Awal bulan ini insiden kecelakaan yang melibatkan sebuah mobil dengan KA Mutiara Timur Siang jurusan Surabaya-Banyuwangi di perlintasan sebidang tak berpalang kembali terulang. Akibatnya, satu korban meninggal serta mobil Isuzu Panther Nopol DK 1734 BD warna biru ringsek pasca insiden di Dusun Sidodadi Desa Tegalharjo Kecamatan Glenmore Banyuwangi.
Insiden tersebut tampaknya menambah catatan panjang jumlah kecelakaan yang terjadi diperlintasan sebidang di Banyuwangi. Bagaimana tidak, masih lekat diingatan kita insiden Dua kecelakaan yang melibatkan Kereta Api (KA) terjadi di Banyuwangi dalam sehari. Kala itu ada empat korban meninggal pada awal bulan agustus 2019.
Kecelakaan pertama terjadi di Jembatan Kereta Api Sasak Tambong, Desa Kabat, Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Seseorang tanpa identitas tertabrak Kereta Api Probowangi jurusan Surabaya-Banyuwangi. Lalu kecelakaan terjadi juga di perlintasan KA tanpa palang pintu di Desa Kajarharjo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi ada tiga korban meninggal dalam insiden tersebut.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat, pada 2018 saja, dari 395 kejadian, 245 orang jadi korban akibat kecelakaan di perlintasan sebidang. Jumlah itu meliputi luka ringan, luka berat, hingga meninggal dunia.
Nekat TerobosÂ
Sedangkan di wilayah kerja PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional (Daop) IX Jember selama tahun 2019 hingga bulan september lalu tercatat ada 14 insiden kecelakaan diperlintasan sebidang. Parahnya kecelakaan disebabkan karena kendaraan nekat menerobos palang pintu KA.
PT KAI Daop IX mencatat di wilayah kerjanya memiliki 381 perlintasan sebidang yang resmi serta 76 perlintasan sebidang tidak resmi. Jumlah tersebut hanya memiliki 98 titik perlintasan yang dijaga dan memiliki palang pintu. Sisanya 283 perlintasan sebidang belum memiliki penjagaan dan palang pintu kereta api. (Radar Banyuwangi, 7 Oktober 2019)
Berbicara masalah perlintasan sebidang memang tidak akan terlepas dari Undang--Undang 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Aturan tersebut mengatur ikhwal perpotongan antara jalur kereta api dengan jalan yang disebut sebagai perlintasan sebidang.
Idealnya memang seharusnya dibuat tidak sebidang, kecuali bersifat sementara. Selain itu, aturan tersebut juga memuat pengecualian terhadap ketentuan yang mengatur jaminan keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan sehingga potensi kejadi kecelakaan bisa diminimalisir.
Beda Pandangan
Berbicara tentang insiden kecelakaan, penulis jadi teringat kala beradu pendapat disuatu forum diskusi kampus di Semarang. Saat itu tema yang diangakat memang berkenaan dengan tauhid yang konsen mambahas ikhwal iman kepada qadla' (takdir). Dua pandangan terpecah saat pemantik diskusi menyebut jika insiden kecelakaan merupakan takdir mubram.Â
Seperti diketahui, mayoritas ulama membagi takdir menjadi dua macam, pertama, takdir mubram, yaitu takdir yang sudah mutlak sehingga ketetapannya tidak dapat diubah dengan cara apa pun. Kedua, takdir mu'allaq, yaitu takdir yang mengikut sertakan peran manusia melalui usaha atau ikhtiarnya, oleh karena itu manusia diberi peran untuk berusaha.
Kala pemantik diskusi mengemukakan argumennya ikhwal insiden kecelakaan yang disebut takdir mubram. Ia beralasan dengan menganggap bahwa insiden tersebut merupakam ketetapan yang sudah digariskan sehingga tidak bisa dirubah.
Namun penulis memiliki pandangan lain, insiden kecelakaan bisa dilihat dari dua prespektif yang berbeda. Jika kejadian itu belum terjadi maka bisa dikatakan merupakan takdir mu'allaq pandangan ini berdasar pada saat sebelum terjadinya kecelakaan manusia masih memiliki iradat untuk lebih berhati-hati.
Kehati-hatian inilah merupakan salah satu ikhtiar dari manusia untuk bisa terhindar dari insiden kecelakaan tersebut. Meskipun tidak dinafikan terkadang sudah berhati-hati namun tetap saja celaka maka jika itu sudah terjadi ketetapan hukumnya akan berubah menjadi takdir mubram.
Pra Insiden
Disini penulis menekankan pada aspek sebelum terjadinya kecelakaan karena klasifikasi mubram dan mu'allaq ini tetap saja tidak aplikatif jika semuanya belum terjadi. Menukil Kitab Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari karangan Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani ikhwal pembahsan takdir mu'allaq menuliskan sesungguhnya yang telah diketahui Allah itu sama sekali tak berubah dan berganti.
Mengingat yang bisa berubah dan berganti adalah perbuatan seseorang yang tampak bagi manusia dan yang tampak bagi para malaikat penjaga dan yang ditugasi berinteraksi dengan manusia itu sendiri
Maka dalam hal itulah terjadi penetapan dan penghapusan takdir, semisal tentang bertambahnya umur atau berkurangnya. Adapun dalam ilmu Allah, maka tak ada penghapusan atau penetapan namun sebaliknya dalam ilmu manusia karana semua serba terbatas maka manusia dituntut untuk berikhtiar terlebih dahulu apapun yang terjadi.
Namun sama saja pandangan tersebut tetap mendapat sanggahan dari pemantik diskusi yang tetap bersikeras jika kejadian kecelakaan apapun baik pra maupun pasca insiden merupakan ketetetapan yang bersifat mubram. Ia berasumsi hanya pada satu pandangan yang menganggap sebelum terjadinya kecelakaan manusia tidak memiliki iradat untuk berhati-hati.
Hingga akhir diskusi kami tetap pada pandangan dan pendirian masing-masing, namun hal itu merupakan sesuatu yang biasa setiap kelas diskusi berlangsung, karena bagi kami beda pendapat itu wajar, yang kurang ajar jika tidak bisa menerima pandangan orang dengan cara aroganÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H