Mohon tunggu...
Muhamad Fardhansyah
Muhamad Fardhansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Masih Belajar

Masih belajar Antropologi. Pola pikir induksi yang diadaptasi dari socrates, menghasilkan pandangan yang lebih holistik dari berbagai macam perspektif.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Satu Tahun Penanganan Pandemi Covid-19, Siapa yang Diprioritaskan?

25 Juni 2021   17:08 Diperbarui: 25 Juni 2021   17:30 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 memporak porandakan seluruh aspek kehidupan sejak pertama kali masuk ke Indonesia dengan ditemukannya kasus pertama (case 01) Covid-19 pada Maret 2020. 

Pada awal kemunculan kasus pertama, kita dihadirkan oleh pertunjukan dari pemerintah yang seakan-akan menyepelakan Covid-19, mulai dari candaan pemerintah kalau masyarakat Indonesia suka makan nasi kucing jadi sudah kebal dan masih banyak lagi. Berbeda dengan negara lain yang mayoritas sudah mendahulukan pencegahan besar-besaran dan mengambil langkah serius.

Saya rasa tujuan pemerintah baik agar masyarakat tidak panik dan roda perekonomian tetap berjalan. Meskipun pada akhirnya pemerintah kewalahan, ibarat dikasih obat paracetamol agar masyarakat tenang sesaat.

Pada akhirnya ketika kasus Covid-19 meningkat, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Meskipun dalam perjalanannya, kebijakan ini bersifat ambivalen atau mendua, karena tidak jelasnya aturan dan komando dari masing-masing pihak yang berwenang, akibatnya masyarakat bingung jika kemarin kebijakan ini berkata A kok sekarang berubah menjadi B.

Contoh lain, mengenai PPKM Mikro (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berskala Mikro), dimana koordinasi dan pencegahan penyebaran Covid-19 dimulai dari tingkat terkecil yaitu RT. Tapi, kebijakan ini tidak sesuai dengan realita yang terjadi dalam skala makro. Seperti contoh pemerintah mempercepat kembali pengesahan RUU yang sempat diprotes publik sampai adanya di wacana dari salah satu kementerian menerapkan Work from Bali.

Keputusan yang diturunkan dalam skala mikro nyatanya tidak direalisasikan dalam skala makro. Pada akhirnya membuat masyarakat bingung, aturan penanganan Covid-19 yang tidak konsisten dan belum lagi kasus korupsi yang terjadi saat pandemi ini mencerminkan betapa menyedihkan pemimpin kita.

Memang benar, tidak ada negara yang siap dalam menghadapi suatu wabah, apalagi virus Covid-19 yang dapat bermutasi secara cepat. tapi sebagai pemerintah yang memiliki instrumen seharusnya siap untuk mengantisipasi itu. Karena bukan pertama kalinya negara kita terpapar oleh wabah.

Sebagai contoh, Wabah PES yang menyerang Hindia Belanda pada tahun 1911 – 1930 menguak ketidakadilan dan tatanan politik yang kacau, pemerintah kolonial sempat memberlakukan karantina wilayah, tetapi tidak efektif dan hanya berjalan selama satu tahun karena menuai protes dari kalangan pengusaha yang membutuhkan pekerja untuk perkebunan mereka.

Diskriminasi terhadap masyarakat pun ikut terasa yang mana hanya golongan birokrat yang mendapat prioritas penanganan. Program penggantian rumah (verbetering) masyarakat pribumi yang terjangkit dilakukan dengan cara membakarnya tetapi setelah dibangun kembali, masyarakat harus membayar rumah tersebut kepada pemerintah kolonial.

Kebijakan tersebut membuat masyarakat merasakan ketidakadilan dan memicu banyak protes dari kalangan yang saat itu sadar akan politik dan perlawanan dari golongan petani.

Dari fakta sejarah tersebut kita dapat merefleksikan, bahwa wabah dapat memperlihatkan watak asli pemerintah, hal itu pun dapat kita lihat dari tata kelola penanganan Covid-19 saat ini. Mulai dari lembaga eksekutif yang kebijakannya tidak konsisten sampai lembaga legislatif yang malah berfokus kepada produk hukum yang tidak ada kaitannya dengan penanganan pandemi ini.

Seorang Antropolog asal Amerika Merill Singer, pernah menulis mengenai pendekatan untuk menangani kesehatan masyarakat terutama mengenai wabah dalam teori syndemic  mengatakan;

“Serangkaian masalah kesehatan yang saling terkait dalam konteks kondisi sosial dan fisik yang berbahaya dapat secara signifikan mempengaruhi beban penyakit secara keseluruhan, dan status kesehatan suatu populasi”

Pendekatan tersebut relevan saat ini, dengan mengusulkan bahwa pihak yang berwenang harus menggunakan kekuatan politik dan ekonomi yang dimilikinya dan mengalihkan fokusnya yang mengarah ke wabah. Bukan ke hal yang lain, seperti Work from Bali yang menggunakan anggaran negara dengan dalih pemulihan sektor pariwisata di Bali, program kartu pra kerja yang menggunakan anggaran triliunan dan para legislator yang justu fokus kepada pembuatan produk hukum yang tidak mendesak saat ini.

Pemerintah yang mempunyai instrumen, sudah semestinya mengalihkan dan mengerahkan instrumen yang dimilikinya untuk penanganan Covid-19 ini.

Covid-19 secara terang-terangan membuka tata kelola pemerintahan yang kacau, mulai dari birokrasi dan koordinasi dan fokus pemerintah yang tidak serius masih memikirkan aspek lainnya, terutama penyelamatan ekonomi.

Jangan sampai wabah ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, dan pemerintah harus tegas dengan instrumen penanganan yang jelas, tidak mementingkan segelintir golongan saja, tetapi harus lebih bersifat horizontal dan merata!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun