Selama tinggal di Yogya, dua kali pergantian tahun, aku jarang bersua dengan keluarga. Mudik lebaran aku masih sibuk menambah hafalan, libur tahun baru aku masih terus murojaah hafalan. Â
Dan pada hari libur lainya, ketika mengirimkan pesan kepada keluarga. Sering kali ayah memaksaku untuk tidak pulang. Berbagai macam alasan ia utarakan seperti, masalah ongkos pulang pergi, khawatir hafalan hilang di tengah jalan, rasa cemas ketika anak gadisnya harus menempuh berpuluh kilometer menggunnakan kendaraan umum, itu menjadi alasan supaya aku tetap tinggal.
Aku memaklumi semua hal itu, tidak ada rasa kecewa. Toh uang bulananku selalu lancar setelah aku pergi dari rumah dan memutuskan untuk menabung hafalan disini. Â Sebenarnya ini adalah pilihan yang cukup sulit bagiku, Â mengingat baru tahun ini aku jauh dari dekapan hangat kedua orang tua. Â
Setelah belasan tahun tinggal bersama keduanya. Rasa-rasanya tidak ingin lepas dan pergi menjauh. namun, aku belajar bahwa kiat sukses seseorang datang dari keadaan sulit, terhimpit dan penuh tekanan. Barulah aku bisa berkembang.Â
Setiap rasa rindu menggebu, sering kali aku menelpon ke rumah. dalam sehari biasanya aku melakukan panggilan di jam-jam istirahat. Seperti sore menuju senja, terkadang malam selepas isya. Akan tetapi, panggilanku sering kali tidak diangkat. Barulah setelah beberapa jam setelahnya ayah pasti menelpon balik, menanyakan ada apa gerangan dan mengalirlah obrolan diantara kami berdua.
*
Mula-mula ayah menanyakan kabarku, sisa uang bulanan. Barulah merembet ke cerita-cerita menggemaskan soal adik bungsuku. Adik kecil yang baru saja lahir di tahun 2017. Ia sosok yang menggemaskan, rambutnya bergelombang, dengan pipi tembem, berkulit putih langsat dan cerewet. Tingkahnya sering kali membuatku gemas. karena setiap kali melakukan sesuatu ia pasti melapor kepada ibu, dan akan terus bercerocos hingga laporanya dijawab iya.
Selain adik bungsu, ayah juga bercerita soal putra sulungnya yaitu kakaku, yang akhir-akhir ini berubah sifatnya setelah beranjak dewasa. Ketika di rumah, ia sering kali bangun disaat matahari sudah meninggi. Pola hidupnya tidak teratur, ia sering begadang di depan komputer. Tampak sibuk mengerjakan sesuatu yang membuat perubahan dalam pola hidupnya.
Kakak-ku ingin menjadi seorang penulis katanya, hal itu mendapat pertentangan dari ayah, mengingat pekerjaan menulis tidaklah bonafit, tidak ada keuntungan lebih yang bisa dicadarkan dari hasil tulisan yang baru cair ketika lolos redaksi dan semacamnya. Bayaranya-pun tak seberapa. Pekerjaan mennulis menurut ayah, sangatlah tidak menjajikan. Ayah lebih menginginkan si putra sulung untuk melamar pegawai negeri saja, karena tunjangannya begitu banyak dan pastinya hidup akan lebih terjamin.
Ia tetap bersikeras melawan pertentangan dari ayah. "Aku tetap ingin menjadi menulis, biar-pun satu keluarga tidak ada yang mendukung. Aku tetap akan menulis" tutur ayah sambil menirukan gaya bicara kakakku yang menggebu-gebu ketika menginginkan sesuatu. Obrolan-pun berakhir ketika warung kedatangan pembeli, ayah menutup teleponnya dengan menitipkan salam kepadaku, agar bisa membujuk putra sulungnya mengikuti kemauannya.
*
"Sudah kubilang kan agar tidur tepat waktu, mau sampai kapan kamu hidup bermalas-malasan. Mendengkur di pagi hari, masih berselimut ditengah kesibukan orang-orang mencari penghidupan.kamu anak lanang nang. Tumpuan hidup keluarga"
perkataan itu sering kali dilontarkan oleh laki-laki yang setiap hari membangungkanku. Ia tampak kelihatan gemas dengan keadaanku yang tak kunjung berubah. Masih tetap sama setelah bertahun-tahun jauh dari rumah. Mendengkur kala surya mulai menampakkan kehangatannya.
Kata-kata itu sering kali mengusik batinku, membuatku berpikir panjang. Mau sampai kapan? Ah masa bodoh pikirku! Toh kehidupanku masih panjang. Aku bisa berubah saban waktu, ketika aku ingin berubah.
Laki-laki itu melenggang pergi setelah melihatku bangun, aku mengusap wajah dan mulai beranjak membuntuti langkahnya. Menuruni anak tangga dan masuk ke bilik mandi. Membasuh wajah menunaikan ibadah. Dan kembali kulanjutkan mimpiku yang sempat tertunda.
Ayam berkokok, keruyu-ruyu pagi disaat orang-orang mulai menjalankan rutinitas. Suara ibu-ibu sayup-sayup mencegat tukang sayur. Suara lidi yang bergesekan dengan tanah menggiring daun-daun kering, suara mesin motor distarter, dan suara-suara lainya yang mulai mengusik mimpiku. Kadang aku terbangun karena merasa risih, dan memejamkan mata kembali dengan tidak mempedulikan suara mereka. Kecuali suara anak kecil yang datang dari adik bungsuku. Â Ketika meneriakiku untuk bangung, maka aku langsung bangun dan pergi beranjak.
"Sudah sarapan nang?" sapa seorang perempuan dengan balutan senyum didepanku.
Aku hanya menggangguk, dan melenggang pergi ikut membantu ayah yang sedang memuat barang kiriman. Sepuluh dus gelas mineral, dua dus soda dan beberapa jenis barang lainnya. Kami berdua bekerja sama saling bergotong-royong memuat dan tak lupa mengecek kembali barang apa saja yang sudah siap dikirim.
Hari-hariku berjalan monoton, melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Setelah subuh kembali bermimpi, dan terbangun ketika matahari mulai meninggi, itu-pun sering kali setelah diteraiki oleh si bungsu, dengan langkah malas aku berjalan ke bilik mandi dan pergi bersiap untuk membantu pekerjaan orang tua.
Pekerjaan terus berlanjut Hingga malam selepas isya. Barulah aku pamit untuk beristirahat, pulang ke rumah untuk mengisi daya. Berbaring di tempat tidur sambil membaca cerita. Hingga waktu menjukan tengah malam, barulah aku membuka layar komputer.
Memulai mengetikan cerita, sering kali aku menulis karena kegusaran hati, unek-unek yang tak sempat tersampaikan. Lebih sering mengulang kembali cerita yang baru saja terjadi. Menulis cerita adalah hobiku semenjak pergi jauh dari rumah. Karenannya aku bisa mengenang banyak peristiwa. Sedikit banyak bisa mengurangi rasa rindu kala itu.
Aku belajar membuat cerita seorang diri, toh kegiatanku ini sedari awal tidak ada yang mendukung. Dimata kedua orang tua-ku, aku hanyalah seorang pemuda pengangguran yang menghamburkan waktu sia-sia didepan layar komputer. Tak ada uang yang dapat dihasilkan dari kegiatan tersebut. Mereka lebih menginginkan anaknya bekerja jelas. Seperti pegawai negeri itu yang hidup penuh  dengan tunjangan.
Â
Setelah beberapa jam, menatap layar komputer. Mataku terasa berawan, seperti ada kabut yang menghalangi pandanganku. Segera ku bangkit meninggalkan layar komputer yang masih menyala. Menuju wastafel  guna membasuh wajah agar pandanganku kembali normal. Selepas itu aku kembali dan mematikan komputer, bersiap untuk tidur.
Sesaat sebelum mataku terpejam, iseng aku bermain handphone. Melihat status teman-teman dan tak sengaja menemukan status adik tengahku yang sedang berpose dijalanan kosong. Dengan senyum simpul ia menuliskan kepsen dibawah fotonya, "Semoga menjadi Pribadi yang tangguh".
Reflek tanganku mengomentarinya "jalan-jalan saja kamu!".tidak menunggu berapa lama adikku langsung saja membalas pesan. "Besok ulang tahunku. Dasar kakak tidak peka!" aku tercengang beberapa saat setelah membaca pesannya. Baru kali ini ada seorang perempuan yang berterus terang terhadap sifatku yang apatis.
Rasa kantuk-ku mendadak hilang, aku kembali menyalakan layar komputer dan bersiap memberikan hadiah istimewa untuk adikku. Aku mulai menulis cerita.
*
Kala matahari baru menampakkan kehangatannya, aku masih asik dalam lantunan kitab suci, menghayati setiap makna yang terkandung di dalamnya. Melafalkannya dengan penuh khidmat. Waktu terus bergulir, hingga tak terasa terik matahari membakar punggungku, terasa panas menyengat, aku bersyukur atas nikmat ini. masih bisa merasakan panasnya sang mentari.
Aku mulai beranjak ke kamar, bersiap untuk mandi dan bersih-bersih. Setelah beres dengan kegiatan bersih-bersih. Aku mulai bersantai dengan gawai. Mencari berita ada peristiwa apakah hari ini.
Di tengah asyik bermain gawai, aku larut dalam satu cerita, membaca dan mendalami alurnya. Seorang perempuan diberikan kado ulang tahun istimewa dari kerabatnya. Kado itu tidak berbentuk kue, boneka, permen atau barang-barang lain yang biasa disematkan dalam kado ulang tahun. sang kakak memberikannya sebuah cerita, cerita ulang tahun.
Seolah menjadi pemeran utama, aku ikut kesengsem ketika mendapati akhir cerita. Berandai-andai kakak-ku akan  berbuat seperti itu. Memberikan kado ulang tahun tak biasa dihari spesialku.
Nada dering telepon tiba-tiba berbunyi, panggilan masuk dari kakak-ku, baru saja aku ngerasani  dia. Langsung saja dia muncul. Â
"ya ada apa A?"
"Sudah baca ceritaku?. Itu khusus untukmu"
"Oh ya, terima kasih"
Sambungan telepon lansung mati. Sesingkat itu ia bertukar pesan dan tidak berapa lama panggilan lain masuk kembali ke gawaiku, sekarang dari ayah. Lansung saja aku mengangkat panggilannya.
"Nok, bisakah kamu pulang nanti sore?"
"Iya, kenapa mendadak sekali yah, liburanku masih satu bulan ke depan. Aku belum membeli tiket dan persiapan yang lain"
"Ayah sudah membelikanmu tiket, sore ini kamu berangkat ke stasiun lempuyangan"
"Ada kabar apa ini? mengapa mendadak  sekali aku disuruh pulang?"
"Kakak-mu baru saja dipanggil Sang Maha Kuasa, setelah beberapa jam lalu ia hilang kesadaran. Dokter mendiagnosa ia terkena serangan jantung"
Telepon kumatikan, aku tercekat dengan kabar duka yang baru saja ku dengar. air mata merembes mili membasahi wajah. Aku menangis terisak, mengetahui kakak-ku pergi setelah menulis cerita ulang tahun.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H