Mohon tunggu...
Fardique Rudiyanto
Fardique Rudiyanto Mohon Tunggu... Petani - Petani dan peternak

Peminat literatur dan kini aktif sebagai petani di Dusun Ngambon, Desa Girimoyo, Kecamatan karangploso,Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Politik

KRI Usman-Harun

9 Maret 2014   23:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Samar-samar terbayang, Pamanku berseragam loreng tentara, datang ke rumah dengan langkah gagah sambil memanggul peti kayu. Peti kayu warna hitam itu tak lain adalah "koper" tempat berbagai macam barang bawaan. Adegan seperti ini tentu aneh, kenapa tidak pakai ransel atau tas punggung? Harap maklum,  peristiwa ini terjadi di bawah tahun 1970, aku belum sekolah. Ini adalah sebagian penggalan sejarah hidup Pamanku yang pernah bergabung sebagai sukarelawan "Ganyang Malaysia". Seusai jaman konfrontasi Indonesia-Malaysia itu, Pamanku melepas seragam tentara dan kembali mengabdi menjadi guru Sekolah Dasar di Situbondo-Jawa Timur. Sampai sekarang Pamanku masih bangga akan penggalan sejarah hidupnya itu. Ia masih lancar bercerita bagaimana latihan terjun payung, melakukan penyelundupan ke Singapura, pernah hampir tenggelam karena sampannya pecah dihantam ombak dan banyak cerita-cerita lain. Penggalan cerita ini punya kaitan erat dengan ribut-ribut soal penamaan KRI USMAN -HARUN belakangan ini. Dalam beberapa tulisan dan perdebatan yang di di dunia maya, banyak orang Indonesia sendiri menyayangkan kasus ini, kenapa harus menimbulkan "batang tenggelam" sehingga menyayat luka lama Pemerintah Singapura. Sementara yang lain tetap mendukung soal nama Usman-Harun ini karena merupakan urusan dalam negeri Indonesia sendiri. Bisa jadi, mereka yang mendukung ini adalah para "nasionalis" atau bisa jadi tidak memahami peristiwa sebenarnya. Pertimbangan pemerintah Singapura, Usman-Harun ini adalah "teroris" karena telah melakukan pengeboman di wilayah Singapura hingga menghilangkan nyawa tiga orang sipil dan melukai puluhan orang. Apa kita mau dijuluki sebagai bangsa teroris? Menggali "luka lama" ini, konfrontasi Indonesia-Malaysia, memang bukan perkara sederhana. Indonesia dibawah Presiden Soekarno ketika itu (1961) tidak setuju ketika Inggris hendak meggabungkan dua koloninya di Kalimantan yaitu Sarawak dan Borneo Utara (Sabah), Brunai dan Singapura dengan Semenanjung Malaya yaitu Federasi Malaya menjadi Federasi Malaysia. Penggabungan ini dianggap Soekarno sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris. Federasi Malaysia cuma sebagai boneka Inggris yang pada saatnya akan mengganggu keamanan dan dapat memicu pemberontakan di Indonesia. Kemudian timbul demontrasi di Kuala Lumpur yang merobek-robek foto Soekarno dan upaya menginjak-injak lambang negara, Garuda Pancasila. Pemerintah Indonesia pun marah dan  memaklumatkan perang terhadap Malaysia. Kemudian mengirim ribuan pasukan tempur dan sukarelawan ke perbatasan Malaysia. Berbagai propaganda, sabotase pun dilancarkan oleh pasukan Indonesia terhadap berbagai kepentingan Inggris. Dan Usman - Harun ditugaskan melakukan infiltrasi kemudian meledakkan bom di MacDonald House pada 10 Maret 1965. Langkah-langkah "heroik" pasukan Indonesia ini adalah wujud kebencian terhadap kolonialism dan imperialisme Inggris. Jadi bukan semata-mata perang melawan bangsa Melayu, seperti isi dari  perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora):

  • Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
  • Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia.

Maka maklumat perang ini tak lain adalah atas dasar pengalaman traumatis para pendiri bangsa ini terhadap kolonialisme dan imperialisme. Soekarno menyederhanakan istilah kolonialisme dengan mengatakan  "hanya soal perut". Artinya, para penjajah datang ke bumi Indonesia itu hanya dalam arti untuk memenuhi kebutuhan perut merka yang tak pernah kenyang. Demi kepentingan perut itu,  mereka harus menindas pemilik tanah agar hasil bumi ini bisa mereka nikmati sepuas-puasnya selama beratus-ratus tahun. Berdasar pengalaman traumatis ini, para pendiri bangsa memilih langkah paling mudah  yaitu lebih baik menghadang kedatangannya daripada mengusir penjajah. Itulah Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan USMAN - HARUN adalah bagian dari pemikiran besar itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun