Mohon tunggu...
Ferdian
Ferdian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kuliah Umum Kapolri di Universitas Tanjungpura Kalbar

6 Maret 2017   19:03 Diperbarui: 6 Maret 2017   19:35 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jerman dan Jepang, dunia memasuki era perang dingin (1945-1990) antara Blok Barat yang berpaham liberal/kapitalis Versus Blok Timur yang berideologi komunis. Di era ini ada keseimbangan kekuatan (balance of power) antara AS beserta negara-negara sekutunya melawan Uni Sovyet beserta negara sekutunya. Kedua negara super power itu tidak mau berperang secara langsung karena sama-sama punya senjata nuklir. Maka, perang yang terjadi adalah non-traditional war atau sering disebut sebagai proxy war, yakni perang dengan menggunakan pihak ketiga.

Di era perang dingin, Indonesia punya posisi tawar (bargaining position) yang cukup kuat terhadap Blok Barat dan Blok Timur. Apalagi, Presiden Soekarno sangat disegani di Gerakan Non Blok (GNB). Saat itu Bung Karno cukup berhasil menjalankan politik luar negeri dua kaki, dengan merangkul kedua Blok, satu saat mendekat ke Barat dan di saat lain mendekat ke Blok Timur.

Gelombang Demokrasi Liberal

Tito berpendapat, jatuhnya Pemerintahan Soeharto tidak murni karena faktor dalam negeri, melainkan ada faktor setting dari luar negeri karena Indonesia dianggap sebagai negara totaliter. Prosesnya diawali oleh krisis finansial, diduga akibat peran George Soros yang menjalankan operasi untuk menghantam nilai mata uang di beberapa negara Asia Tenggara. Tahun 1997 mata uang Thailand, Bath, jatuh. Selanjutnya nilai kurs rupiah juga jatuh hingga dalam beberapa bulan melemah tajam dari Rp2.400 per dolar AS menjadi Rp15.000 per dolar AS. Perbankan menaikkan bunga sampai 50% untuk mencegah agar nasabah tidak menarik uangnya atau rush. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, terjadi chaos di masyarakat, Presiden Soeharto akhirnya mundur pada Mei 1998.

Suka atau tidak suka, kata Tito, sejak tahun 1999 Indonesia sudah memasuki era demokrasi liberal yang ditandai dengan menguatnya peran parlemen, kuatnya pengaruh media sebagai pilar keempat demokrasi, supremasi hukum, dan menguatnya HAM. Di bidang ekonomi juga terjadi liberalisasi di sektor keuangan dan perdagangan.

Tito mejelaskan perbedaan pilihan antara Indonesia dan Malaysia. Mantan PM Malaysia Mahatir Muhammad, pernah menjelaskan bahwa ada dua arah dalam menjalankan negara, salah satunya harus diprioritaskan, yaitu jalan demokrasi atau jalan kesejahteraan. Malaysia memilih jalan kesejahteraan lebih dahulu, juga Singapura.

Dunia Memerlukan Superpower Baru

Situasi dunia yang monopolar, kata Tito, merugikan negara-negara berkembang dan anggota GNB seperti Indonesia karena tak lagi memiliki posisi tawar yang kuat. Agar terjadi balance of power di tataran global, perlu ada superpower baru sehingga situasi global menjadi bipolar atau tripolar.

Negara apa saja yang memenuhi syarat itu? Tito menyebut, AS sudah jelas merupakan superpower. Rusia juga sudah menjadi superpower karena punya penduduk besar, menguasai teknologi, wilayahnya terbentang sangat luas dengan 11 time zone, dan punya sumber daya alam melimpah. India dan Indonesia sebetulnya memenuhi syarat untuk menjadi negara superpower, namun lower class di kedua negara ini masih sangat besar. Lower Class di India bahkan jauh lebih besar dari Indonesia. China, dengan perkembangan teknologi dan ekonominya saat ini, merupakan negara yang paling berpotensi menjadi super power baru.

Tito menceritakan perubahan dahsyat negara China yang ia saksikan sendiri. Pada tahun 1998, saat pertama ke Beijing, ia melihat masih banyak sepeda di jalan-jalan protokol. Tahun 2000 saat kembali ke Beijing sudah banyak sepeda motor. Tahun 2004 saat mengikuti sebuah konferensi internasional, ia melihat banyak gedung bertingkat baru dan mobil bagus di Beijing. Tahun 2010, Tito mengaku kaget melihat perubahan drastis Kota Beijing, mulai dari MRT, mobil-mobil bagus bersliweran, dan tidak ada lagi permukiman
 kumuh.

Kebangkitan China dengan kekuatan ekonominya, menurut Tito, bagus untuk menciptakan keseimbangan dunia. Ditambah dengan Rusia, situasi dunia berpotensi menjadi tripolar. Situasi ini bagus untuk negara seperti Indonesia, karena jika kita ditekan oleh satu superpower, kita bisa mengadu kepada dua superpower lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun