Salah satu kalimat yang menarik pada bab awal pada buku ini:
“Jutaan migran (mereka yang pindah ke Bangkok) keluar dari kediaman mereka dengan kegagalan yang menegangkan. Berjam-jam dihabiskan untuk bergerak dan terjebak di kota. Mereka mengetahui bahwa bus-bus yang terjangkau itu bergerak lambat dari pukul delapan sampai sembilan pagi, dari dan dari siang ke pukul setengah tiga, dan lagi setelah pukul empat lewat tiga puluh sore”
“Pendatang baru belajar bahwa bergerak di sekitar Bangkok adalah masalah menavigasi kota, yang membutuhkan reaksi cepat dan kreativitas. Selama jam lalu lintas, mereka menemukan, mencampur dan beralih adalah cara yang harus dilakukan”
“Sekelompok kecil migran dari pedesaan dengan rompi warna-warni menunggu klien naik ke kursi belakang skuter mereka dan membawa mereka ke tujuan, zig-zag melewati kota yang padat”
Dari buku tersebut penulis menyebut ojek dengan beberapa permulaan kata-kata yang imajinatif, seakan-akan membawa kita berada di tengah situasi tersebut. Kemudian saya merasa, “Kok relate dengan pandangan saya mengenai ojek, tapi justru ini jauh lebih luas”.
Memang, sejarah ojek tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yang mana perkembangan ojek semakin signifikan diiringi dengan pembangunan infrastruktur dan transportasi suatu daerah. Contohnya meskipun sarana transportasi umum saat ini sudah sangat maju, dibandingkan beberapa puluh tahun kebelakang. Tidak dapat dipungkiri masih banyak masyarakat lebih memilih naik ojek, sebab banyak ruang yang masih belum tersentuh oleh transportasi umum yang hanya mengakomodir sebagian besar warga ibu kota.
Di Indonesia, transportasi kendaraan roda dua, dikenal sebagai “ojek”, diperkirakan muncul sekitar tahun 1970 ketika becak dan mikrolet dilarang (Alifah Dina, 2017). Pada tahun tersebut Gubernur DKI Jakarta melarang becak dan mikrolet dengan alasan menghambat jalan, menyebabkan kemacetan lalu lintas dan dianggap mengeksploitasi manusia. Saat itu becak digunakan sebagai transportasi pengangkut barang, sebelum pada akhirnya sebagai alat transportasi manusia.
Jadi sedikit paham kan kenapa becak jarang ditemukan di jalan-jalan besar, paling kalau enggak pasar, ya di gang-gang sekitar rumah saja, sudah jelas sangat berbahaya.
Kemudian banyak dari mereka yang beralih menjadi ojek, dengan lokasi mangkal yang tidak jauh dari pasar ataupun gang-gang sekitar rumah, hingga akhirnya mereka berani mengantarkan penumpang dengan jarak yang lebih jauh. Saat itu, ojek tidak terdaftar sebagai transportasi publik, akan tetapi tidak ada sanksi bagi driver karena pemerintah menyadari bahwa ojek mengisi kesenjangan transportasi yang saat ini tidak dapat dipenuhi.
Problematika dan Solidaritas Ojek Pangkalan
Dari buku itu dan beberapa riset yang saya lakukan, ada beberapa problematika dan juga indahnya fenomena sosial mengenai ojek ini. Bukunya Sopranzetti mengatakan penyebab utama ojek muncul adalah relasi hierarkis antara kota dan desa menimbulkan harapan bahwa migrasi sirkuler mereka sering gagal terpenuhi.
Migrasi sirkuler dimaksud sebagai perpindahan secara menyeluruh, tidak hanya manusia saja, antara desa ke kota. Maksudnya gagal terpenuhi apa? para migran dengan harapan dapat hidup enak mendapatkan pekerjaan dan sebagainya ketika ke kota, tetapi yang mereka lihat kenyataannya justru tanah diprivatisasi dan pembagian jumlah konsentrasi tenaga kerja yang tidak sebanding. Alhasil Pertumbuhan gelandangan di kota-kota dan kapitalisme kontemporer merajalela.