Secara singkat, kita dapat melihat kehadiran ruang publik pada kebebasan berpendapat yang dimiliki oleh setiap orang, layaknya seni yang dapat dinikmati oleh banyak orang. Jika dahulu hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyampaikan gagasannya kepada publik, saat ini seseorang dapat secara terbuka menyampaikannya melalui media sosial.
Berbeda dengan ruang privat yang dimiliki seorang individu ataupun kelompok saja. Contohnya seperti kehidupan pribadi seseorang yang seharusnya tidak boleh dicampuri oleh publik, ataupun lingkup komersial seperti korporasi atau unit bisnis.
Ruang publik pada dasarnya mendorong partisipasi setiap lapisan dalam masyarakat, seperti kemunculan kedai kopi pada akhir abad ke-17 di Inggris sebagai wadah bagi masyarakat yang tidak dapat memasuki ruang-ruang privat seperti parlemen, istana dan media komersial.
Kemudian berkembangnya ruang publik yang ditandai oleh kemunculan Pers yang menghimpun aspirasi dari masyarakat, dan juga jika dahulu karya sastra hanya bisa diciptakan dan dinikmati oleh segelintir orang saja, pada waktu kemunculan pers tersebut setiap orang sudah dapat mulai menciptakan karya mereka sendiri.
Semakin terbukanya kesempatan masyarakat dalam beraspirasi dan berekspresi, semakin terbuka lebar pula kesempatan bagi mereka dikenal oleh publik. Seperti banyaknya sastrawan atau seniman yang lahir pada masa ini memunculkan tokoh-tokoh baru dalam masyarakat, yang tidak hanya sebatas dari kalangan atas saja.
Oleh karena itu, saat ini orang yang muncul di media tidak jauh dari mereka yang memiliki status di masyarakat. Khususnya mereka yang memiliki citra di masyarakat entah karena fisik, kekayaan ataupun prestasinya.
Orang-orang tersebut secara umum dikenal sebagai ‘publik figur’, yakni memperoleh pengakuan di hadapan masyarakat. Istilah ini muncul pada abad pertengahan yaitu ketika raja berdiri di hadapan rakyat, ia adalah sebuah 'pertontonan kepublikan' yang merupakan wujud perbedaan status di antara mereka (Habermas, 1989).
Bias Ruang Privat dan Ruang Publik Saat ini: Sebuah Refleksi
Saat ini, media sangat berperan untuk menetapkan seseorang adalah publik figur atau bukan. Sebab, istilah ini tidak lagi memiliki definisi yang sama seperti dahulu. Asalkan seseorang dapat mempengaruhi atau membuat mata masyarakat tertuju pada orang tersebut, tentu orang tersebut bisa saja merupakan publik figur.
Asalkan orang tersebut menjadi pusat perhatian, status publik figur dapat tersemat kepadanya serta istilah-istilah lainnya seperti tokoh public, influencer ataupun selebritis.
Sayangnya istilah publik figur semakin rancu, sebab dapat berkonotasi negatif dan seseorang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan status tersebut. Diiringi oleh kemajuan teknologi, seseorang sangat dengan mudah melakukan apa saja untuk di ketahui publik. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah ‘settingan’ untuk meningkatkan popularitas secara sesaat