Mohon tunggu...
FARHAD BALJUN
FARHAD BALJUN Mohon Tunggu... Akuntan - Penikmat Sastra

Wong Alit soko Suroboyo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gentong Mardiyah

4 Februari 2016   12:28 Diperbarui: 4 Februari 2016   14:53 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan muda itu dengan membawa nampan ditangannya berisi minuman dan penganan segera menjawab suaminya “Setahuku dari mpok Juleha yang tinggal di sebelah rumah kita ini, penduduk kampung kurang peduli lagi dengan kegiatan agama terutama sholat sejak kematian Haji Komaruddin yang tinggal bersebelahan dengan Mushollah itu, mereka telah kehilangan sosok panutan dan pembimbing yang mengarahkan mereka untuk menjalani ajaran agama islam yang dianut hampir seluruh penduduk kampung ini, mendiang Haji Komaruddin telaten mengajak mereka untuk sholat berjammaah di mushollah dan sering mengadakan pengajian umum dengan beliau sendiri yang jadi pembicaranya atau mengundang Kyai-kyai tersohor” ujarnya sambil meletakkan nampan di meja kecil samping suaminya. Sore itu mereka berbincang diteras rumah sederhana ditemani teh hangat dan ubi kukus yang masih berkepul asap ketika dihidangkan.

“Bukan hanya panutan, Haji Komar juga dermawan yang sering menolong warga kampung ini. Dan lagi, Mushollah tanpa nama itu sudah tidak terurus lagi sejak kematian Haji Komar, air untuk wudhu di mushollah itu tidak keluar lagi sejak rumah Haji Komar yang hampir roboh itu ditinggal penghuninya karena saluran air untuk wudhu itu berasal dari rumah Haji Komar. Sedangkan, anak perempuan semata wayangnya sudah hijrah keluar kota ikut suaminya” Pungkas perempuan itu menambahkan.

Mudiman menghela nafas dalam-dalam dan melanjutkan pembicaraan “Kalau memang hanya karena air wudhu, kenapa saluran air wudhu tidak dibuatkan saja dengan membuat sumur bor di sekitar mushollah?” ujarnya sambil mulai menyeruput teh hangat yang terhidang. “Mushollah itu dibangun sangat dekat dengan induk sutet listrik negara, berbahaya kalau ada galian dekat dengan sutet induk dan aturan itu sudah dimafhumi warga sini” timpal Mardiyah bernada menggurui seakan dia sudah mengetahui seluk beluk kampung itu. Sang suami tersenyum memandang istrinya yang terlihat bersemangat menjelaskan keadaan kampung sutet, padahal mereka belum 1 bulan menjadi penduduk kampung tersebut.

“Alhamdulillah Mardiyah, aku senang melihatmu bisa berbaur akrab dengan warga disini, apalagi kalau kita bisa memanfaatkan potensi yang ada di kampung ini dengan yang kita punya, aku dengan ilmu agama yang selama ini kupelajari, dan engkau dengan sikapmu yang luwes dan cepat bergaul, mudah-mudahan kita bisa berbuat banyak terhadap kampung ini” ujar Mudirman memuji istrinya. Ubi kukus yang sedari tadi berjajar di nampan mulai mereka nikmati, sepoi angin sore menerpa beberapa tanaman dihalaman rumah sederhana itu, beberapa helai daun terlihat rontok mengotori lantai abu-abu teras rumah bercorak betawi yang nampak segar karena rutinitas siram tanaman setiap sore oleh Mardiyah.

“Khoirukum Anfa’uhum Linnaas, Sebaik-baik kalian adalah yang bemanfaat bagi orang lain, begitu bunyi Hadits dari Nabi Muhammad SAW yang harus kita pegangi sebagai pedoman dalam hidup bermasyarakat” Mudirman berkata dengan nada tegas sambil pandangannya menerawang ke arah Mushollah tak bernama itu, entah kapan dan siapa yang membangun mushollah tersebut, begitu sederhana bangunannya tapi menyiratkan kesan berarti bagi warga kampung itu, tapi sayang, seperti tidak ada yang peduli lagi untuk memakmurkannya sejak Haji Komar tiada.

“Mudirman, engkau telah diberi karunia oleh Allah SWT bisa menuntut ilmu sampai ke negeri yang merupakan jantung umat Islam seluruh dunia, bekal ilmu yang kau bawa InsyaAllah sudah lebih dari cukup untuk berbuat baik terhadap kampung ini, jadikanlah mushollah tersebut sebagai oase baru bagi warga kampung ini dan sebagai ladang pahala bagi kita” ujar perempuan itu meyakinkan sambil menatap mata suaminya.

“Kamu bisa memulai dengan memperbaiki saluran air untuk wudhu. Kita bisa memanfaatkan Gentong Air pemberian dari Abah seminggu lalu, kualitas dan kuantitas air dirumah kita sangat bagus, bahkan yang kita konsumsi sehari-hari untuk air minum adalah air kran tanpa direbus terlebih dahulu. Gentong air tersebut kita manfaatkan untuk Air Wudhu dan Air Minum sekalian, bukankah sedekah air itu banyak keutamaannya suamiku??” tukas perempuan muda itu bersemangat. Laki-laki dihadapannya menatap dengan binar kekaguman, sambil berkata

“Engkau benar Mardiyah, kau telah membuka mataku yang selama ini hanya berkonsentrasi pada lingkup dakwah yang sudah mapan, bahkan untuk sholat berjammaah lima waktu, aku harus keluar kampung ini menuju masjid besar di seberang kampung kita ini, padahal medan dakwah yang utama ada didepan mata. Kalau begitu, besok aku akan menghubungi Pak Yasin untuk mulai mengerjakan saluran air dan gentong air untuk wudhu dan selanjutnya Mushollah itu akan aku makmurkan, InsyaAllah”.

Mardiyah terlihat tersipu-sipu malu atas pujian suaminya, dan dia menaruh harapan yang besar terhadap suaminya untuk menjadikan kampung itu kembali seperti dulu, seperti ketika mushollah itu dibangun, seperti ketika Haji Komaruddin memakmurkannya untuk kegiatan ibadah warga.

Hampir tiga hari pekerjaan mulia itu dikerjakan Pak Yasin dan dua anak buahnya. Untuk izin memperbaiki dan memakmurkannya sudah mendapat restu dari kepala kampung dan sebagian besar warga, karena memang Mudirman Lubis cukup disegani dan diharapkan bisa membawa perubahan di kampung jantung ibukota ini, dalam benak warga kampung, dahaga akan suasana religius sebentar lagi akan terwujud kembali. “Alhamdulillah Mardiyah, pekerjaan ini telah selesai, dan hal pertama yang akan aku lakukan adalah memberi nama mushollah ini” ucap Mudirman memulai pembicaraan dengan istrinya. Sungging senyum kepuasan terpoles dibibirnya “Akan aku umumkan nanti didepan warga, bahwa mushollah ini aku beri nama “Khairil ‘Ibad”, nama itu aku dapatkan setelah aku Sholat Istikharah dan meminta petunjuk kepada Allah SWT. Aku harapkan bahwa siapa saja yang sholat dan meramaikan kegiatan ibadah di mushollah ini akan mendapatkan predikat Hamba yang Baik disisi Allah SWT”

Perempuan itu masih bersimpuh di dalam mushollah, wajahnya terbenam didepan kedua tangannya yang menenggadah ke atas, bulir-bulir air matanya terlihat membasahi pipi, deras tapi sepertinya tanpa disadari berguguran membasahi mukenah yang dikenakannya. Beberapa jammaah masjid masih terlihat khusyuk dalam dzikir, mengadu kepada Tuhannya bertumpuk masalah dunia dalam masing-masing pikirannya. “Duhai Tuhanku, Rengkuhlah dalam RahmatMU anakku Bustaman, berilah PetunjukMU dalam setiap langkah kehidupannya, karena tidak ada petunjuk yang lebih lurus daripada PetunjukMU Ya Allah” ujar perempuan itu dengan suara bergetar dan lirih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun