Insiden-insiden yang mencuat termasuk serangan kekerasan dan pelecehan yang menargetkan individu hanya berdasarkan etnis yang dianggap mereka miliki. Contohnya, penembakan tragis di tiga spa di Atlanta pada Maret 2021 yang menewaskan delapan orang, enam diantaranya wanita keturunan Asia. Meskipun pihak berwenang menyatakan bahwa terlalu dini untuk mengklasifikasikan serangan ini sebagai kejahatan kebencian, insiden tersebut menyoroti tren kekerasan yang mengkhawatirkan terhadap komunitas Asia.
Twitter, sebagai platform media sosial, memainkan peran penting dalam membentuk dan memperkuat narasi, terutama selama peristiwa global besar seperti pandemi COVID-19. Algoritma platform ini dirancang untuk mendorong keterlibatan, yang seringkali memprioritaskan konten yang kontroversial atau memancing emosi. Karakteristik ini memiliki dampak terhadap bagaimana narasi, seperti "Chinese virus," mendapatkan perhatian dan visibilitas di kalangan pengguna.
Algoritma yang digunakan oleh Twitter dapat secara tidak sengaja memperburuk polarisasi dengan meningkatkan visibilitas tweet yang memicu reaksi kuat. Dalam kasus tweet Trump yang menyebut COVID-19 sebagai "Chinese virus," unggahan ini mendapatkan banyak keterlibatan, termasuk retweet, suka, dan komentar.
Penelitian dari sebuah studi yang diterbitkan di European Physical Journal Data Science menunjukkan bahwa tweet yang mengandung informasi dengan kredibilitas rendah, terutama yang memiliki tingkat ‘toksisitas’ tinggi dan bias cenderung lebih mungkin untuk diperkuat di Twitter.
Misalnya, setelah tweet awal Trump pada 16 Maret 2020, terjadi lonjakan signifikan dalam tweet terkait yang mengulang sentimen tersebut, semakin memperkuat asosiasi antara COVID-19 dan retorika anti-China.Â
Fitur trending topics di Twitter juga memainkan peran dalam mempromosikan diskusi seputar narasi ini, seringkali mengangkat tweet yang menyertakan istilah "Chinese virus" ke audiens yang lebih luas.
Narasi seputar "Chinese virus" telah memberikan dampak besar terhadap hubungan diplomatik AS-China selama pandemi COVID-19. Kedua negara ini menghadapi krisis, namun alih-alih bekerja sama untuk mengatasi ancaman global, persaingan dan saling menyalahkan memperburuk ketegangan yang sudah ada dan mengarah pada penurunan hubungan bilateral.
Sikap ini memaksa China untuk bersikap lebih defensif, dengan melancarkan diplomasi publik yang lebih agresif dan kampanye propaganda. Misalnya, China berusaha mengalihkan perhatian dari cara mereka menangani wabah dengan menonjolkan keberhasilan mereka dalam mengendalikan virus di dalam negeri dan membantu negara lain.
Pandemi dan narasi yang mengaitkan virus dengan China turut mempengaruhi citra global negara tersebut. Persepsi bahwa China gagal menangani wabah sejak awal semakin diperburuk dengan tuduhan dari pejabat AS yang menganggap virus itu berasal dari laboratorium di Wuhan.Â