Perdebatan seputar mudik dan pulang kampung terus membanjiri jejaring media sosial kita. Bahakam kanal pemberitaan saat ini juga semakin penuh sesak dengan asumsi-asumsi liar yang di dengungkan. Seolah-olah hal tersebut di anggap lelucon di tengah hiruk pikuk pandemi Coronavirus Disease (Covid-19).Alasan apapun pembatasan warga untuk tidak berpergian terlebih dahulu memang memiliki implikasi untuk memutus mata rantai Covid-19. Namun, cara-cara yang dilakukan juga harus terukur. Mengingat ihwal yang dihadapi masyarakat saat adalah hal yang tak kasat mata.
Tepat penanganan dalam hal tindakan sejak sedini mungkin agar dampak perluasan wilayah jangkauan virus ini tidak semakin melebar. Tentu hal itu tidak akan mudah, lantaran luasan wilayah Indonesai yang tidak kecil. Pun mekanis-mekanisme yang tidak mudah untuk menahan mobilisasi warga.
Ditambah kesiapan masyarakat utamanya di akar rumput yang tentu akan bergejolak seandainya pembatasan dilakukan secara seporadis. Disamping itu upaya nyata pemerintah untuk memerangi pandemi ini juga tidak bisa dikatakan main-main. Ada banyak pertimbangan yang dilakukan agar semuanya tidak ada yang dirugikan.
Namun, alih-alih memilih potensi dampak yang ditimbulkan sang virus. Beberapa upaya yang dilakulan kadang justru menjadi batu sandungan bagi sebagian kalangan. Bukan tanpa alasan, sebab disadari atau tidak kondisi di tengah pandemi memang memaksa pemerintah putar otak untuk bertaruh dengan waktu.
Ritus Tahunan
Bertepatan dengan bulan suci ramadhan yang tentunya menyimpan tradisi kental dengan perpindahan orang dari satu wilayah ke tempat lain. Tentunya menjadikan isu ini  cukup krusial di masyarakat seandainya tidak ditangani dengan bijak. Tidak terbayangkan seandainya tradisi itu tetap berjalan di tengah pandemi yang berkepanjangan.
Hingga akhirnya pada Rabu, 22 April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo akhirnya melarang seluruh warga mudik ke kampung halaman. Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta daerah zona merah Covid-19 lainnya.
Larangan tersebut berlaku mulai 24 April. Adapun sanksi akan diberlakukan pada 7 Mei bagi mereka yang bersikeras untuk mudik. Mulanya Jokowi hanya melarang para ASN, pegawai BUMN, dan personel TNI-Polri untuk mudik Lebaran.
Pemerintah lantas menjanjikan adanya insentif bagi perantau yang tak mudik dengan bantuan sosial (Bansos) berupa sembako dan bantuan langsung tunai. Rupanya tak semua masyarakat menggubris tawaran pemerintah tersebut. Hingga saat ini tetap saja masif ditemui masyarakat yang nekat kembali ke kampung halaman.
Terlepas dari larangan yang menurut penulis serba terlambat namun tetap saja ini memantik diskusi berkepanjangan dikalangan masyarakat. Sebab presiden sempat melontarlan pernyataan yang membuat ambiguitas tinggi. Utamanya perihal mudik dan pulang kampung.
Walaupun tetap dijelaskan apa dan bagaimana perbedaan keduanya berdasar asumsi presiden. Tetap saja hal tersebut masih menjadi celah kendala untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Pun penulis mengamini jika putusan dan sanggahan yang di lontarkan presiden memiliki implikasi yang kuat dari dampak pandemi ini.
Memang kedua putusan tersebut tak ubahnya dua mata pisau yang saling berlawanan. Satu sisi berdampak negatif, satunya lagi tetap memiliki porposi positif walau juga rentan menimbulkan dampak negatif dikemudian hari. Pada sangka penulis, hal tersebut semacam pelecut untuk meminimalisir dampak Covid-19.
Fokus Pencegahan
Asumsi Presiden yang memandang pemudik sebagai warga Jakarta yang sudah menetap di Jakarta, ingin ke kampung halaman untuk nantinya berlebaran bersama keluarga di sana, tentu tidak salah. Dilijat dari sisi urgenisitas masih dipertanyakan. Ihwal seberapa pentingnya untuk kembali ke kampung halaman itu.
Sementara asumsi Presiden perihal pulang kampung lebih sepesifik bagi warga yang masih bertempat tinggal di desa. Namun memiliki pekerjaan di Kota, dalam hal ini Jakarta. Lalu akibat dampak Covid-19 pekerjaan di kota terkena imbas sehingga memilih pulang kampung di desa. Menurut pemerintah hal itu tetap di izinkan, lantaran keluarganya masih di desa.
Apapun asumsi yang di berikan tentu hal ini manjadi debat kusir yang berkepanjangan di pelbagai kanal media sosial. Memang jika ingin serius memutus mata rantai penyebaran Covid-19 sikap tegas pemerintah perlu di gaungkan guna memberikan implikasi yang signifikan dalam upaya pencegahan.
Namun ketegasam tanpa solusi yang jelas juga berdampak fatal bagi masyarakat. Terpukulnya ekonomi akibat Covid-19 tentu membuka mata kita semua jika hidup di kota tak selamanya manis saja. Beragam permasalahan muncul dikala upaya pengurangan pekerja terjadi dimana-mana.
Dampaknya pilihan untuk kembali ke desa hingga menunggu situasi mereda semacam menjadi solusi di tengah pandemi dan krisis yang menimpa diri. Setidaknya, di desa dengam segala kearifannya memiliki dampak krisis yang cukup signifikan dari pada tetap memaksakan tinggal di kota.
Lalu, sesampainya di desa upaya swakarantina juga menjadi harga mati agar tetap bisa meminimalisir potensi perluasan Covid-19 di lingkungan desa. Pun warga desa, tidak serta merta memberikan justifikasi negatif bagi mereka yang kembali ke desa. Ingat paparan virus ini hanya akan terjadi pada droplet bukan dari udara, tapi percikan.
Sehingga upaya-upaya pencegahan tetap bisa dilakulan tanpa melakukan penghakiman kepada mereka yang baru pulang merantau akibat dampak Covid-19. Taat anjuran social distancing hingga physical distancing, serta mengenakan masker saat akan bepergian menjadi ikhtiar untuk menghentikan penularan. Wallahu A'lam Bish Shawabi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H