Di dalam sejarah panjang peradaban, seringkali perempuan mendapatkan intimidasi dari pihak-pihak yang pola pikirnya patriarkis. Kita bisa melihat fakta itu melalui sejarah ilmu pengetahuan, dimana filsuf Aristoteles menganggap bahwa perempuan tidak memiliki logos seperti laki-laki, sehingga urusan perempuan hanya sebatas oicos atau rumah tangga.
Dari adanya hal ini, kita hendak mencari dimana saja letak ketidakadilan terjadi pada perempuan.Sialnya segala aspek menunjukkan bahwa perempuan tidak mendapatkan keadilan. Baik ia dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bahkan kultur kebudayaan. Dan yang akan Saya ulas adalah bidang politik.
Mengapa harus di dalam bidang politik? Karena segala kebijakan yang dihasilkan oleh para pekerja politik, yang mana kebijakan tersebut tidak pro terhadap keperempuanan, maka yang akan terkena imbas dari hal tersebut adalah peradaban. Politik keperempuanan sangat perlu untuk dicermati, karena kebijakan politik bisa memberlakukan aturan hukum, ekonomi, sosial, dst.
Mengambil keputusan untuk mencermati sekaligus menuntut keadilan untuk perempuan, melalui kritik terhadap politik adalah sesuatu yang sangat revolusioner. Mengapa? Karena apa yang dituntut bukan hanya sekadar hak, tetapi juga perubahan sistem, sehingga parlemen dan eksekutif tidak lagi menjadi pabrik kebijakan melainkan pabrik kebijaksanaan. Terlebih-lebih ia dihasilkan untuk keperempuanan.
Tetapi, di dalam teori kebijakan, seringkali kita diterpa oleh kesialan. Para politisi perempuan yang berafiliasi dengan partai politik, tidak bisa bergerak secara utuh dan penuh untuk menghasilkan sesuatu yang positif terhadap keperempuanan, karena budaya politik kita saat ini dicemari oleh sifat-sifat patriarkis, seperti pragmatisme dan feodalisme. Kita ketahui bahwa kedua pemikiran ini bergerak diranah yang menguntungkan kelompok-nya sendiri bukan untuk peradaban.
Kesialan itu mengakibatkan protes, baik ia gejolak di dalam bathin maupun kepala. Dengan kata lain, protes-protes tersebut akan menghasilkan dalil-dalil filosofis untuk menghasilkan kemaslahatan.Â
Tetapi dalam konteks ini, negara seringkali tidak memahami bahasa-bahasa tuntutan keadilan yang dilayangkan oleh perempuan, karena bahasa yang dipahami negara hanya bahasa yang sistematis dan konstruktif, sedangkan bahasa perempuan adalah bahasa dekonstruktivisme. Dimana bahasa tersebut hendak membongkar segala keganjilan yang sedang dan akan terjadi.
Kita tahu bahwa: bahasa yang sistematis dan konstruktif adalah bahasa patriarkis dimana retorika disusun secara berlebih, sehingga yang terlihat adalah sensasi bukan substansi, mungkin juga bahasa seperti itu ada di dalam tulisan ini.Â
Bahasa yang konstruktif tersebut hanya akan membuat orang yang mengemukakan pikirannya terjerembab pada kondisi paradoksal (self-reference) dimana persyaratan-persyaratan yang menentukan suatu pergerakan dari pemikiran.
Kondisi paradoksal ini pun berlaku di dalam kehidupan perempuan. Perempuan harus memiliki makna dan hakikat sebagai kriterium berpikir untuk di mengerti oleh lawan bicaranya, bukankah hal seperti itu adalah kondisi paradoksal, dimana seseorang bergerak karena keterpaksaan?.
Keperempuanan tidak ada di dalam rasionalisme, justru sebaliknya, keperempuanan bergerak di dalam empirisme. Dimana pengalaman yang menghasilkan pemikiran. Hal ini tentu berkaitan dengan ucapan Bertrand Russell: Filsafat yang paling baik adalah empirisme.Â
Melalui empirisme-lah perempuan menemukan sesuatu yang mengganjal dan sesuatu tersebut adalah ketidakadilan. Artinya: keperempuanan bukanlah pengetahuan akademis melainkan pengalaman etis. Tetapi hal etis itu tidak ada di dalam per-politikan kita saat ini sehingga politik di republik ini menciderai bathin perempuan.
Karena dunia per-politikan kita memiliki kekakuan, sehingga 'gender equality' disalahartikan. Yang seharusnya kesetaraan hak malah menjadi persamaan hak. Ada situasi kontradiktif di dalam politik kita. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kebijakan yang selalu menutup diri di balik dalil utilitirianism (kebutuhan) dan kebutuhan perempuan disamakan dengan kebutuhan laki-laki.
Dari hal tersebut kesalahan terlihat, karena ketidakadilan yang dialami oleh laki-laki dan perempuan pasti berbeda. Laki-laki selalu protes ketika ia tidak mendapatkan haknya, tetapi perempuan hanya akan protes jika keutuhan bathinnya terciderai. Dari hal ini, kesimpulan yang Saya temukan adalah: laki-laki bergerak di ranah etika akan hak sedangkan perempuan ada di dalam etika kepedulian.
Etika akan hak hanya akan bergerak bila ketersediaan sudah tidak tersedia lagi, sedangkan etika kepedulian bergerak di dalam upaya perubahan, karena sistem tidak pernah pantas untuk diterapkan, maka perlu sistem baru untuk kesesuaian. Etika kepedulian tersebut yang menjelaskan bahwa ketidakadilan itu konkret bukan sebatas perjuangan atas hak, melainkan perjuangan perubahan sosial masyarakat.
Bagi laki-laki kekurangan hak adalah ketidakadilan sedangkan bagi perempuan ketidakadilan itu menyangkut pada eksistensinya, karena segala jenis ketidakadilan yang menerpa perempuan, hendak memasuki ruang psikis dan fisiknya. Hal itu sering terjadi akibat dari dalil utilitirianism dan gender equality masih disalahartikan. Maka dari itu perubahan suatu sistem adalah sesuatu yang bijaksana bagi keperempuanan, agar tidak menciderai psikis dan fisiknya.
Tetapi perubahan sistem sosial tersebut sangatlah sulit untuk diterapkan, karena pragmatisme dan feodalisme masih bersemayam di tubuh politik kita. Sehingga yang terlihat budaya-budaya Aristokrat dan Raja masih berlanjut hingga saat ini.
Untuk menghadapi pragmastisme dan feodalisme di dalam politik, perlu adanya gerakan yang juga bersifat politik, agar kedudukan politik sebagai alat untuk menyebarkan keadilan, kembali lagi.
Sifat politik yang dimaksud adalah sifat politik yang hendak mewujudkan apa yang diharapkan (politics of hope) agar peradaban ataupun kehidupan bisa berjalan sesuai dengan kehendak social justice.Â
Itu yang membuat kita melihat bahwa di dalam keperempuanan tersirat sangat banyak harapan-harapan etis, baik ia perbaikan hidup maupun hal yang lain. Dan itu semua tergantung pada sifat politik, apabila politik saat ini yang lebih condong mengarah pada "politics of fear" maka hendaklah "hope" dijadikan dalil untuk mewujudkan hal etis tersebut.
Karena tidak mungkin selama berabad-abad ketidakadilan terus menerpa perempuan. Apabila kita membiarkan hal tersebut artinya kita mengaminkan sesuatu yang tidak baik bagi perkembangan peradaban dan politik keperempuanan pun adalah cara untuk mencegah tibanya stigma-stigma negatif terhadap perempuan, kendati stigma itu telah tiba dan kita harus menghapuskan hal itu.
Karena pada dasarnya perempuan bukanlah sumber segala permasalahan seperti yang terjadi di eropa berabad-abad yang lalu yang menganggap bahwa perempuan itu adalah: the rules of evil karena fenomena nenek sihir. Kita harus mengembalikan makna perempuan sebagai awal dan akhir, karena kita berawal dari rahim dan berakhir pada telapak kakinya.
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H