Mohon tunggu...
Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Klasik

Sedang menempa kanuragan di Jurusan Ahwalusasyhiah IAI Ibrahimy Genteng Bumi Blambangan Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tanam Mangrove Berbuah Makruf

14 Februari 2020   00:35 Diperbarui: 14 Februari 2020   01:05 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kawasan terluas. Bahkan jika melihat data di peta digital, luasan wilayah Banyuwangi yang hanya Kabupaten mengalahkan luasan Bali yang menjadi Provinsi. Sehingga tidak sedikit berbagai inovasi terus diupayakan masyarakatnya guna memaksimalkan potensi yang ada di Bumi Blambangan.

Tak hanya luasan wilayah, Banyuwangi juga memiliki garis pantai cukup panjang. Bagaimana tidak, garis pantai wilayah Banyuwangi terbentang mulai dari timur hingga selatan wilayahnya. Maka tak heran jika dewasa kini perkembangan sektor wisata pantai terus digarap dan diolah oleh pemerintah daerah agar menjadi jujukan wisatawan.

Namun luasan pantai Banyuwangi layaknya dua sisi mata pisau, satu sisi memiliki potensi manfaat yang bisa dikelola menjadi destinasi wisata. Pun disisi lain memiliki dampak potensi kebencanaan yang juga membahayakan bagi masyarakat di pesisir pantai tersebut.

Nahasnya beberapa pembangunan yang terjadi di pesisir pantai Banyuwangi kadang kurang memikirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Sebut saja pembangunan proyek dermaga perikanan yang mereklamasi pantai berjarak 600 meter dari Pantai Watu Dodol.

Dampaknya, lapak pedagang yang dulunya berjarak 30 meter dari jalur pantura Banyuwangi - Situbondo kini menjadi 15 meter. Hal itu dikarenakan abarasi air laut yang membuat garis pantai semakin mendekat ke daratan. Tak hanya lapak pedagang, beberapa fasilitas umum seperti toilet dan mushola juga terdampak.

Padahal jika melihat potensi bawah laut disekitar lokasi, sekecil apapun proyek di wilayah pantai, terlebih reklamasi akan berdampak pada ekosistem dan perubahan gelombang. Selain itu, karena lokasi proyek berada di Selat Bali yang memiliki arus kuat sehingga berdampak pada perubahan garis pantai. (Red. Radar Banyuwangi edisi 12 Januari 2019).

Faktor Alam
Meski hemat penulis terjadinya abrasi di sejumlah pantai tidak hanya di sebabkan pembangnan saja, namun juga karena faktor alam yang juga berperan mempengaruhi segala aspeknya. Sehingga perlu ada penyadaran bersama oleh masyarakat untuk mengamankan garis pantai di Banyuwangi.

Sekedar diketahui, beberapa pantai di Banyuwangi saat ini sudah mengalami abrasi akibat tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Sebut saja abrasi yang terjadi di area Pantai Cacalan, Pantai Blimbingsari dan beberapa pantai lainnya di kawasan Kecamatan Wongsorejo yang kondisinya memprihatinkan.

Oleh karenanya upaya-upaya penyadaran kepada masyarakat agar terus peduli terhadap lingkungannya terus digerakan. Salah satunya kegiatan Jambore Banyuwangi Bebas sampah 2020. Jambore digelar di Pantai Kedung Derus, Desa Pondoknongko, Kecamatan Kabat menggelar beragam kegiatan.

Selama tiga hari, peserta diajak untuk ikut serta bertukar fikiran mulai diskusi tentang masalah sampah, pengelolaan limbah, hingga melakukan penanaman pohon mangrove di sepanjang pantai bersama Komunitas Bengkel Kreasi Indonesia Berkarya (Berkibar). Penanaman mangrove ini tentu menjadi angin segar bagi pesisir pantai Banyuwangi.

Sebab berdasarkan rilis Food and Agriculture Organization (FAO) secara ekologis, ekosistem mangrove dapat menghasilkan sejumlah besar detritus. Sebagian detritus ini dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh fauna makrobenthos dan sebagian yang lain diuraikan secara bakterial menjadi unsur hara yang berperan dalam penyuburan perairan.

Selain itu hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi ombak laut yang dapat mengikis garis pantai. Tidak hanya itu, Hutan mangrove juga menjadi habitat yang nyaman bagi perkembangbiakan berbagai jenis burung dan satwa lainnya. Adapun secara ekonomi, ekosistem mangrove ini dapat memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan, baik bagi masyarakat, daerah, maupun Negara.

Sesat Pikir Mangrove
Di tengah banyaknya manfaat tanaman mangrove tersebut ironisnya masih saja ada sesat pikir yang terjadi saat menghadapi fenomena lingkungan. Sebut saja surat yang sempat beredar dikeluarkan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyuwangi. Surat itu ditanda-tangani Kepala DLH Kabupaten Banyuwangi kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur.

Surat yang memuat tentang rencana penebangan 4.000 batang pohon mangrove di lahan 16.000 m2 yang ada di Sungai Kalilo yang masuk dalam kawasan PT Pelindo Properti Indonesia, Banyuwangi tentu menuai protes dari berbagai kalangan. Meski pada akhirnya putusan penebangan tersebut akhirnya dibatalkan.

Penulis ingin menanggapi beberapa alasan penebangan mangrove yang ada di surat yang sempat menjadi perhatian pegiat lingkungan di Banyuwangi akhir tahun lalu. Kedepan dengan ada penyatuan paradigma diharapkan kejadian serupa tidak terulang kembali.

Pertama, pandangan terkait adanya tumpukan sampah yang tersangkut di akar pohon mangrove yang menjadi salah satu alasan penebangan di surat tersebut tentu tidak bisa ditelaah secara logika. Sampah yang dibuang oleh manusia namun tanaman yang seharusnya memberi manfaat malah harus dikorbankan. 

Kedua terjadinya sedimentasi yang membuat aliran sungai kalilo tidak bisa mengalir. Sedimantasi yang terjadi bukan lantaran tanaman magrove saja. Mengingat saat ini setiap hujan yang terjadi di Banyuwangi matrial yang dibawa tidak hanya air saja. Namun juga matrial tanah yang lambat laun juga akan mengendap. 

Ketiga, alasan kehidupan ikan dan sejenisnya sudah mulai punah menjadi ironi jika solusinya harus menebang mangrove. Seperti data diatas dari FAO idealnya tanaman mangrove bisa menjadi habitat bagi ekosistem disekitarnya. Jika tidak maka harus diusut apakah ada pencemaran lingkungan yang tinggi sehingga ekosistem tersebut tidak lagi ditemui. Bukan malah memilih jalan merusak mangrove dengan upaya penebangan.

Akhirulkalam, manusia tidak hanya makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain. Namun juga makhluk alam yang membutuhkan lingkungan hidup untuk bertahan. Jika tidak mulai sekarang dijaga lalu kapan lagi. Jika bukan kita lalu siapa lagi. Wallahu A'lam Bish Shawabi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun