Mohon tunggu...
Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Klasik

Sedang menempa kanuragan di Jurusan Ahwalusasyhiah IAI Ibrahimy Genteng Bumi Blambangan Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukuman Mati, Solusi atau Ironi?

13 Februari 2020   01:26 Diperbarui: 13 Februari 2020   01:50 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: sweetwaternow.com

Beberapa bulan terakhir publik Banyuwangi disajikan ihwal informasi berkait tindak pidana yang berakibat korban meninggal dunia. Mulai dari kasus pencurian dengan kekerasan di Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar yang berakibat NGR (23) meninggal dunia.

Kemudian kasus pembunuhan NH (42), warga Jalan Citarum, Kelurahan Panderejo, Banyuwangi yang ditemukan meninggal dunia di kamar rumah milik Warga Negara Belanda berinisial HT (56) di Kelurahan Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi juga tak luput jadi atensi.

Terbaru, Warga Banyuwangi digegerkan penemuan jenazah R (17) warga Lingkungan Papring Kalipuro dalam kondisi hangus terbakar. Korban tersebut ditemukan di kebun Dusun Kedawung, Desa Pondoknongko, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Sabtu, 25 Januari 2020.

Ketiga kasus tersebut nampak memiliki narasi yang sama bagi keluarga korban dengan menuntut agar pelaku pembunuhan dihukum mati. Pun begitu, realitas dilapangan tidak selalu ideal dengan tuntutan keluarga karena pertimbangan hukum dari proses persidangan yang berlangsung.

Pembaca tentu masih ingat hasil putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi terhadap AC (34) pelaku pencurian dengan kekerasan yang berakibat NGR (23) warga Muncar Banyuwangi meninggal. Gelaran sidang yang dimulai Kamis, 5 Desember 2019 hingga 21 Januari 2020 selalu mendapat kawalan petugas lantaran ruang sidang selalu dipadati keluarga, kerabat serta rekan korban.

Mengutip Radar Banyuwangi Edisi Rabu 22 Januari 2020 menyajikan ihwal tuntutan hakim dari PN Banyuwangi. Sidang yang digelar di Ruang Garuda itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Luluk Winarko menghasilkan putusan 15 tahun penjara bagi pelaku AC (34).

Pelaku dijerat Pasal 365 ayat 1 dan 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian dengan kekerasan. Hal itu setelah Jaksa Penutut Umum (JPU)I Ketut Gde Dame Negara menyatakan secara sah bersalah melakukan pencurian disertai dengan kekerasan.

Perspektif Lain

Sementara itu perkambangan kasus pembunuhan yang melibatkan WNA Belanda hingga kini terus dilakukan upaya melengkapi pemberkasan untuk nantinya segera dilimpahkan ke kejaksaan. Bahkan pihak kepolisian sudah mengupayakan adanya pendampingan dengan mengirim surat kepada Konsulat Jenderal (Konjen) Belanda terkait kasus pembunuhan yang melibatkan HT (56).

Sebab HT meminta adanya pengacara penunjukan dari Konjen Belanda untuk mendampingi pemeriksaan penyidikan atas kasusnya tersebut. Petelah adanya pendampingan hukum, pihak kepolisian menggelar rekonstruksi adegan pada Rabu 8 Januari 2020. Ada 15 adegan yang diperagakan dalam gelar rekonstruksi tersebut.

Kapolresta Banyuwangi Kombespol Arman Asmara Syarifuddin mengatakan reka ulang merupakan bagian teknis untuk memperjelas kronologi kasus pidana. Berdasarkan hasil rekonstruksi yang dilakukan semuanya sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sebelumnya dilakukan oleh petugas. (Radar Banyuwangi, Kamis 09 Januari 2020).

Jika dilihat dari perspektif Fiqh Jinayah, Qishash dimana Secara etimologis dari kata Qashoshon, Yaqushu, Qoshan yang berarti mengikuti atau menelusuri jejak. Sedangkan secara terminologi diartikan sebagai pengenaan sanksi hukum kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban seperti tertulis dalam kitab Al-Mu'jam Al-Wasit (1972).

Oleh karena itu dalam Fiqh Jinayah utamanya pembahasan ihwal al-uqubat al-ashliyah mengiterpretasikan jika nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia pernah menganiaaya korban.

Pandangan diatas tentu akan menjadi solusi dengan apa yang menjadi tuntutan keluarga korban. Namun, hal itu tidak akan menemukan titik temu karena hukum positif yang berlaku di Indonesia berlandaskan pada KUHP. Tidak hanya itu saja, disisi lain isu tentang hukuman mati pun juga memiliki catatan tersendiri di negeri ini.

Tuai Pro-kontra

Meski penulis tidak menafikan beberapa aturan hukum Indonesia memiliki konsekuensi hukuman mati. Seperti data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang mencatat lebih dari 30 tindak pidana di Indonesia masuk dalam 13 Undang-Undang yang dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana mati.

Namun secara praktek hanya empat tindak pidana yang paling sering mendapat putusan hukum mati bersifat inkrah. UU yang sering dipakai termasuk UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme, UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak serta Pembunuhan berencana seperti tercantum dalam KUHP.

Ironisnya ihwal hukuman mati, pada tahun 1966 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan perjanjian International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) yang sampai sekarang telah diratifikasi oleh 142 negara termasuk Indonesia.

Indonesia meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Secara umum, ICCPR itu bertujuan untuk memperkuat pokok-pokok Hak Asasi Manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights.

Aturan tersebut banyak mengatur hak-hak sipil dan politik utamanya hak untuk hidup termasuk ada di dalamnya. Walaikin dengan adanya ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU 12 tahun 2005 itu maka Indonesia dalam penerapan pidana mati menuai banyak pro dan kontra.

Saat hukuman mati ditegakan sesuai aturan perundang-undangan beberapa pihak mengatakan bahwa Indonesia telah melanggar apa yang diatur dalam ICCPR berkait larang eksekusi mati. 

Di lain sisi, banyak pihak yang mengatakan korban-korban kejahatan luar biasa pun memiliki hak untuk hidup yang sama dengan si pelaku, sehingga hukum di Indonesia harus menitikberatkan pada Hak Asasi Manusia korban dengan menghukum pelaku seadil-adilnya termasuk penerapan hukuman mati.

Akhirulkalam, putusan hukum yang sudah ditetapkan tentunya tidak akan memuaskan kedua belah pihak. Pasti akan ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dengan putusan itu. Mengingat tidak selalu Das Sollen linier dengan Das Sain yang ada di masyarakat. Wallahu A'lam Bish Shawabi

*Tulisan ini juga sempat di muat di Radar Banyuwangi dengan judul yang sama.

Tangkapan layar tulisan si lamam Radar Banyuwangi. (Foto dok. Fareh)
Tangkapan layar tulisan si lamam Radar Banyuwangi. (Foto dok. Fareh)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun