Mohon tunggu...
Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Klasik

Sedang menempa kanuragan di Jurusan Ahwalusasyhiah IAI Ibrahimy Genteng Bumi Blambangan Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Maulid Nabi di Kota Santri

20 November 2019   23:30 Diperbarui: 20 November 2019   23:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Acara puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Al Muttaqqin Kaliwungu. (Fareh/kompasiana.com)

Tradisi ketuwin di Kaliwungu menjadi daya tarik masyarakat. Sakralitas tetap terjaga meski digerus oleh kemajuan zaman.

Kaliwungu, Kecamatan yang terletak 21 Km arah Barat Semarang, masih masuk wilayah daerah administrasi Kabupaten Kendal. Kota kecil dengan tradisi kuat sebagai kota santri. Memiliki jumlah penduduk yang 99 persen beragama Islam, Kaliwungu saat ini mempunyai lebih dari 30 pondok pesantren yang tersebar di belahan desanya. 

Pagi itu, Azan subuh berkumandang dari Masjid Al-Muttaqin Kaliwungu. Para santri dari Pondok Pesantren Asrama Islam Pelajar Kauman (APIK) dan warga berduyun-duyun memasuki masjid besar yang berada di dekat alun-alun Kota Kaliwungu Kendal, Jum'at (08/11/2019).

Usai menunaikan salat, salah seorang warga Dusun Kauman, Rukhanah (72) tampak sibuk di dapur. Ia tengah membuat aneka jajanan untuk perayaan ketuwin atau orang banyak juga menyebut weh-wehan di Kaliwung. Perayaan yang digelar pada malam 12 Rabi'ul Awwal itu tak lain untuk menyambut maulid Nabi Muhammad SAW.

Rukhanah menjelaskan perayaan itu telah menjadi tradisi yang lekat dengan masyarakat Kaliwungu. Acaranya berlangsung selepas salat asar sampai menjelang salat isya dengan berbagai sajian olahan makanan tradisional. 

Salah satu olahannya ialah sumpil, makanan khas itu hanya disajikan ketika perayaan ketuwin. Sumpil terbuat dari beras ketan, dibungkus daun bambu berbentuk segitiga. Biasanya jenis jajanan itu disajikan dengan sambal parutan kelapa.

Rukhanah menceritakan antusias anak sangat tinggi. Tak jarang, mereka diminta orang tuanya untuk mengantarkan makanan ke tetangga. "Warga yang tidak punya anak tetap di rumah, menunggu antaran dari tetangga kemudian ditukar dengan makanan yang telah disiapkan," kata wanita paruh baya itu.

Penuh Makna

Ketuwin sebenarnya sudah ada sejak masa penyebaran agama Islam di Pulau Jawa khususnya di Kaliwungu. Sayangnya, tak banyak warga yang tahu makna dari perayaan itu. Seperti yang diungkapkan Nasikhin (82), ketuwin ini merupakan warisan tradisi turun-temurun dari orang-orang terdahulu.

"Semenjak saya kecil tradisi ini sudah ada," ujar warga Pungkuran Kaliwungu. Namun Nasikhin mengaku kurang paham asal mula dan makna ketuwin. Seingat dia sejak ia kecil tradisi Ketuwin sudah di kenalkan oleh orang tuanya. 

Tak hanya itu saja jajanan yang digunakanpun beberapa masih dibertahankan saat ini. Jika ditilik dari aspek pembelajaran tradisii ini cukup baik bagi anak-anak. Mengingat dalam tradisi itu anak akan diajarkan saling berbagi. "Intinya saling memberi," katanya.

Semaentara itu, Ahmad Fauzi, pengasuh Pondok Pesantren Arribathul Islami (ARIS) Kaliwungu mengungkapkan tradisi di Kendal Ketuwin berasal dari Bahasa Jawa. Secara terminologi ketuwin berangkat dari kata dasar tuwi-nuweni-ketuwin. Tuwi berarti tilik, nuweni berarti nilik'i atau mengunjungi. 

"Jadi ketuwin dapat diartikan saling mengunjungi," jelasnya.

Lebih lanjut, Fauzi sapaan akrabnya, menuturkan weh-wehan berasal dari kata aweh dalam bahasa Jawa yang bermakna memberi. Weh-wehan merupakan kata ulang atau reduplikasi yang bermakna saling. Sehingga weh-wehan bermakna saling memberi. 

"Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur masyarakat sekaligus menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW," ungkapnya.

Sekilas kegiatan weh-wehan tampak mirip seperti cara barter pada zaman dahulu. Bedanya jika barter terjadi karena adanya kecocokan antar pihak yang terlibat namun weh-wehan lebih di dasarkan pada keikhlasan memberi. 

Pada prosesi itu, warga saling mengunjungi untuk memberi makanan yang telah mereka buat. Sumpil menjadi makanan khas Kaliwungu yang selalu dihidangkan saat perayaan itu. 

Fauzi mengungkapkan, sumpil mengandung makna yang sangat mendalam terutama bagi masyarakat muslim. Ketika sumpil diposisikan berdiri, hal itu merupakan perlambang dari keseimbangan hidup manusia.

Ujung atas pada sumpil merupakan manifestasi hubungan manusia dengan Allah SWT (hablu minallah). Sedangkan ujung bawah kanan dan kiri, merupakan lambang hubungan manusia dengan sesama (hablu minannas).

"Keseimbangan hubungan dunia dan akhirat itu penting," tegasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun