Mohon tunggu...
Farhan Fakhriza Tsani
Farhan Fakhriza Tsani Mohon Tunggu... Akuntan - Seorang Pelajar

Tertarik pada sastra, isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Depresi, Wabah di Milenium Baru

24 Agustus 2019   09:00 Diperbarui: 24 Agustus 2019   11:13 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya hidup zaman modern yang cenderung terisolasi secara sosial menjadi salah satu pemicu depresi. Sumber gambar: pixabay.com/skitterphoto

Di abad ke-18, ketika ilmu kedokteran masih belum semaju kini, orang-orang melihat Tuberculosis sebagai sebuah karunia. Karena banyaknya seniman di zaman itu yang terjangkit TBC, masyarakat kemudian menyebut TBC sebagai sebuah tanda puncak produktivitas seseorang. 

TBC diyakini meningkatkan sensitivitas, empati, dan kreativitas. Dengan begitu, TBC dianggap sebagai sebuah anugerah. Setelah ilmu kedokteran mengalami kemajuan, kita kini tahu bahwa TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Ilmu pengetahuan sekarang dapat dengan jelas membuktikan bahwa TBC adalah sebuah penyakit yang dapat dan harus disembuhkan.

Saya pernah mendengar sebuah ceramah dalam acara TedX yang menyinggung fenomena tersebut dan membandingkannya dengan fenomena depresi yang terjadi di zaman modern kini. 

Sayangnya saya lupa judul videonya dan ketika saya cari ulang tidak saya temukan. Pembaca yang tahu mungkin bisa cantumkan tautannya di kolom komentar.

Intinya, analogi yang digunakan oleh pembicara tersebut saya pandang sangat tepat untuk melihat fenomena depresi yang "mewabah" di zaman modern kini. Selama kurun waktu setengah abad lebih, para ilmuwan telah banyak meneliti tentang depresi. 

Dan memasuki milenium baru, seiring bertambahnya keluhan depresi, jurnal dan penelitian telah realtif banyak mengungkap fenomena ini. Meski demikian, fenomena ini masih dipandang dengan cara yang salah di banyak masyarakat modern, terutama di negara-negara dunia ketiga.

Sama seperti TBC ratusan tahun lalu, depresi hari ini belum dapat dijelaskan dengan penjelasan tunggal. Para ilmuwan punya pendapatnya masing-masing dalam menjelaskan penyakit ini dan bagaimana menyembuhkannya. 

Statistik menunjukkan kenaikan angka penderita depresi dari tahun 2005 ke tahun 2011 sebesar 18%. Dan setiap tahun 800.000 orang harus kehilangan nyawa karena bunuh diri.

Sebelum berbicara lebih jauh, mungkin kita harus samakan persepsi terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan "depresi" dalam artikel ini. 

Mengutip penjelasan Stephen Ilardi, seorang psikolog dan peneliti depresi, dalam salah satu ceramahnya di TedX, kata "depresi" telah banyak disalahpahami oleh masyarakat umum. Berikut kutipannya.

I believe that 'depression' is the most tragically misunderstood word in entire English Language. And here's the problem, 'depression' has two radically different meanings depending to the context. So, in everyday conversation when people say they're depressed, they use the word 'depression' as a synonim for sadness; it's a normal human reaction. In that sense, all of us know the pain of depression. And yet in the clinical context, 'depression' is shorthand of devastating illness. We refer to it, technically, Major Depressive Disorder; this is an illness which robs people of their restored sleep, robs them of their energy, robs them of their focus, their concentration, their memory, their sex drive, their ability to experience the pleasure of life. For most individuals it robs their ability to love and work and play. And even robs them of their will to live.

Terjemahannya kurang lebih begini:

Saya percaya bahwa "depresi" adalah kata yang paling secara tragis disalahpahami dalam seluruh Bahasa Inggris. Dan inilah masalahnya, depresi memiliki dua makna yang secara mendasar berbeda tergantung dari konteksnya. 

Dalam percakapan sehari-hari, ketika orang-orang mengatakan bahwa mereka sedang depresi (depressed), mereka menggunakan kata "depresi" sebagai sebuah sinonim untuk kesedihan; sebuah reaksi normal manusia. 

Dengan demikian, kita semua tahu rasa sakit akan depresi. Sementara dalam konteks klinis, "depresi" adalah sebuah kata singkat dari sebuah penyakit yang menghancurkan. 

Kami menyebutnya, secara teknis, Major Depressive Disorder; ini adalah sebuah penyakit yang merampas tidur nyenyak seseorang, merampas energi mereka, merampas fokus mereka, konsentrasi mereka, ingatan mereka, birahi mereka, merampas kemampuan mereka untuk merasakan kenikmatan dalam hidup. 

Untuk kebanyakan orang ia merampas kemampuan mereka untuk mencintai dan bekerja dan bermain. Dan bahkan merampas keinginan untuk hidup.

Dari penjelasan Stephen Ilardi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa publik seringkali menggunakan kata depresi pada konteks kesedihan normal yang biasa dialami oleh manusia. 

Sementara di sisi lain, kata yang sama juga digunakan oleh para psikolog untuk menyebut sebuah penyakit spesifik, yang menurut istilah Ilardi: menghancurkan. Maka dalam artikel ini, kata "depresi" saya gunakan untuk merujuk pada penyakit menghancurkan tersebut. 

Sebuah penyakit yang telah merenggut 800.000 nyawa setiap tahunnya di seluruh dunia. Penyakit yang Ilardi sebut sebagai Penyakit Peradaban (Disease of Civilization).

Pada artikel ini saya akan mengulas dan menanggapi penjelasan Stephen Ilardi dalam video tersebut. Video tersebut menurut saya adalah salah satu yang paling komprehensif menjelaskan masalah depresi. Ilardi menjelaskan mulai dari definisi hingga pencegahannya.

Sampai sini kita sudah sepakat tentang definisi depresi dan apa gejala yang timbul pada penderita. Selanjutnya tentu akan timbul pertanyaan, mengapa depresi bisa terjadi? Bagaimana kesedihan dapat membuat seseorang ingin mengakhiri hidup? Bukankah itu sebuah tindakan tidak bersyukur?

Sederet pertanyaan di atas adalah pertanyaan arus utama yang sering muncul di benak publik ketika mendengar kasus depresi. Ilardi menjelaskan penyebab depresi dengan penjelasan mudah yang tidak banyak didapat dari peneliti lainnya. 

Setelah 21 tahun penelitiannya dalam bidang depresi, Ilardi menyimpulkan bahwa terdapat sebuah penyebab utama, sebuah pemicu primer dari berbagai kompleksitas penyebab lainnya. Ilardi menyebutnya dengan istilah Runaway Stress Response.

Karena saya kesulitan menerjemahkan istilah tersebut, maka dalam tulisan ini saya akan sebut dengan istilah aslinya dan saya singkat dengan singkatan RSR. RSR atau dalam bahasa yang lebih sederhana disebut flight-or-fight response, adalah sebuah respon tubuh ketika menghadapi bahaya. 

Respons ini membantu manusia dalam menghadapi bahaya fisik. Ketika seseorang dihadapkan pada sebuah ancaman, katakan berhadapan dengan seekor harimau yang ingin memangsa, manusia membutuhkan aktivitas fisik yang intens. 

RSR inilah yang bekerja membantu kita dalam melampaui batas kemampuan fisik kita untuk melakukan suatu hal yang sebelumnya sulit kita lakukan.

RSR inilah juga yang bertanggungjawab ketika kita berhasil melompati pagar tinggi ketika dikejar oleh anjing tetangga namun ketika kita mencoba keesokan harinya terasa sangat sulit. 

RSR melibatkan hormon dalam tubuh dan biasanya berlangsung dalam waktu singkat. Manusia tidak mungkin berada setiap hari dalam bahaya, kan?

Ilardi melanjutkan, RSR dalam waktu singkat adalah hal yang wajar. Ia sudah menjadi mekanisme alami bagi tubuh untuk menghadapi ancaman. Namun masalah terjadi ketika RSR itu terjadi dalam waktu yang lama secara terus menerus. RSR dalam waktu yang lama bersifat toxic bagi tubuh. 

Ia akan memicu berbagai hormon dalam otak secara tak terkendali dan mengakibatkan kerusakan otak. Lebih lanjut kerusakan itu akan mengakibatkan peradangan dalam otak. Dan otak yang radang adalah otak yang menderita depresi. 

Kita sudah terbiasa mendengar radang tenggorokan atau radang paru-paru. Mungkin mulai sekarang kita harus mulai menambahkan kosa kata baru yang tidak terlalu nyaman didengar: radang otak.

Kerusakan orak inilah yang kemudian membawa penderita pada sebuah kondisi yang lebih besar dari sekadar kesedihan yang biasa dirasakan oleh otak manusia normal. Dan praktis membandingkan kesedihan yang dirasakan oleh penderita depresi dengan kesedihan biasa adalah sebuah kesahalahan besar. 

Itu sama saja ketika seseorang menderita demam berdarah dan kita menceritakan pengalaman kita ketika menderita flu sambil berkata, "Dulu saya juga pernah demam. Bawa istirahat aja sembuh kok. Biasa aja kali gak usah lebay." Kita tidak bisa membandingkan apel dengan durian.

Ketika seseorang berkata pada kita bahwa ia merasakan depresi, respons terburuk yang dapat kita berikan kepadanya adalah menceritakan kesedihan kita atau orang lain kepadanya. 

Kita bisa memperparah respons tersebut dengan menghakimi orang tersebut dengan menyebut kurang bersyukur, kurang dekat dengan Tuhan, atau cengeng.

Saya coba berikan ilustrasi. Ketika anda merasakan sesak napas yang anda curigai sebagai gejala radang paru-paru, lalu anda mengeluh kepada kerabat, dan kerabat anda malah menghakimi anda sebagai orang yang tidak dekat dengan Tuhan. Bukankah itu sebuah respons yang bodoh?

Namun kebodohan publik atas wabah di milenium baru ini menjadi tanggung jawab kolektif setiap individu masyarakat. Generasi kita dihadapkan pada dunia yang belum pernah ada sebelumnya sepanjang sejarah manusia. Kesadaran tentang ancaman kesehatan mental perlu dibangun seperti halnya kesadaran tentang kesehatan fisik. 

Bagaimana mencegah, mengenali gejala, dan menyembuhkannya harus menjadi perhatian masyarakat modern. Penyakit mental dapat menyerang siapapun. Untuk alasan itulah World Mental Health Day diperingati setiap tanggal 10 Oktober sejak tahun 1996.

Lebih lanjut dalam ceramahnya, Ilardi mengungkapkan bahwa depresi adalah disease of lifestyle. Dunia pasca revolusi industri adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia agrikultur di mana umat manusia hidup sebelumnya.

Dia menyimpulkan sebuah teori bahwa gen manusia belum berubah dalam 300 tahun terakhir (sejak revolusi industri) sementara dunia telah berubah sedemikian rupa. 

Manusia tidak lagi dituntut untuk menggerakkan ototnya dalam mencari makanan. Permasalahan yang dihadapi menjadi semakin kompleks dan tuntutan menjadi semakin banyak daripada sekadar memenuhi isi perut. Ilardi menganjurkan enam hal untuk mencegah dan menyembuhkan depresi.

Namun sebelum kita membahas enam hal tersebut, saya ingin menyisipkan pendapat pribadi saya di sini terkait pencegahan depresi. Dunia yang sudah sedemikian berubah kini dan tuntutan yang semakin kompleks kadang membuat seorang manusia tidak dapat keluar dari lingkaran tekanan pemicu RSR. 

Zaman dahulu, kehidupan manusia begitu sederhana dengan bertani, berternak, dan berdagang. Dan lingkungan zaman itu tidak terlalu banyak menuntut tentang apa yang harus kita capai, tentang harus menjadi seperti apa kita. 

Satu-satunya pemicu Runaway Stress Response adalah binatang buas. Ketika berhadapan dengan binatang buas di tengah hutan, seorang manusia dituntut untuk mengerahkan kekuatan bahkan melebihi kapasitasnya untuk bisa bertahan hidup.

Namun di masa kini, lingkungan seringkali menjadi semakin lebih "buas" daripada lingkungan para pendahulu kita yang hidup di tengah hutan. Tekanan dari berbagai arah seringkali menjadi pemicu RSR tanpa seseorang sadari dan terakumulasi merusak otak dalam waktu yang panjang. 

Ketika Ilardi menyimpulkan apa yang disebut RSR sebagai penyebab depresi, maka simple tip-nya adalah hindari semua kondisi yang membawa anda pada segala hal yang memicu RSR dalam diri anda. Pemicu RSR ini dapat menjadi sesuatu yang berbeda bagi setiap orang. 

Dalam dunia yang kompleks ini, mengenal diri sendiri adalah kunci utama. Pahami kelebihanmu dan akui kekuranganmu. Orang secara umum akan mengalami RSR ketika berhadapan dengan seekor ular kobra, namun seorang pawang ular tidak. Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap sesuatu.

Saya akan berikan contoh untuk menyederhanakannya. Ketika seseorang tidak memiliki kemampuan intelektual akademik, orang-orang di sekitarnya biasanya akan mendorong dia untuk lebih maju. Dalam banyak kasus, dorongan itu berubah menjadi tekanan. 

Masyarakat kita, terutama di negara dunia ketiga, terbiasa melihat kecerdasan dari kemampuan seseorang dalam menentukan nilai X dan Y dalam sebuah persamaan. 

Sebagian masyarakat tidak dapat mengapresiasi kecerdasan lain di luar intelektualitas akademik. Akbiatnya, sekolah seringkali menjadi tekanan.

Ketika seseorang mendapat peringkat rendah di kelas karena rendahnya kemampuan akademiknya, seringkali orangtua menekannya. Lebih parah lagi, para orangtua seringkali memarahi sang anak, membandingkannya dengan anak tetangga, atau menghukumnya dengan berbagai cara. 

Di sisi lain, kemampuan bermusik anaknya begitu cemerlang, atau prestasi olahraganya gemilang, atau dia menjadi teman curhat yang diandalkan oleh teman-teman sekelasnya. Semua kelebihan itu tidak diakui.

Pada kondisi sepeti itu, dan kondisi tersebut seringkali terjadi, sekolah akan menjadi pemicu RSR bagi anak tersebut. Dia akan bangun setiap pagi dengan tekanan untuk mendapat nilai baik. Setiap kali diadakan ujian, ia seperti dihadapkan pada gerombolan singa yang akan menerkam. 

Dan setiap menjelang pembagian rapor otaknya tak pernah luput dari kecemasan setiap detiknya. Hormon berhamburan tak terkendali. Bayangkan jika kondisi tersebut berlangsung bertahun-tahun, betapa parahnya "radang otak" yang mereka derita.

Maka pemahaman satu sama lain antara anak dan orangtua sangat penting dalam konteks ini, agar si anak dapat keluar dari zona pemicu RSR tanpa henti itu. Jika anda berada dalam posisi seorang anak, komunikasikanlah dengan baik kepada orangtua. 

Bahwa anda memang kesulitan dalam menghapal buku pelajaran, bahwa anda punya ketertarikan pada hal lain di luar tembok-tembok kelas, bahwa tekanan yang selama ini anda terima sangat berbahaya bagi kesehatan anda. Jika anda berada dalam posisi orangtua, berhentilah menekan. 

Cari tahu kelebihan anak anda di balik rendahnya nilai rapor dia. Setiap tekanan yang meluncur dari mulut anda tidak ada bedanya dengan cambukan yang melukai fisiknya, bahkan mungkin lebih mematikan. Ketika seseorang melakukan bunuh diri, sejatinya depresilah yang membunuhnya, sama seperti sel-sel kanker membunuh penderitanya.

Itu adalah contoh dalam ruang keluarga, yang memang cukup banyak menjadi penyebab depresi. Contoh lainnnya tentu banyak: di ruang kerja, di ruang kuliah, dan ruang-ruang lainnya. Intinya, hindari segala kondisi yang menjebak anda dalam ruang RSR itu. 

Mulailah belajar untuk menjadi diri sendiri, untuk tidak terlalu mendengarkan kata-kata orang lain, untuk melihat mana yang baik dan mana yang buruk untuk anda. Pahami kelebihan anda, lakukan hal yang anda senangi, jangan terjebak dalam rutinitas yang tidak membuat anda nyaman. 

Jangan berambisi memperbanyak harta jika itu mengorbankan kehidupan nyaman anda. Jangan berlari mengejar jabatan jika anda harus merasakan tekanan setiap paginya sebelum berangkat bekerja.

Selain itu, di samping kita harus mencari kenyamanan dalam hidup yang penuh tekanan ini, Ilardi menyebtukan bahwa kita harus mengubah gaya hidup kita, terutama bagi penduduk perkotaan.

Ilardi mengutip penelitian yang dilakukan terhadap suku Kaluli di Papua New Guinea, yang mana menyimpulkan bahwa masyarakat mereka memiliki tingkat depresi (depresi klinis) 100.000 kali lebih rendah daripada masyarakat modern. 

Apakah suku Kaluli tidak merasakan kesedihan? Sama sekali tidak demikian. Mereka menghadapi tingkat kematian yang tinggi, baik itu dari penyakit maupun kekerasan. Mereka banyak bersedih, namun mereka tidak terpapar depresi. Lalu apa yang melindungi mereka? Ilardi melanjutkan, lifestyle.

Dunia telah sangat berubah secara radikal sejak revolusi industri. Dengan perubahan radikal tersebut, berapa banyak perubahan telah terjadi pada gen manusia?

Tidak ada. Dengan demikian Ilardi menyimpulkan,

We were never designed for the sedentary, indoor, socially isolated, fast-food laden, sleep-deprived, frenzied pace of modern life.

Dalam Bahasa Indonesia, kalimat itu kurang lebih berarti, "Kita tidak pernah didesain untuk kehidupan modern yang tanpa gerakan fisik, dalam ruangan, terisolasi secara sosial, dipenuhi makanan cepat saji, kekurangan tidur, dan penuh langkah hiruk pikuk."

Dari kalimat itu setidaknya kita dapat menyimpulkan: depresi adalah wabah peradaban milenium baru.

Dari hipotesis yang dijelaskan tersebut, Ilardi menyarankan enam hal yang bisa dilakukan untuk "menjinakkan" respons stres. Enam hal itu disebutnya sebagai "Taming Stress Response: Therapeutic Lifestyle Change (TLC)". Adapun enam hal yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  • Physical avtivity (excercise) / latihan fisik;
  • Omega-3 Fatty Acids / Asam Lemak Omega-3;
  • sunlight / sinar matahari;
  • healthy sleep / tidur sehat;
  • anti-ruminative activity / menjauhi aktivitas perenungan/penyendirian;
  • social connection / koneksi sosial.

Setelah dicari tahu lebih lanjut, apa yang melindungi suku Kaluli dari depresi, Ilardi menyebutkan, bahwa enam faktor itulah yang mengubah susunan kimia otak, enam faktor yang diketahui menjadi anti-depresan. Dan enam faktor itu dapat kita terapkan kembali dalam kehidupan modern kita untuk menjaga kita dari penyakit yang menghancurkan ini.

Ilardi kemudian menjalankan enam faktor itu untuk membantu orang-orang yang dikenalnya yang telah melakukan segala cara untuk sembuh dari depresi. Dan hasilnya jauh melebihi yang dia harapkan. Latihan fisik, Ilardi melanjutkan, adalah obat paling manjur bagi kesehatan otak. 

Dan jika apa yang dihasilkan dari latihan fisik terhadap otak manusia dapat dibentuk menjadi sebuah pil, maka itu akan menjadi obat paling laris di dunia. Orang-orang akan membelinya dengan harga berapapun.

Selain itu, lima faktor lainnya juga dijelaskan dengan singkat dalam presentasinya. Pada intinya, enam faktor itu adalah gaya hidup yang harus dibangun di tengah masyarakat modern untuk mencegah sekaligus menyembuhkan depresi.

Depresi sebagai wabah di milenium baru adalah sebuah fakta yang telah dibuktikan secara statistik. Pemahaman yang komprehensif di tengah masyarakat menjadi tugas kolektif bersama. Bagaimana menghadapi seorang penderita depresi dan bagaimana menyembuhkannya adalah pemahaman dasar yang harus mulai dipahami oleh masyarakat modern. 

Peningkatan spiritual memang membantu namun tidak menihilkan ikhtiar-ikhtiar yang harus dilakukan. Meskipun sampai tulisan ini dibuat belum ada solusi tunggal dalam penyembuhan depresi, namun penjelasan para pakar yang sudah semakin maju dapat menjadi alternatif. 

Selain itu, pencegahan juga sangat perlu dilakukan. Kesadaran untuk menghindari stres dan pemahaman untuk tidak memberikan tekanan kepada orang lain menjadi kunci bagi masyarakat yang sehat mentalnya.

Penyakit mental bukanlah aib, sama seperti penyakit fisik lainnya, ia memerlukan perawatan dan penyembuhan. Jadi, berhenti menghakimi dan mulailah memberi pertolongan.

Tangerang Selatan, 23 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun