Mohon tunggu...
Fardhie Hantary
Fardhie Hantary Mohon Tunggu... Wiraswasta - Neo Sufism

Akal tanpa ilmu bisa liar, Ilmuan yang tak Furqon menjadi Jahat, Balutlah dirimu dengan Takwa, Landasi hidup hanya dengan Hidayah dari Robbmu. © Fardhie.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Muqaddimah Ramadhan

31 Mei 2014   23:55 Diperbarui: 15 Juni 2016   01:52 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadhan adalah nama dari salah satu nama bulan pada bilangan kalender Arab, penamaan Ramadhan memiliki makna dan hanya kosa kata milik bangsa atau budaya Arabian. Ramadhan berasal dari akar kata رمﺿ, "yang berarti panas atau terik". Segala sesuatu pada Bulan tersebut bisa menjadi sangat-sangat membakar, seperti bebatuan, pepohonan dan lainnya, sudah tentu resiko di bulan ini airpun menjadi sangat terbatas bahkan kekeringan. Inilah kondisi pada masa itu, dimana sikon Ramadhan ataupun bulan kesembilan yang selalu jatuh pada musim panas ini hanya terjadi di Jazirah Arab bukan diwilayah lain termasuk Indonesia, ini jika dihubungkan hanya dengan bulan Ramadhan secara situasi dan kondisinya saja.

     Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadhan tak lagi selalu bertepatan dengan sikon seperti Sunnah pada masa Nabi yaitu panas yang sangat menyengat yang tentu sangat terujinya mental seseorang yang melakukan aktivitas pada bulan tersebut. Coba lihat situasi alam khususnya Indonesia, bila Ramadhantiba, seiring itu pula hujanpun turun, seiring itu juga kondisi menjadi basah dan tanaman serta air berkecukupan. Dimana samanya dengan kondisi dipadang pasir yang sehari-harinya saja sudah panas dan penuh ujian. Lantas bila Sunnah secara situasinonalnya sudah tidak sama, sudah tak bisa dirasakan, maka tinggallah kondisi bathin ataupun Sunnahperilaku Nabi pada saat bulan tersebut yang bisa kita lakukan pada saat ini.

Coba lihat juga kondisi umat bila tiba saat Ramadhan, coba lihat harga-harga barang pada naik, sementara Sunnah-nya menurun, diturunkan atau diredam dan memang itulah makna sebenarnya dari Shaum / Shiyam. Sementara saat ini sudah bergesar jauh dari yang semestinya, lantas mau hikmah yang mana lagi yang ingin diambil?, mau uswah yang mana dari yang telah dilakukan Nabi akan kita tiru?, bila yang paling sederhananya situasional saja sudah terabaikan, atau sengaja diabaikan, maka kondisional bathin atau substansialah yang bisa diakuisisi.

     Ramadhan hanyalah sebuah kiasan hanyalah sebuah ritual tanpa bersinggungan langsung dengan situasi panas seperti di Arab, seperti Sunnah para Nabi. Jika umat Islam di Indonesia atau di Negara lain melakukan aktivitas seperti layaknya Sunnah, pasti akan merefleksi kepada hidup invidual seorang makhluk yang kenal akan maksud dan tujuan الله Sang Kholik, serta mengetahui untuk apa dan mengapa kita diperintahkan shiyam selayaknya mereka yang telah diakui, mereka yang telah terakreditasi oleh Allah.

Jika pemahaman hanya terfokus kepada bentuk-bentuk luarnya saja, bentuk-bentuk seremoni yang sebenarnya bisa sangat berbeda-beda, maka sudah tentu hanya peringatan demi peringatan bak hari-hari lain, seperti bulan dan perayaan-perayaan lain. Apalagi orientasinya hanya memperingati, tak memiliki ilmu, tak mengetahui Sunnahdan tak mau bertanya kepada diri untuk apa dan mau apa maka sudah bisa dipastikan: "Nilai yang didapat sangat terbatas bahkan tak mendapat nilai sama sekali".

     Sebentar lagi seluruh umat Islam sedunia memperingatinya hanya orientasi sebatas penjelasan diatas tersebut, maka sudah bisa dipastikan akan kembali pada titik jenuh, titik buntu dan tak mungkin bisa ketemu, "ibarat kata Kau disana Aku disini", gimana mau jumpa, gimana bisa bertemu dan bisa saling mengenal. 1430 tahun lebih sudah berlalu, masihkah mungkin umat Islam merujuk kepadanya?, masihkah umat Islam bepegang teguh kepada ajarannya?, secara teori seluruh kita pasti menjawab: "Masih!", "Tentu!", Sang Hataman Nabiyin adalah junjungan kita, inilah jawaban klise yang selalu keluar dari mulut-mulut manusia tak berilmu. Emang Nabi pernah minta dijunjung?, Kalaulah alasan karena ingin memuji beliau dikarenakan Allah dan Para malaikat saja memuji, apalagi kita?, inilah alasan yang paling sering dijadikan sandaran.

Allah dan Malaikat memang pantas memberikan Salawat untuk Nabi, bukan manusia yang tak berilmu dan kotor seperti kita, tobat dan bersihkan dulu diri ini. Secara logikanya saja yang memuji anda seorang pencopet, apakah pujian tersebut anda terima?, yang memberikan anda gelar adalah orang-orang yang tak lulus uji, tak berkualitas, apakah anda masih akan menerimanya?, atau pujian tersebut sebenarnya malah menjatuhkan, mendegradasikan yang sebenarnya sudah pantas terpuji.

     Emang kapan elu-elu pade pernah ketemu dengan yang dipuji?, ngaku-ngaku umatnya, tak tahu malu, toh mereka yang langsung dibina Nabi saja (Anshor Muhajirin dan para Sahabat) tak berani mengatakan hal seperti yang dikatakan umat Islam saat ini. Tak berani menjamin apakah kualitas, kuantitas iman dan keyakinan mereka akan sama seperti saat masih ada atau hidupnya Nabi Muhammad, apalagi kita, apalagi umat secara keseluruhan, jarak saja sudah menjadi pembatas, waktu dan kondisi sudah menjadi perbedaan.

Masih juga melakukan aktivitas tanpa mengilmui? Masih juga membandel dengan isme-isme kebudayaan dan keyakinan nenek moyang atau samaitummuha. Seakan-akan kita masih sejalan dengan umat para Nabi, lebih baik sadar walau malu dan sakit, ketimbang tertipu dan terjebak pada sesuatu yang sebenarnya buntu dan zhulumat. Tak ada guna melakukan semua aktivitas tanpa mengilmunya

( Quran Surat An Nisaa'[4]:43:Hai kalian yang beriman, jgnlah kalian dekati Sholat jika kalian dlm keadaan sakarat / mabuk / terombang-ambing, maka ilmuilah dulu apa yg kalian lakukan ).

     Dari ayat ini bisa disimpulkan ilmu menjadi faktor utama dalam melakukan aktivitas, sebab jika tidak di-ilmui nanti akan mengarah kepada kejahiliyahhan, akan menjadi ritual bak dunia barat, dunianya kaum materialist evangelist hanya bersenang-senang tanpa akhir. Jangan sampai segala sesuatu yang kita lakukan terjebak dan tertipu oleh fatamorgana nilai-nilai mataa'ul-hayyatad-dunya, oleh sebab itu diperlukan ilmu dan akal dalam memahami setiap ucapan dan kalimat.

( Quran Surat Al Hadiid[57]:20: Ilmuilah olehmu, bahwa kehidupan dunia ini hanya permainan dan membuat lalai, perhiasan hidup dan glamorlah yang kau banggakan, padahal kehidupan dunia ini adalah mata’ul ghurur / fatamorgana ).

     Tidak cukup niat baik saja dijadikan acuan, tak cukup kemauan, keinginan, tanpa ada ilmu, tanpa ada bukti dan observasi terlebih dahulu terhadap segala sesuatu yang akan kita kerjakan. Kembalilah kepada yang pernah dinuzulkan Allah kepada Nabi-Nya dibulan tersebut, Kitabullah, Ummul Kitab, Ahsanal Hadits adalah Al Qur’an. Tulisan ini sekedar memuqadimaih hari atau bulan yang sebentar lagi tiba yaitu Ramadhan.

Akhirul kalam:Aku berlindung pada-Mu yaa Robb dari keterbatasan litsanku, dan aku mohon ampun yaa Ghofur dari perkataan yang dusta.”

اللَّه عَلِيمبِذَاتِ الصُّدُور

Allah Maha Mengilmui segala dzat dihati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun