Mohon tunggu...
Ferdian
Ferdian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neta S Pane Penuh Intrik dalam Kritik Grasi Antasari

6 Maret 2017   17:57 Diperbarui: 7 Maret 2017   02:00 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JAKARTA – Kritikan Kasus Antasari terhadap Polri Oleh Ketua IPW dinilai Penuh Intrik sehingga menuai kritikan.  Vonis 18 tahun penjara terhadap mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, terkait kasus pembunuhan berencana Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen  pada 15 Maret 2009 silam telah diputuskan oleh majelis hakim dan memiliki kekuatan hukum tetap.

Bahkan, semua hak Antasari yang diatur dalam UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)  yang digunakan untuk menolak putusan atau melakukan koreksi terhadap proses penyidikan hingga persidangan  seperti prapradilan, banding, kasasi serta peninjauan kembali (PK) tidak berhasil merubah apalagi membatalkan putusan.

Sejatinya, tidak ada lagi ruang dan tempat untuk meninjau atau koreksi terhadap putusan tersebut. Meskipun permohonan Grasi (perngampunan) Antasari yang diberikan Presiden Jokowi, menghapuskan hukuman tanpa melalui proses persidangan, tidak berarti menghilangkan kesalahan atau menjadi bentuk rehabilitasi seorang terpidana.

Grasi atau pengampunan yang diatur oleh UU No 5 tahun 2010 bukan produk hukum yang terkait dengan persoalan teknis yuridis peradilan. Sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai putusan hakim atau dasar untuk melakukan koreksi terhadap proses penegakan hukum maupun putusan yang sudah dijatuhkan pengadilan.

Anehnya, pasca mendapat Grasi disusul pertemuan Antasari dengan Presiden Jokowi, kasus ini menjadi amunisi politik untuk mematikan langkah lawan politik. Langkah itu diawali dengan pernyataan Antasari pada Selasa 14 Februari 2017 atau sehari jelang Pilkada 15 Februari 2017 lalu.

Tidak hanya digunakan sebagai amunisi politik,  Grasi Antasari ini juga digunakan oleh Neta S Pane untuk mencari “Panggung” dengan cara mengkritik. Namun  Akibat kritikan Neta tesebut akhirnya menuai kritikan dari berbagai pihak.

Salah satunya disampaikan Joko Pengurus HMI Cabang Pusat Utara (5/2),  “pernyataan Neta kerap tendensius jika berhubungan dengan Polri. memang sejatinya lebih mudah mengkritik daripada di kritik. Krtitik yang kita keluarkan, sebaiknya membangun bukan menyudutkan”.

Selanjutnya Joko menegaskan “ lebih baik sebelum melontarkan kritikan agar mengecek dahulu sebelum menyimpulkan”. Artinya bahwa kritikan Neta tersebut tidak mendasar alias penuh dengan tendensius dan penuh intrik.

Sementara itu Edison menjelaskan  “Grasi adalah permohonan pengampunan yang diajukan seseorang yang telah mengakui kesalahannya. Proses pemberian Grasi yang menjadi hak prerogatif Presiden atau kepala Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU No 5 tahun 2010” (Batavia.com Minggu 26 Februari 2017).

Sejatinya, kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen adalah perbuatan tindak pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Hendaknya, siapapun wajib menjaga proses dan ruang lingkup pemberian grasi, agar tidak diselewengkan untuk meruntuhkan kewibawaan dan kekuasaan yudikatif. Sehingga tidak menjadi preseden buruk dalam proses penegakan hukum di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun