Mohon tunggu...
Farhan Fakhriza Tsani
Farhan Fakhriza Tsani Mohon Tunggu... Akuntan - Seorang Pelajar

Tertarik pada sastra, isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Konservatisme Barat dan Ramalan Samuel Huntington tentang Masa Depan Politik Dunia

8 Desember 2019   17:46 Diperbarui: 9 Desember 2019   06:25 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rute imigrasi penduduk Timur Tengah dan Afrika. Sumber: National Geographic

Narasumber lainnya dalam liputan tersebut adalah Tanit Koch, seorang editor surat kabar. Dia  menekankan dampak penting peristiwa tersebut adalah mengubah banyak orang yang sebelumnya tidak dapat terbuka membicarakan beberapa tantangan dan masalah dan sekarang mereka merasa dapat membicarakannya. Ungkapan lengkapnya sebagai berikut:

"New Year's Eve 2016 changed a lot among the people who felt couldn't openly talk about certain challenges and problems and now feel they can. I think it's important that Germany finally opens up to a more liberal debating culture because some subjects simply were to boo." Di akhir video, kalimat terakhir dari pendapatnya ditampilkan secara dramatis. Tanit Koch dengan tegas mengatakan, "It was a wake-up call for the left."

Gelombang demi gelombang protes anti-imigran terjadi. Dan semuanya didorong oleh sebuah pemikiran dasar yang sama; bahwa arus imigran akan mengikis budaya mereka. Pada Februari 2018, the US Citizenship and Immigration Services (USCIS), lembaga yang mengurus kewarganegaraan dan imigrasi Amerika Serikat, menghapus frasa "nation of immigrants" dari pernyataan misinya. Hal ini mendapat apresiasi dari berbagai kelompok anti-imigran.

Liputan Journeyman Pictures juga menampilkan seseorang yang ditanya, "Apakah ada perbedaan antara Jerman sebelum Malam Tahun Baru dan Jerman setelah Malam Tahun Baru?" Dia menjawab, "Ya. Bahkan saya dapat mengatakan bahwa ada perbedaan antara Eropa Barat sebelum Malam Tahun Baru dan Eropa Barat setelah Malam Tahun Baru." 

Namun, perkembangan di tahun-tahun berikutnya membuktikan bahwa dia sepertinya salah. Rangkaian peristiwa setelahnya menunjukkan bahwa, perbedaan itu sepertinya tidak hanya di "Eropa" Barat saja, tapi di "Dunia" Barat secara keseluruhan.

Seluruh rangkaian peristiwa tersebut menyeret teori Fukuyama mendekati sebuah utopia, dan memperkuat pandangan Huntington sebagai sebuah realisme. Ketika Huntington pertama kali mempublikasikan teorinya 26 tahun lalu, banyak ilmuwan menentangnya dengan argumentasi bahwa pemerintah AS pada waktu itu, bahkan bisa menjalin kerja sama yang dekat dengan Arab Saudi. 

Bagaimana benturan itu bisa terjadi? Sementara Amerika Serikat, negara yang penuh kebebasan, bisa menjalin hubungan yang sangat harmonis dengan monarki absolut yang nilai-nilainya banyak bertentangan. Argumen tersebut sekilas terasa benar.

Namun jika kita teliti lebih lanjut, hubungan politis seringkali didasari motif lain yang dangkal. Hubungan Amerika Serikat dan Arab Saudi sebenarnya hanya diikat oleh benang tipis kepentingan minyak dan keamanan. Ketika Amerika Serikat mulai bisa memproduksi sendiri minyaknya dalam 5 tahun terakhir, Saudi mulai merombak perekonomiannya. Oktober 2019 lalu, Riyadh menggelar karpet merah menyambut Presiden Rusia Vladimir Putin. Para pengamat menilai Saudi sedang melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi dan politiknya dari Amerika Serikat.

Hubungan negara-negara Barat dan Saudi bisa dikatakan merenggang salam satu tahun terakhir ini, terutama karena isu pembunuhan wartawan Jamal Khasoggi. Kasus ini dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat oleh Barat. Pada Konferensi G20 tahun 2019 di Jepang, tidak ada satu pemipin Barat pun yang terlihat di muka umum bersalaman dengan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), selain Putin. Namun menurut Paradigma Peradaban-nya Huntington, Rusia tidak termasuk "negara Barat".

Perkembangan politik di  Barat setelah 2016 menunjukkan tren baru. Dimulai dari kemenangan Donald Trump, keluarnya Inggris dari Uni Eropa, terpilihnya Boris Johnson sebagai PM Inggris, meningkatnya antipati kepada Angela Merkel, hingga Oktober lalu, kegagalan Partai Liberal pimpinan Justin Trudeau mendapat suara mayoritas. Kegagalan tersebut, membuat Trudeau tidak dapat membentuk pemerintahan sendiri tanpa koalisi, tidak seperti periode sebelumnya.

Perkembangan di Jerman cukup mencengangkan. Pada pemilu Jerman 2017, koalisi partai Angela Merkel, CDU-CSU, memperoleh suara terburuk sejak berdiri pada 1949. Partai sayap kanan AfD, di sisi lain, mendadak memperoleh suara ketiga terbesar, membuatnya bisa melenggang ke parlemen untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun