Realitas kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari adanya hamil diluar nikah akibat perzinahan Hamil diluar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di masyarakat.
Sejak zaman dahulu pembahasan semputar zina memang cukup kompleks. Apalagi jika ditarik dalam kehidupan sekarang, dimana perkembangan teknologi seakan membuat celah untuk tumbuh suburnya praktik ini. Namun kembali lagi, aturan zina yang sudah termaktub dalam Al-Qur'an merupakan bentuk apresiasi Tuhan untuk kehidupan.
Lalu bagaimana aturan pernikahan, jika seorang wanita sudah mengandung sebelum dilaksanalan ijabnya. Memang ada pandangan berbeda mengenai kasus ini, meskipun akar awal masalahnya terjadi zina atau hubungan seksual pranikah. Tentu tindakan itu memiliki kensekuensi hukum mengikat.
Utamanya saat diberlangsungkan pernikahan meski perempuan dalam keadaan hamil. Masalahnya fakta dilapangan perihal zina yang harusnya ditentang kadang terbentur dengan urusan malu jika keluarga di gunjing orang. Nahasnya tidak sedikit pernikahan yang terjadi lantaran ke hamilan tidak dilakukan berdasarkan tata cara yang benar.
Keluarga justru lebih malu jika itu diketahui banyak orang jika anaknya hamil duluan. Padahal dengan asumsi dan cara pandang tersebut mengakibatkan kesalahan lain yang tidak disadari. Meskipun dalam aturan Hukum Kompilasi Islam (HKI) memiliki kebolehan dalam pernikahan tersebut.
Silang Pendapat
Menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu wanita itu melahirkan kandugannnya. Secara legal formil menganut HKI selama itu memenuhi unsur dan persyaratan hukum kita pasti jelas sah. KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya dengan aturan-aturan yang sudah dijabarkan dalam nomenklatur itu.
Sementara menurut hukum Islam jika ditinjau dari status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi perbedaan pendapat diantara ke empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya.
Meski ada banyak argumen dan cara pandang berbeda dikalangan ulama perihal hukum wanita menikah saat hamil. Toh tidak dipungkiri jika saat ini ditengah masyarakat masih sering dijumpai kejadian semacam itu. Isbat nikah tetap digelar meski si perempuan dalam keadaan hamil.
Dasar ini tentu tidak terlepas dari masifnya kebebasan yang cendrung kebablasan. Jika dahulu masyarakat Indonesia mahfum dengan angka pernikahan diusia dini akibat faktor kultural di Masyarakat serta latar belakang pendidikan yang timpang sehingga sering diidentikan dengan masyarakat di wilayah pedesaan.
Pun saat ini tren tersebut mulai bergeser ke perkotaan. Masifnya angaka pernikahan diusia dini selain dari faktor pergaulan juga terjadi akibat salah pergaulan. Dampaknya tidak sedikit pasangan yang belum mencukupi dari segi usia harus menikah lantaran sang wanita sudah berbadan dua.
Delik Aduan
Ironisnya, masifnya angka pernikahan diusia dini juga dilatarbelakangi oleh tidak adanya landasan hukum yang kuat ihwal aturan perzinahan. Mengingat dalam norma hukum kita aturan perihal perzinahan termaktub dalam Kitab Undang-undang Pidana (KUHP) didalam delik aduan.
Dimana delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Sehingga, meski perzinahan tersebut terjadi, namun jika tidak ada orang lain yang merasa dirugikan dalam hal ini dari pihak keluarga kedua pihak, tetap tidak dapat diproses secara hukum.
Inilah bisa disebut salah satu alasan yang melatarbelakangi meningkatnya angka pernikahan diusia dini akibat hubungan pranikah yang berimbas pada kehamilan. Meski upaya-upaya dilakulan untuk menekan angka tersebut. Toh kenyataan kejadiannya terus berulang dengan signifikasi data yang mencengangkan.
Akibatnya tidak hanya akan melanggengkan perzinahan namun aturan pernikahan jadi sebatas dogma untuk hanya sekedar pelengkap kehidupan. Perbuatan zina maupaun kohabitasi yang diatur dalam KUHP hanya dapat diadukan oleh orang yang terkena dampak dua perbuatan tersebut.
Sehingga jangan salah jika kedepan angka tersebut mungkin akan terus memiliki fluktuasi kenaikan. Sebab tidak ada upaya pencegahan dengan penggunaan aturan hukum yang lebih meminimalisir tindakan diatas. Apalagi dengan kemajuan zaman serbah berbasis teknologi. Seakan menjadi angin segar tersendiri. Wallahu A'lam Bish Shawabi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H