Mohon tunggu...
Farhan Fakhriza Tsani
Farhan Fakhriza Tsani Mohon Tunggu... Akuntan - Seorang Pelajar

Tertarik pada sastra, isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kampus Impian yang Tak Terimpikan

19 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 19 Oktober 2019   17:06 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Air mancur, tempat yang paling ikonik di Politeknik Keuangan Negara STAN | Dok. polpicras.pw

"Mau kuliah di mana?"

Sejak menginjak bangku SMA, pertanyaan itu mulai sering dilontarkan padaku. Zaman sekarang, kuliah memang menjadi satu hal yang wajib bagi mereka yang mendambakan masa depan yang cerah. Meskipun pada kenyataannya pendidikan formal tidak menjamin kesejahteraan hidup seseorang di masa depan, namun kuliah sudah menjadi jalan yang paling lazim ditempuh sekaligus paling mudah agar seseorang bisa meraih kesuksesan. Aku pun berpikir begitu. Tapi aku sama sekali tak punya ide harus kuliah di mana. Aku sama sekali tak tahu. Maka setiap kali pertanyaan semacam itu terlontar, aku hanya bisa menjawab pendek, "Belum tahu."

Seiring berjalannya masa SMA, aku mulai mencari informasi tentang dunia kuliah. Aku mencoba googling di internet, bertanya ke sana ke mari, mencari tahu jurusan apa yang cocok denganku dan kampus mana yang mempunyai kualifikasi yang baik. Tidak bisa dimungkiri, sudut pandang yang sempit tentang dunia perkuliahan sekaligus doktrin orang-orang di lingkungan sekitar membuat sebagian besar dari murid SMA cenderung berpikir bahwa kesuksesan dan ke-kece-an hanya bisa didapat ketika mereka masuk ke dalam universitas-universitas negeri, dengan jurusan yang high class seperti kedokteran dan teknik. Entah bagaimana awalnya doktrin ini bisa tertanam hingga membuat para murid kehilangan jati diri. Akibatnya, mereka tidak pernah mencoba menelusuri apa sebenarnya yang mereka sukai.

Dan aku salah satu yang termakan doktrin tersebut.

Menginjak kelas 12, aku meyakinkan diri untuk berkuliah di jurusan teknik sipil di salah satu perguruan tinggi ternama. Waktu itu aku bahkan belum banyak tahu tentang apa itu teknik sipil. Bermodal gagasan bahwa menjadi manusia pembangun bangsa---dalam arti yang benar-benar harfiah--- adalah sesuatu yang luar biasa dan testimoni orang-orang di sekitar bahwa jurusan tersebut sangat kece dan menjanjikan masa depan, aku membulatkan tekad.

Suatu saat, orang tuaku mengobrol denganku. Ibuku bercerita bahwa sepupuku akan mengikuti USM PKN STAN. Ia bertanya apakah aku juga tertarik untuk daftar, karena dari cerita sepupuku itu, lulusan PKN STAN dijamin pekerjaannya.

Aku menggeleng. Menolak dengan alasan tidak tertarik dengan perguruan tinggi kedinasan. Satu-satunya yang menjadi ambisiku adalah teknik sipil, tak ada yang lain.

Suatu pagi, teman sekelasku, Aziz, membawa sebuah buku latihan soal dan mengerjakan soal-soal itu di kelas. Karena penasaran, aku mendekatinya dan bertanya,

"Buku apa, Ziz?"

 Ia mengangkat cover-nya, "Latihan USM PKN STAN," jawabnya.

Aku duduk di sampingnya. "Lu mau masuk PKN STAN?" tanyaku. Aku jadi teringat percakapan dengan orang tuaku tempo hari.

Ia mengangguk. "Pengen nyoba," katanya. Lalu kami mengobrol banyak tentang PKN STAN. Aku mulai sedikit tertarik dengan PKN STAN ini karena penjelasannya yang cukup gamblang dan menarik. Namun aku masih teguh pada pendirianku.

Di tengah obrolan dengan temanku itu, kami mencoba mengerjakan soal-soal USM bersama. Kami menjawab bersama-sama, lalu melihat kunci jawaban untuk melihat siapa yang menjawab dengan tepat. Mendapati aku seringkali menjawab dengan tepat dan terlihat tidak kesulitan dalam menjawab soal-soal, Aziz berkata padaku,

"Han, lu mending daftar aja deh. Gampang-gampang kan soalnya? Lu bisa lulus, Han, sumpah. Nggak ada ruginya, kan lu daftar? Ikut aja, Han, buat jaga-jaga," ia meyakinkanku dengan gaya seorang pebisnis MLM. Teringat kembali percakapan dengan ibuku, dan berpikir bahwa memang tidak ada salahnya untuk mencoba, aku mengiyakan ajakannya.

Hari ini, saat aku sudah berkalung hijau, mengingat kenangan itu membuatku berpikir bahwa saat itu Tuhan sedang memutar arah hidupku 180 derajat. Aku mendaftar USM hanya beberapa hari sebelum pendaftaran ditutup.

Meski aku bermimpi untuk berkuliah di jurusan teknik sipil di universitas ternama, doaku pada Tuhan selalu meminta yang terbaik. Karena begitulah Kitab Suciku mengajarkanku; bahwa yang baik di mataku belum tentu baik bagiku, dan yang buruk di mataku belum tentu buruk bagiku. Tuhan Mengetehui sedangkan aku tidak.

Selepas Ujian Nasional, aku mengikuti bimbingan belajar (bimbel) camp persiapan seleksi masuk perguruan tinggi negeri di lembaga milik Aziz. Kebetulan orang tuanya memiliki yayasan dan lembaga pendidikan sehingga aku bersama beberapa teman mengikuti bimbel di sana. Selama sebulan lebih, aku mencoba memaksimalkan usahaku demi meraih apa yang menjadi doaku selama ini.

Fase itu menjadi fase yang tak terlupakan olehku. Di sanalah perjuanganku benar-benar kumaksimalkan. Aku harus bisa fokus pada seleksi perguruan tinggi negeri dan USM PKN STAN sekaligus. Siang malam kulahap soal-soal latihan. Meskipun bimbel itu dimaksudkan untuk persiapan seleksi masuk perguruan tinggi negeri, para pengajar menyempatkan diri mengajari aku dan beberapa teman yang hendak mengikuti USM PKN STAN menyelesaikan soal-soal tes.

Selama sebulan itu, aku memaksimalkan segala usaha dan doa. Tak jarang aku terus berkutat dengan soal-soal hingga larut malam, dan bangun dini hari untuk mengetuk pintu langit. Semua itu kulakukan karena aku tahu, semua ini tentang masa depanku.

Singkat cerita, aku pun mengikuti USM PKN STAN tahap pertama di Bandung. Pikiran bahwa aku tengah bersaing dengan ribuan orang di Bandung dan ratusan ribu orang di seluruh Indonesia tidak membuatku pesmistis. Aku mengerjakan soal-soal seteliti dan secepat mungkin. Segala perjuanganku selama sebulan terakhir benar-benar diuji. Selepas ujian, aku kembali mengikuti bimbel untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi negeri.

Suatu pagi, selepas salat subuh, kakakku mengirim screenshoot pengumuman USM PKN STAN yang di sana tertulis namaku. Aku lulus. Rasa lega dan syukur membuncah di dadaku. Perjuanganku seperti terbayar pagi itu.

Namun aku tahu ini bukanlah akhir perjuanganku masuk PKN STAN. Masih ada dua tahap tes lagi yang menungguku: tes kebugaran dan Tes Kompetensi Dasar (TKD). Meskipun banyak testimoni yang mengatakan bahwa tes kebugaran hanya akan menyisihkan sedikit peserta, namun melihat kondisi fisikku yang jarang berolahraga dan jauh dari kata kuat dibandingkan dengan pemuda-pemuda seusiaku, aku benar-benar khawatir aku akan masuk ke dalam mereka yang "sedikit" itu.

Meski demikian, kekhawatiran itu tidak kupendam saja, melainkan menjadi cambuk agar aku lebih bersemangat lagi berjuang. Setiap pagi sejak pengumuman itu, aku selalu menyempatkan diri jogging selama 12 menit dan shuttle run tiga keliling secepat mungkin---kedua hal itu yang akan diteskan pada tahap kedua. Setiap hari aku berlatih dan berlatih, mencoba membagi fokusku antara USM dengan seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku berangkat ke lokasi tes di Cimahi bersama ibuku dan menginap di kamar kos kakakku yang kebetulan berkuliah di sana. Aku berangkat beberapa hari sebelum tes. Seleksi masuk perguruan tinggi jatuh sebelum hari tes kebugaran. Maka aku dituntut untuk bisa fokus pada keduanya.

Aku melaksanakan tes kebugaran di Lapangan Rajawali, Cimahi. Waktu itu aku datang pukul setengah enam dan kebagian giliran pukul sepuluh. Dengan penuh totalitas aku berhasil mencapai lima keliling lapangan bola dan melakukan shuttle run dengan cukup baik. Aku pulang dengan perasaan campur aduk antara cemas dan lega.

Singkat cerita, pengumuman pun tiba, aku berhasil lolos ke tahap tiga sekaligus terakhir. Namun bersama itu aku juga dinyatakan tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Aku sungguh kecewa. Kekecewaan itu kemudian menjadi dorongan untuk memaksimalkan satu kesempatan emas yang ada. Selalu kucamkan dalam diriku bahwa apapun yang kudapat adalah yang terbaik.

Aku melaksanakan tes tahap tiga yaitu Tes Kompetensi Dasar (TKD) yang pada dasarnya merupakan tes untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di BDK Cimahi. TKD terdiri dari tiga jenis soal: Tes Intelegensi Umum (TIU), Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP). Waktu itu aku langsung membeli buku soal-soal tes CPNS. Ketika mengetahui setiap karakteristik soalnya, aku merasa cukup kesulitan dalam TWK. Aku sama sekali tidak akrab dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan UUD 1945, aku bahkan tidak ingat kapan aku terakhir memegang buku UUD 1945. Hal itu tidak membuatku putus asa dan menyerah. Aku membeli buku UUD 1945 beserta amandemennya dan melahap semua itu dalam waktu beberapa hari saja. Aku ingat dalam perjalanan menuju BDK Cimahi, buku itu tak pernah lepas dari genggamanku.

Tes berakhir dan tugasku setelahnya hanya berdoa dan berdoa. Doaku tetap sama: agar Tuhan memberiku yang terbaik. Aku telah gagal dalam tes masuk perguruan tinggi negeri, aku sama sekali tak punya ide ke mana lagi aku harus berkuliah kalau aku tidak lolos USM PKN STAN. Aku berdoa, orang tuaku berdoa, keluargaku berdoa.

Hingga suatu pagi, sepulang aku dari itikaf (ibadah tengah malam) di Bulan Ramadan, aku menerima kabar itu dari ibuku. Aku lulus. D3 Akuntansi. Kampus Jakarta. Perasaan senang dan lega juga puas bercampur menjadi satu. Aku tak tahu perasaan apa itu. Jika aku gambarkan, perasaan itu seperti perasaan seorang prajurit pejuang kemerdekaan yang akhirnya mendengar proklamasi kemerdekaan. Perasaan manis mencicipi buah perjuangan. Perasaan senang yang meluap-luap.

Maka ketika suatu hari aku duduk di dalam salah satu gedung PKN STAN dan menatap air mancur STAN yang ikonik itu, kilas balik perjuanganku untuk bisa duduk di sana selalu membuatku tersenyum. Jika kembali kurangkai segala hal yang membawaku ke sana, aku menemukan sebuah pola yang hanya bisa dijalankan oleh Tangan yang Maha Kuasa. Tak pernah sedetik pun PKN STAN masuk dalam pikiranku sebelum Aziz pagi itu mengajakku mendaftar, dan itu berarti hanya sekitar dua bulan sebelum aku lulus SMA. Yang menjadi ambisiku waktu itu hanyalah teknik sipil di salah satu kampus negeri. Namun tiba-tiba aku mengenal PKN STAN. Kemudian aku mendaftar. Lalu tes, tes, dan tes, dan lulus. Maskipun dulu aku bermimpi untuk masuk kampus negeri, namun ketika memulai kehidupanku di PKN STAN, aku mulai berpikir, selama ini aku telah salah bermimpi.

PKN STAN. Di sinilah tempatku seharusnya. Dan di sinilah aku!

Inilah wujud dari doa-doaku selama ini. Inilah yang selalu kuminta dalam doaku. Inilah yang terbaik bagiku. Dan aku benar-benar merasakannya, bukan semata-mata penghiburan atas mimpi yang tidak terwujud. Aku bernar-benar merasakannya!

Setelah lolos USM PKN STAN, orang tuaku berkata padaku bahwa sebenarnya mereka lebih menghendaki aku berkuliah di PKN STAN daripada di teknik sipil. Perkataan mereka itu membuatku mengerti kenapa aku bisa lolos menjadi empat persen dari ratusan ribu peserta USM PKN STAN: doa dan kerelaan orang tua adalah sesuatu yang tidak bisa diremehkan.

Ketika berkuliah di PKN STAN, aku baru tahu betapa diminatinya perguruan tinggi ini, dengan segala daya tariknya. Aku tak pernah berpikir bahhwa PKN STAN menjadi kampus impian banyak orang. Fakta bahwa aku dulu memimpikan kampus lain, untuk kemudian masuk ke kampus impian yang tak penah kuimpikan, selalu membuatku tersenyum. Maka dalam setiap sujudku, aku selalu mengucap syukurku pada-Nya, karena telah memberiku kesempatan untuk berkuliah di PKN STAN: Kampus Impian yang Tak Terimpikan.

Bintaro, 12 Desember 2016

 

Catatan penulis:

Cerpen ini pertama kali dirilis dalam kumpulan cerpen berjudul Inspirasi dari STAN yang disusun oleh salah satu UKM di PKN STAN untuk tujuan penggalangan donasi. Ketika tulisan ini diunggah di Kompasiana, penulis baru saja menyelesaikan pendidikan Diploma III Akuntansi di PKN STAN. Adapun inti dari tulisan ini bukan untuk membesar-besarkan nama kampus PKN STAN. Yang penulis ingin sampaikan dari tulisan ini adalah rasa syukur.  Banyak dari kita berfokus pada ambisi kita dan larut dalam kekecewaan atas apa yang tidak kita dapat. Di sisi lain kita lupa apa yang sudah kita dapat dan betapa banyak orang menginginkan kehidupan yang seperti kita jalani sekarang. 

Seperti yang dikatakan Umar bin Khattab, "Hatiku tenang mengetahui apa yang menjadi takdirku tak akan pernah melewatkanku, dan apa yang melewatkanku tak pernah menjadi takdirku."

So, buat kamu yang sedang baca ini, sudahkan kamu bersyukur hari ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun