Besar di tahun 1920-an, pesan moralnya tetap dapat kita ambil: kemajuan membutuhkan kreativitas.

Pada waktu itu, ketika para pengusaha mulai dapat memproduksi mobil dengan harga murah, peternak kuda merasa terancam. Bagaimana nasib delman yang selama ini mereka gunakan untuk transportasi? Perubahan itu jelas merugikan peternak kuda. Pertanyaannya, apakah mengganti delman dengan mobil akan merugikan ekonomi secara umum? Tentu tidak.

Sama seperti air yang secara alami mengalir ke tempat yang lebih rendah, ekonomi selalu mengalir ke tempat yang paling efisien. Coba tanyakan kepada dirimu sekarang, apakah kamu lebih suka membeli barang A dengan harga Rp5.000 atau Rp10.000? Lalu, jika dengan harga Rp10.000 kamu bisa mendapatkan barang tersebut sekarang juga, sedangkan dengan harga Rp5.000 kamu harus menunggu satu bulan, mana yang akan kamu pilih? Kita selalu memiliki pertimbangan sendiri dalam memilih produk. Namun, pada akhirnya tujuannya selalu sama: memilih yang paling efisien, entah itu dari segi harga, waktu, kualitas, maupun faktor lainnya.

Hari ini kita mengalami-- jika saya boleh menyebutnya demikian-- the roaring thirties. Kita menyongsong dekade ketiga di milenium baru ini dengan perkembangan teknologi informasi yang belum pernah dialami umat manusia sebelumnya. Platform e-dagang (e-commerce) yang mulai bermunculan di akhir abad ke-20 tengah mengalami perkembangan pesat. Sama halnya dengan para peternak kuda yang merasa terancam oleh kemunculan mobil, pedagang konvensional mulai terancam oleh kemajuan perdagangan elektronik ini.

Saya percaya bahwa ekonomi liberal tidak dapat diterapkan secara absolut. Biar bagaimanapun, the invisible hand tidak selalu mampu menciptakan pasar yang efisien, apalagi menciptakan distribusi yang merata. Peran pemerintah diperlukan dalam kadar tertentu untuk mengembalikan perekonomian pada titik keseimbangannya. Hampir semua orang mungkin setuju dengan gagasan tersebut. Namun, definisi “kadar tertentu” itulah yang akan memantik perdebatan. Di mana pemerintah harus campur tangan dalam perekonomian? Dan seberapa jauh?

Dalam proses transisi dari delman menuju mobil, masyarakat dituntut untuk menyesuaikan diri. Pemilik kuda dipaksa mengganti kudanya dengan mobil. Dan bukannya memegang pecut, mereka harus mulai belajar memegang kemudi. Tidak perlu waktu lama untuk seorang kusir bertransformasi menjadi seorang sopir, karena dasar pengoperasian delman dan mobil hampir sama. Selain itu, kelebihan mobil dapat dirasakan secara langsung. Mobil lebih nyaman, lebih cepat, dan lebih efisien dalam pemeliharaan. Singkat cerita, transisi ini berjalan relatif mulus.

Hari ini, seratus tahun sejak mobil menggantikan delman, kemunculan internet membawa implikasi yang lebih kompleks. Internet adalah benda tak terlihat yang rumit. Dia tidak seperti telegram atau telepon. Internet tidak hanya menghubungkan satu orang dengan orang lain, tapi menghubungkan seluruh dunia satu sama lain. Jarak menjadi tidak relevan dalam pertukaran informasi. Dunia yang luas seketika berubah menjadi sebuah desa kecil.

Sialnya, tidak seperti kusir yang dalam waktu semalam bisa menjadi sopir, pedagang konvensional yang puluhan tahun terbiasa menjajakan barangnya di lorong-lorong pasar tidak mungkin dalam semalam dipaksa memegang mouse dan berganti menjadi admin e-dagang. Kebanyakan pedagang di pasar konvensional gagap dengan kompleksitas proses bisnis e-dagang. Mereka yang terbiasa menjual dengan teriakan dan negosiasi langsung, kini harus berkutat dengan strategi pemasaran daring dan perhitungan biaya yang rumit. Akibatnya, penjual konvensional yang gagal mengikuti tren e-dagang akan tertinggal. Lorong-lorong pasar akan meredup digantikan gegap gempita promosi berbagai platform e-dagang. Disrupsi ini terlalu besar untuk terjadi dalam waktu yang begitu singkat.

Permasalahan yang kompleks ini tidak bisa diselesaikan dengan solusi sesederhana menutup platform. Suka tidak suka, mau tidak mau, perdagangan daring adalah masa depan. Internet menciptakan efisiensi dan efisiensi adalah jantung pertumbuhan ekonomi. Secara naluriah, manusia selalu ingin memenuhi kebutuhannya dengan cara semudah dan semurah mungkin. Internet dapat memenuhi naluri itu lebih baik daripada pasar konvensional.

Jika permasalahan yang muncul adalah “penjual konvensional kalah oleh penjual daring”, solusinya adalah paksa penjual konvensional untuk masuk ke pasar daring. Apakah akan semudah itu? Tentu tidak. Tugas pemerintah adalah memberikan akses kepada para penjual tersebut, terutama dari aspek pengetahuan. Akan lebih efektif bagi pemerintah untuk memberikan pelatihan berjualan daring kepada UMKM daripada menutup platform e-dagang itu sendiri. Intinya adalah, dalam setiap perkembangan teknologi, yang harus pertama kali diperhatikan adalah kemampuan manusianya. Tentu pada akhirnya tetap akan ada yang tersisihkan dan kalah. Namun, bisnis tetaplah bisnis. Apakah kita akan menyalahkan iPhone ketika Blackberry gulung tikar?

Selain itu, isu yang tak kalah rumit dalam dunia e-dagang adalah algoritma dan mahadata (big data). Platform seperti Tiktok Shop diduga mengatur algoritmanya agar menguntungkan produk yang dibuat di China. Selain itu, diduga mereka mengambil data penjualan barang di Indonesia untuk kemudian memproduksi barang yang sama di China dengan harga yang jauh lebih murah. Dalam pandangan ekonomi liberal hal ini tentu dibenarkan. Namun, dalam pandangan etika dan prinsip bernegara, fenomena ini akan menimbulkan perdebatan.

Sebenarnya, banjir produk China di pasar internasional tidak terjadi baru-baru ini saja. Sejak tahun 2000-an, produk China sudah membanjiri pasar berbagai negara. Bahkan, buah tangan yang biasa dibeli dari Arab Saudi saja berlabel “made in China”. Tasbih dan perlengkapan ibadah umat Islam banyak berlabel dibuat di China. Melihat fenomena ini, artinya China memang sudah lama mengambil ceruk pasar di berbagai segmen masyarakat, tak terkecuali umat Islam. Lalu pertanyaan kritisnya adalah, jika memang China sudah bertahun-tahun mengambil ceruk pasar di berbagai negara, apa salahnya jika sekarang mereka menggunakan data Tiktok Shop untuk melakukan hal yang sama?

Jika memang Tiktok Shop terbukti membuat algoritma yang diskriminatif terhadap produk lokal, hal ini harus diluruskan. Dilihat dari sisi mana pun diskriminasi merupakan hal yang salah. Namun, pihak Tiktok pasti akan membantahnya, dan pemerintah akan sangat kesulitan membuktikan tuduhan tersebut. Jika kita melihat sekilas dunia penjualan daring, tidak perlu analisis yang canggih untuk kita dapat menyimpulkan bahwa kebanyakan produk China selalu disertai video promosi yang ciamik. Produk lokal dengan kualitas dan harga yang sama jika tidak dipromosikan dengan masif dan menarik akan dengan sendirinya tenggelam dalam algoritma yang fair sekalipun. Lagi-lagi semuanya kembali ke skill pemasaran UMKM kita. Seberapa mampu mereka mengemas produk dalam iklan yang menarik akan menentukan keberhasilan penjualan daring mereka.

Persoalan algoritma dan mahadata memang memerlukan pembahasannya tersendiri. Namun, jika Tiktok Shop benar-benar ditutup, Pasar Tanah Abang dan pasar-pasar konvensional lainnya akan tetap sepi. Karena faktanya, Tiktok Shop sekarang hanya mendominasi sekitar 10% dari transaksi e-dagang di Indonesia. Masih ada pemain besar lainnya seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, dan Lazada. Mustahil untuk melarang penggunaan semua platform tersebut sekaligus.

Gagasan untuk meningkatkan kemampuan dan wawasan penjual dalam negeri bukan lahir begitu saja. Ini muncul dari cerita yang saya dapat saat mengikuti seminar “cara berjualan di Amazon”. Narasumber dalam seminar tersebut, sebut saja Melati, bercerita bahwa dia mengambil barang dari China untuk dijual kembali di pasar Amerika Serikat melalui situs Amazon. Melati adalah seorang WNI. Melati bercerita bahwa awalnya dia memiliki idealisme untuk mendukung UMKM Indonesia. Saat mencoba mencari pemasok dari Indonesia, dia mendapati pelaku UMKM di Indonesia tidak mampu bekerja sama untuk mengirim barang ke luar negeri. Saat dia meminta si penjual untuk mengemas barang sesuai ketentuan Amazon, dan mengirimkannya ke alamat gudang Amazon di AS, mereka menolak. “Ribet, Bu,” kata Melati menirukan kata-kata si penjual.

Menyerah atas idealismenya, Melati kemudian mencari pemasok dari China. Berbeda dengan produsen di Indonesia, produsen di China sangat kooperatif dan terlihat memahami potensi yang dibawa oleh Melati. Produsen China mau mengikuti arahan dari Melati. Bahkan, mereka mau menjual barang dengan harga grosir meskipun jumlahnya sedikit setelah tahu Melati sedang merintis tokonya di Amazon. Pola pikir seperti ini yang diperlukan oleh UMKM di Indonesia. Mereka harus diberi pemahaman bahwa sekarang dunia sudah menjadi sebuah desa kecil, dan karenanya penjualan ke AS dengan segala birokrasinya harus dipandang sebagai sebuah kesempatan.

Terlepas dari berbagai isu tersebut, saya secara pribadi percaya bahwa negara harus bertindak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, saya tidak percaya bahwa kemakmuran rakyat dapat dicapai dengan solusi dangkal yang berujung menghambat perkembangan teknologi. Akses terhadap teknologi dan segenap pengetahuannyalah yang menjadi PR negara. Buka akses seluas-luasnya melalui pelatihan maupun kuliah yang terjangkau. Dorong UMKM untuk berlatih dan masuk ke dalam hiruk pasar global. Berikan mereka pemahaman bahwa zaman sekarang produk sudah tidak lagi dijajakan di lorong-lorong pasar, tapi di lorong-lorong maya dunia internet.

Negara harus hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas akan menjadi bangsa yang sejahtera. Kita memang tertinggal, namun menghambat kemajuan ekonomi hanya akan membuat kita tertinggal lebih jauh. Jika kita tertinggal dalam maraton, jangan jegal lawan kita. Larilah lebih kencang untuk sampai lebih dahulu di garis finish.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun