17 April 2019 Indonesia akan kembali memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin untuk 5 tahun ke depan. Namun dalam pemilihan kali ini tidak terasa istilah yang sering disebutkan untuk menyebut pemilihan umum yaitu pesta rakyat, tempat kita bisa ceria, tertawa, berbahagia---, dan juga menghabiskan dana yang banyak. Pemilihan kali ini lebih terasa seperti Civil War karena seperti perkataan Yunarto Wijaya, kita terjebak di demokrasi kultus kita berbicara Jokowi atau asal bukan Jokowi, Prabowo atau asal bukan Prabowo, kita berbicara lebih baik memilih orang sederhana atau orang yang tegas. Hal tersebut membuat masing-masing pendukung saling bertengkar, sosial media dipenuhi ujaran kebencian, hoax dan lain sebagainya.
Kondisi tersebut disebabkan oleh banyak hal namun kali ini saya ingin menyalahkan partai politik. Partai politik adalah pelaku utama dalam pemilihan umum karena mereka yang mengusung calon-calon presiden dan wakil presiden serta membuat strategi kampanye. Namun hal-hal tadi tidak dilakukan dengan maksimal.Â
Pemilihan umum dalam ini hal ini Pemilihan Presiden kali ini hanya terdapat 2 calon yang membuat masyarakat bingung menentukan, bukan karena 2 calon tersebut sama-sama unggul dalam banyak hal namun karena keduanya memiliki kekurangan yang sama-sama banyak. Hal tersebut bisa terlihat di debat pertama calon presiden. Bukannya kita dibuat terkagum-kagum dengan program-program ataupun gagasan-gagasan, kita malah dibuat jungkir balik(oke maaf terlalu lebay) karena kesalahan-kesalahan amatir seperti kesalahan data, ketidaknyambungan jawaban dengan pertanyaan, pertanyaan dan jawaban dengan tema debat. Selain itu kampanye yang disuguhkan tidak menarik.Â
Mengutip pernyataan Pandji Pragiwaksono, kampanye itu biasanya menyentuh fear, fun empathy, dan hope. Namun pada pemilu kali ini hanya bagian fear saja yang timbul seperti apabila calon ini menang PKI akan bangkit, apabila calon yang ini menang khilafah akan bangkit.Â
Hal-hal tersebut membuat wacana Golput menjadi nyaring. Berbagai survei---yang kredibel karena sudah teruji di tiap-tiap pemilu memiliki data yang akurat, setidaknya sesuai dengan margin of error survei tersebut--- memberikan potret pemilih yang belum menentukan di kisaran 9,9% - 13% dan selisih pasangan Jokowi-Ma'ruf dengan pasangan Prabowo-Sandi di kisaran 20%. Perlu juga diketahui bahwa masyarakat yang tergabung dalam 13% ini belum tentu adalah orang yang apatis, bodoh, dan sebagainya. Berbagai dari mereka justru sangat pintar dan rasional.Â
Saya berharap angka 13% ini menjadi lebih besar lagi lalu menjadi suatu kekuatan untuk menentang aktivitas kampanye dari partai politik yang tidak disukai. Tuntut tim kampanye tersebut untuk memberikan ide, program, solusi dan sebagainya. Tuntut tim kampanye untuk menyentuh sisi fun, empathy, hope sehingga kelompok ini bisa yakin untuk memilih karena sudah diberikan informasi yang diinginkan. Tuntut tim kampanye untuk menghentikan setidaknya mengurangi hoax, ujaran kebencian dalam pemilu kali ini. Tuntutlah setiap hal yang membuat bangsa ini akan menjadi lebih baik. 1 bulan adalah waktu yang panjang, masih terdapat setidaknya 3 debat capres dan/atau cawapres. Apabila dalam 1 bulan ke depan tuntutan tersebut tidak diindahkan ancamlah dengan tindakan golput (kata golput lebih memiliki kekuatan daripada Undecided karena Undecided cenderung belum menentukan dan akan memilih sedangkan golput adalah pasti tidak memilih).Â
Pihak Prabowo-Sandi adalah pasangan yang seharusnya lebih memerhatikan hal ini karena---apabila tim Prabowo-Sandi mau introspeksi diri, menghiraukan survei internal dan mulai melihat survei yang kredibel--- pasangan Prabowo-Sandi tertinggal di kisaran 20%. Daripada berjibaku untuk merebut suara pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf bukankah lebih baik untuk mengakomodasi kepentingan mereka yang berada di 13% tersebut. Sebaliknya pasangan Jokowi-Ma'ruf apabila ingin melebarkan jarak untuk mengamankan keunggulan sementara, mereka pun seharusnya bisa mengakomodasi kelompok 13% ini.
Namun apapun yang terjadi 1 bulan ke depan saya tetap menganjurkan kelompok 13% ini tetap memilih salah satu calon dengan sah. Sesuai judulnya "Prank menjadi Golput untuk  kemajuan Bangsa" yang berarti menjadi golput ini hanyalah prank semata yang berarti tidak nyata.Â
Kita tetap harus datang ke TPS dan memilih dengan sah. Bagaimanapun salah satu dari Jokowi-Ma'ruf ataupun Prabowo-Sandi tetap akan memimpin negara ini. Apabila anda tidak yakin salah satu dari mereka adalah yang terbaik setidaknya seperti perkataan Romo Franz Magnis Suseno, memilihlah untuk mencegah yang terburuk memimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H