Mohon tunggu...
Farhati Mardhiyah
Farhati Mardhiyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Full time copy and content writer Blogger yang punya ketertarikan pada jalan-jalan, makanan, budaya, lingkungan. Magister lingkungan gadungan ini masih belajar untuk siap berkontibusi kepada Indonesia lebih melingkung dan berkelanjutan. Mari berteman di dunia maya dan tatap mata, kindly check IG : https://www.instagram.com/farhatimardhiyah Twitter : https://www.instagram.com/farhatimardhiah Blog : https://www.farhatimardhiyah.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Negeri di Atas Awan Dieng yang Mulai Tergoda

31 Januari 2022   22:00 Diperbarui: 31 Januari 2022   22:02 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangunan merah di pusat Dieng tahun 2013

Setelah 7 tahun, akhirnya kembali menginjakkan kaki di Negeri di Atas Awan Dieng Wonosobo. Masih ingat betul pertama kali ke Dieng backpacker-an di tahun 2013, masih sepi, dingin tapi sangat hangat.

Dieng memang punya daya tarik yang menarik, pemandangan hijau dengan bukit-bukit undakan terasering lahan kentang yang terlihat indah. Sayangnya, ketika kembali di awal tahun 2022 semakin banyak bukit pegunungan di Desa ini semakin habis dan menjadi lahan kentang, pembukaan jalan baru, homestay aesthetic, dan tempat wisata Instagramable.

Maraknya Homestay di Dieng

Saat mengunjungi Dieng di tahun 2013, saya menggunakan kendaraan umum Bis dari Jakarta menuju Wonosobo. Perjalanan ke Dieng dilanjutkan menggunakan angkutan seperti ELF, konon angkutan ini sering digunakan petani di Dieng untuk ke Kota. Masih terekam di memori kepala ini, saat perjalanan dari terminal bus Mendolo Wonosobo menuju Dieng, tidak berhenti kamera pocket di tangan terus memotret pemandangan yang epik.

Sampai ada ucapan reflek ke travelmate saat itu "Bakal balik lagi si ke Dieng". Ya betul, tahun 2014 kami berdua kembali ke Dieng dengan tujuan traveling yang berbeda yaitu naik gunung PRAU. Saat itu gunung PRAU terbilang sudah cukup ramai, mungkin karena bius film 5cm yang diperankan Junot dan Pevita Pearce membuat orang-orang penasaran dengan pengalaman hiking.

Elf kami saat itu berhenti dipertigaan pusat keramaian Dieng, sepi sekali hanya ada beberapa tukang ojek yang memakai sarung dikalungkan, jaket tebal dan kupluk khas orang pegunungan. Di sudut pertigaan itu ada homestay merah yang terlihat sudah jadul, menawarkan juga beberapa makanan dan minuman untuk para pengunjung wisatawan.

Kami memutuskan untuk sewa motor 2 hari ke depan, keputusan yang tepat karena menikmati Desa Dieng lebih asyik menggunakan motor dibandingkan mobil. Kami-pun menuju homestay kecil tanpa layanan air panas, welcome drink, apalagi WiFi internet, hanya tembok rotan kayu yang membuat kamar menjadi lebih dingin di malam hingga pagi hari.

Lalu, saat awal tahun 2022 lalu saya kembali ke Dieng, agak terkejut dan bertanya-tanya "Kemana sudut bangunan merah yang pernah aku singgahi tahun 2013 lalu?". Dilanjutkan melihat kanan kiri sepanjang pusat keramaian Dieng, plang-plang homestay, rumah makan, mie ongklok, dan ruko oleh-oleh sangat ramai. Wah, ramai sekali Dieng ini.

Dieng tahun 2022
Dieng tahun 2022

Esoknya ketika berkeliling Dieng menggunakan Jeep, kembali kaget melihat beberapa bangunan homestay aesthetic yang belum jadi, tempat wisata untuk hunting foto, plang-plang yang sangat fotoable juga banyak ditemukan. Aah, kemana pemandangan yang pernah aku potret di tahun 2013 lalu?

Batu Ratapan Angin Dieng, Lebih Indah atau Lebih Instagramable?

Sejujurnya, agak kesal setiap berwisata kemanapun pasti ada spot foto berbayar yang dilengkapi juga dengan pernak-pernik foto, atau tulisan tempat wisatanya. Kesal karena memangnya ini diperlukan? Yang menuntut tempat wisata harus ada spot foto Instagramable siapa sih? 

Iya, dulu di tahun 2013 saya sangat suka betul dengan Batu Ratapan Angin Dieng. Dari batu ini kita bisa melihat pesona Telaga Warna Dieng yang hijau, kalau cerah pemanangan bukit hijau khas pegunungan dataran tinggi seperti Dieng akan terlihat betul. 

Sayang seribu sayang, lokasi ini diubah sedemikian rupa menjadi tempat wisata kekinian yang dipakai untuk konten viral biasanya. Memang sih jadi lebih ramai, apalagi banyak warung-warung yang buka di area tersebut. Jauh berbeda kondisinya saat tahun 2013 saya mengunjungi Dieng Teather yang bersebalahan dengan Batu Ratapan Angin, sepiii dan sangat jadul lokasi wisatanya.

Photo by @lia.zaqia https://indonesiatraveler.id/dieng-plateau-theater-batu-pandang-ratapan-angin-jembatan-merah-putih/
Photo by @lia.zaqia https://indonesiatraveler.id/dieng-plateau-theater-batu-pandang-ratapan-angin-jembatan-merah-putih/

Kembali ke Batu Ratapan Angin, saat menaiki tangga kecil saya jadi merasa lebih asing. Kok jadi lebih jauh yaa? Oooh, ternyata jalan setapaknya sudah berubah dan beberapa dibuat anakan tangga. Mungkin tujuannya memudahkan wisatawan ya, jujur menurutku jadi lebih capek aja gitu.

Sampai di spot Batu Ratapan Angin, kembali lagi terkaget-kaget karena banyak sekali spot yang dibuat dengan sengaja oleh pengelola tempat wisata ini. Seingatku sih tahun 2013 lalu, untuk foto di batu ini tidak perlu bayar.

Biarkan Pesona Dieng Menjadi Dirinya Sendiri

Tol Kahyangan Dieng, Jalan baru alternatif menuju Bawang Semarang
Tol Kahyangan Dieng, Jalan baru alternatif menuju Bawang Semarang

Tidak bisa disalahkan juga dengan Wisata Dieng yang makin ramai, bahkan bisa menemukan mie ongklok dengan mudah di pusat keramaian Desa ini. Kalau dulu sih, rekomendasi mie ongklok enak khas Wonosobo harus ke alun-alun kota Wonosobo dulu. 

Tawaran homestay Dieng juga kini semakin baik layanannya, tersedia air panas, kamar yang banyak, dekat dengan lokasi wisata di Dieng seperti Candi Arjuna. Semakin banyak wisatawan yang tertarik dengan pesona Dieng tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa ini.

Tapi, tolong pengelola wisata Dieng biarkanlah pesona Dieng menjadi dirinya sendiri. Tidak perlu dibangun wisata kekinian yang marak ditemukan seperti Jogja dan Bandung. Cukup daya tarik Negeri di Atas Awan yang dingin, tapi hangat dengan aktivitas warga lokal saat berladang, anak-anak bermain, dan tempe kemul yang hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun