Akhir-akhir ini beberapa konten yang beredar di media sosial cukup menjadi atensi. Bukan lantaran konten tersebut positif, namun lebih kepada stigma negatif dari isi unggahan itu. Masih lekat diingatan kita kasus dari konten Ferdian Paleka yang mendeskreditkan kaum transpuan.
Baru-baru Selebgram Sarah Salsabila mendadak jadi sorotan, ini terjadi setelah akun instagramnya mengumumkan akan melelang keperawanan. Tidak tanggung-tanggung penawaran dimulai dengan harga Rp2 miliar. Ia mengunggah video tersebut pada Rabu, 20 Mei 2020.
Meski tak lama setelah video berhasil diunggah, konten tersebut dihapus olehnya. Tetap saja ini menjadi perhatian warganet hingga membuat argumen-argumen perihal konten yang dibagikan. Sebab dalam konten diatas, dijelaskan jika hasil uang lelang itu akan digunakan keseluruhannya untuk bantuan penanganan Covid-19.
Beragam pandangan cukup ramai disampaikan untuk menanggapi unggahan tersebut. Paling menyita perhatian penulis ialah argumentasi dari sudut pandang keislaman. Sebab dalam unggahan Sarah, ia membuka kalimat dengan bacaan basmalah. Tentu menjadikan perdebatan cukup serius dikalangan warganet di media sosial.
Penggunaan basmalah itulah yang semakin memantik ruang diskusi. Toh jika akhirnya Sarah mengakui kekhilafannya lalu kemudian menyadari jika konten yang diungguh merupakan sarkasme dari kondisi masyarakat di tengah pandemi. Tetap saja sarkas yang dilakukan cukup kelewatan bagi berbagai kalangan, utamanya umat islam.
Disorientasi Mental
Ketika seseorang membaca basmalah, ia menyebut nama Allah karenanya atas kemuliaan, kesempurnaan, keagungan dan rahmat Allah, perbuatan yang ia kerjakan akan memperolah berkah serta terlindung dari gangguan setan. Jika basmalah secara sadar diterapkan, ia dapat mencegah perilaku yang salah.
Sehingga hal tersebut dapat mengindarkan dan menyakinkan seseorang bahwa niat dan orientasi mental dirinya adalah baik. Namun, apa yang penulis lihat dari unggahan Sarah itu tidak menunjukan sedikit pun keagungan basmalah yang digunakan. Justru hal tersebut cukup menjadi ironi tersendiri.
Meski niatan Sarah dalam konten tersebut memiliki tujuan yang baik. Namun, cara yang dilakukannya tetap salah. Maksud baik, ingin menolong orang lain, tapi cara yang dia tempuh untuk mewujudkan maksud tersebut keliru. Sehingga timbul beragam konsekuensi ketidaksetujuan dari warganet.
Mengingat tujuan baik yang dilakukan dengan cara seperti itu tak bisa dibenarkan dalam konteks agama Islam. Sebab tujuan baik harus dicapai dengan cara yang baik pula. Lelang keperawanan apapun alasannya tentu jelas-jelas tidak baik dan hukumnya adalah haram dan berdosa.
Haram merupakan salah satu dari al-Ahkam al-Khamsah yang harus dijauhi setiap muslim. Islam memberi ancaman bagi siapa yang melanggarnya. Sejak dahulu hal ini menjadi perbincangan yang hangat, demikian juga dewasa kini. Sehingga tidak dinafikan jika umat islam terus diingatkan untuk menghindari perilaku tersebut.
Haram disini tidak koheren hanya pada hewan atau sejenisnya yang mahfum kita ketahui. Pun harta juga bisa menjadi haram jika diperoleh melalui jalan yang dilarang oleh Islam. Harta haram dalam benda tentu memiliki cara pandang dalam atribusinya. Akibatnya halal atau haram suatu harta hanya dapat disandingkan kepada perbuatan.
Sehingga obyek hukum yang ditekankan dalam atribut di atas lebih kepada perbuatannya. Tindakan inilah yang disifati haram, halal, dan lain sebagainya. Pun demikian kalau dalam pergaulan sehari-hari penggunaan diksi harta haram atau harta halal, maksudnya ialah uang yang diperoleh lewat jalan haram atau halal.Â
Jadi perkataan tersebut meruapak majazi bahwa hukum hanyalah menjadi atribut dari perbuatan. Sejalan dengan ta'rif hukum yang telah menjadi konsensus Fuqaha', Ushuliyyin dan mufassirin. Pun begitu tidak dinafikan jika dewasa kini manusia dalam mengejar kehidupan materi kadang-kadang tidak mengindahkan aturan haram-halal.
Konsekuensi Hukum
Ironisnya ada juga cara pandang yang begitu ekstrim menyatakan bahwa dalam kehidupan modern kalau ingin maju, mau tidak mau harus bersentuhan dengan yang haram. Nahasnya tidak sedikit asumsi yang menganggap baik bagi muslim yang rajin beramal, tetapi ternyata dari harta haram. Hasil korupsi misalnya.
Lalu bagaimana Fiqh melihat hal demikian ini, niat membantu orang lain dengan harta yang didapat secara tidak benar. Seperti pemaparan penulis diawal tulisan ini, tentu niatan baik tidak akan memetik hasil yang baik jika ada hal yang dilanggar. Ini seperti dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA.
Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu"Â (HR. Bukhari, no. 1410 dan Muslim, no. 1014)
Hadis di atas meski secara konteks mengejawantahkan ihwal sedekah, tentu secara eksplisit juga dapat diqiaskan dalam konteks unggahan Sarah Salsabila diatas. Apapun niatan baiknya dalam memberi bantuan bagi masayarakat terdampak Covid-19 tentu tidak dibenarkan jika cara mendapatkan hartanya salah.
Sehingga perlu kejernihan fikiran dalam membuat suatu unggahan, terlepas niat apapun yang diinginkan tetap saja hal tersebut tetap akan menimbulkan konsekuensi hukum. Terlebih unggahan tersebut memuat simbol dari kalangan lain, yang tentunya dapat mamantik beragam asumsi dan sanggahan. Wallahu A'lam Bish Shawabi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H