Mohon tunggu...
Farel Andrean
Farel Andrean Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Undergraduate Student in UPN Veteran Yogyakarta

Mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Trump, Twitter, Chinese Virus: Bagaimana "Tweet" Meningkatkan Sentimen Anti China di Amerika Serikat

8 Desember 2024   21:09 Diperbarui: 9 Desember 2024   10:19 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Twitter (saat ini X) merupakan platform yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik global, menjadi media utama untuk interaksi sosial dan bahkan diskusi politik. Karena sifatnya yang real-time, Twitter memungkinkan pengguna, termasuk pemimpin politik, untuk berkomunikasi langsung dengan publik dan dengan cepat membentuk pandangan serta narasi. 

Selama masa kepresidenannya, Donald Trump sering menggunakan Twitter untuk menyampaikan kebijakan dan pendapatnya, terutama soal isu besar seperti pandemi COVID-19. Tweet-tweet-nya sering kali memicu diskusi dan kontroversi, yang mencerminkan sikap pemerintahannya terhadap berbagai masalah.

Saat pandemi COVID-19, Trump pertama kali menyebut virus tersebut sebagai "Chinese virus" pada 16 Maret 2020. Istilah ini tidak hanya bertujuan untuk menunjukkan asal-usul virus, tetapi juga membawa konotasi menyalahkan China. 

Retorika ini menjadi bagian penting dari cara Trump berkomunikasi, mempengaruhi pandangan publik, dan memperbesar diskusi tentang dampak pandemi pada hubungan AS-Tiongkok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan istilah ini oleh Trump memainkan peran besar dalam membentuk narasi seputar virus dan hubungannya dengan meningkatnya sentimen anti-Asia di Amerika Serikat. 

Istilah ini dengan cepat menjadi simbol dari cara pemerintahan Trump membahas COVID-19, yang berasal dari Wuhan, China, pada akhir 2019. Penggunaan istilah ini oleh Trump bukan hanya untuk menggambarkan asal-usul virus, tetapi dianggap sebagai upaya untuk menyalahkan China atas penyebaran pandemi ke seluruh dunia. 

Retorikanya sejalan dengan narasi yang lebih besar yang mencoba menggambarkan China sebagai pihak yang bertanggung jawab atas krisis ini, yang juga terkait dengan ketegangan yang sudah ada antara AS dan China, terutama karena perang dagang dan persaingan geopolitik yang semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir.

Penelitian yang dilakukan oleh University of California, San Francisco, mengungkapkan bahwa tweet Trump pada 16 Maret 2020 yang menyebut "Chinese virus" menyebabkan lonjakan signifikan dalam penggunaan hashtag anti-Asia di Twitter. 

Studi ini menganalisis hampir 700.000 tweet dan menemukan bahwa pengguna yang menggunakan hashtag #chinesevirus jauh lebih mungkin untuk menyertakan bahasa rasial yang terang-terangan dibandingkan dengan mereka yang menggunakan #covid19. Secara spesifik, sekitar 50% hashtag yang terkait dengan #chinesevirus mencerminkan sentimen anti-Asia, sementara hanya 20% dari hashtag yang terkait dengan #covid19 yang menunjukkan hal serupa. 

Perbedaan mencolok ini menunjukkan bagaimana istilah yang digunakan Trump tidak hanya memperkuat bias yang sudah ada, tetapi juga mendorong munculnya ekspresi rasisme baru di dunia maya.

Dampak dari narasi ini sangat mengkhawatirkan. Menurut laporan dari Stop AAPI Hate, hampir 3.800 insiden kebencian terhadap warga Asia-Amerika tercatat dalam setahun, mencerminkan lonjakan signifikan dalam diskriminasi dan kekerasan yang dilaporkan sejak pandemi dimulai. 

Insiden-insiden yang mencuat termasuk serangan kekerasan dan pelecehan yang menargetkan individu hanya berdasarkan etnis yang dianggap mereka miliki. Contohnya, penembakan tragis di tiga spa di Atlanta pada Maret 2021 yang menewaskan delapan orang, enam diantaranya wanita keturunan Asia. Meskipun pihak berwenang menyatakan bahwa terlalu dini untuk mengklasifikasikan serangan ini sebagai kejahatan kebencian, insiden tersebut menyoroti tren kekerasan yang mengkhawatirkan terhadap komunitas Asia.

Aksi unjuk rasa yang diadakan untuk mendukung Stop Asian Hate di Newton, Massachusetts, pada tanggal 21 Maret. Credit: AP Photo/Steven Senne
Aksi unjuk rasa yang diadakan untuk mendukung Stop Asian Hate di Newton, Massachusetts, pada tanggal 21 Maret. Credit: AP Photo/Steven Senne

Twitter, sebagai platform media sosial, memainkan peran penting dalam membentuk dan memperkuat narasi, terutama selama peristiwa global besar seperti pandemi COVID-19. Algoritma platform ini dirancang untuk mendorong keterlibatan, yang seringkali memprioritaskan konten yang kontroversial atau memancing emosi. Karakteristik ini memiliki dampak terhadap bagaimana narasi, seperti "Chinese virus," mendapatkan perhatian dan visibilitas di kalangan pengguna.

Algoritma yang digunakan oleh Twitter dapat secara tidak sengaja memperburuk polarisasi dengan meningkatkan visibilitas tweet yang memicu reaksi kuat. Dalam kasus tweet Trump yang menyebut COVID-19 sebagai "Chinese virus," unggahan ini mendapatkan banyak keterlibatan, termasuk retweet, suka, dan komentar.

Penelitian dari sebuah studi yang diterbitkan di European Physical Journal Data Science menunjukkan bahwa tweet yang mengandung informasi dengan kredibilitas rendah, terutama yang memiliki tingkat ‘toksisitas’ tinggi dan bias cenderung lebih mungkin untuk diperkuat di Twitter.

Misalnya, setelah tweet awal Trump pada 16 Maret 2020, terjadi lonjakan signifikan dalam tweet terkait yang mengulang sentimen tersebut, semakin memperkuat asosiasi antara COVID-19 dan retorika anti-China. 

Fitur trending topics di Twitter juga memainkan peran dalam mempromosikan diskusi seputar narasi ini, seringkali mengangkat tweet yang menyertakan istilah "Chinese virus" ke audiens yang lebih luas.

Narasi seputar "Chinese virus" telah memberikan dampak besar terhadap hubungan diplomatik AS-China selama pandemi COVID-19. Kedua negara ini menghadapi krisis, namun alih-alih bekerja sama untuk mengatasi ancaman global, persaingan dan saling menyalahkan memperburuk ketegangan yang sudah ada dan mengarah pada penurunan hubungan bilateral.

Sikap ini memaksa China untuk bersikap lebih defensif, dengan melancarkan diplomasi publik yang lebih agresif dan kampanye propaganda. Misalnya, China berusaha mengalihkan perhatian dari cara mereka menangani wabah dengan menonjolkan keberhasilan mereka dalam mengendalikan virus di dalam negeri dan membantu negara lain.

Credit: Xie Huanchi/Xinhua via AP 
Credit: Xie Huanchi/Xinhua via AP 

Pandemi dan narasi yang mengaitkan virus dengan China turut mempengaruhi citra global negara tersebut. Persepsi bahwa China gagal menangani wabah sejak awal semakin diperburuk dengan tuduhan dari pejabat AS yang menganggap virus itu berasal dari laboratorium di Wuhan. 

Hal ini memicu keraguan tentang transparansi China di dunia internasional. Sebagai respons, China mengadopsi diplomasi "warrior wolf," yang ditandai dengan kebijakan luar negeri yang lebih keras untuk membela diri dan menunjukkan keberhasilan mereka dalam mengatasi COVID-19.

China berusaha memperbaiki citranya dengan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan cerita yang menunjukkan peran mereka sebagai negara yang bertanggung jawab. Dengan menggambarkan diri sebagai penyedia bantuan medis dan vaksin bagi negara lain, China ingin membangun kembali kepercayaan dan memperkuat pengaruhnya di kancah internasional. 

Namun, meski begitu, sentimen anti-China yang semakin berkembang di banyak negara masih menjadi tantangan besar bagi China dalam usaha memulihkan citra dan kredibilitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun