Mohon tunggu...
Muhamad Farda Setiawan
Muhamad Farda Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - 22107030043 Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menaruh minat pada ilmu-ilmu sosial, agama, serta sains dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

78 Tahun Indonesia Merdeka dari Penjajah, Tetapi Belum Merdeka dari Sampah

20 Agustus 2023   21:08 Diperbarui: 20 Agustus 2023   23:14 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore hari ini saya dalam perjalanan untuk pulang dari Yogyakarta menuju kampung halaman saya Di Wonosobo. Melewati sebuah desa di wilayah kabupaten Magelang, melintasi kerumunan warga yang sangat antusias dengan segala macam pernak-pernik, tak lupa iringan music tradisional terdengar dari beberapa panggung kesenian tradisional yang berdiri di sana. Terlihat pedagang-pedagang jajanan berjejer berdampingan dengan warga yang menyerbu panganan yang dijajakan. 

Tentu semangat positif terasa karena di momen kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 ini, antusiasme Masyarakat sangat tinggi, diiringi juga pertumbuhan ekonomi kelas umkm karena adanya event seperti ini tentu juga memajukan ekonomi para pedagang kecil. 

Ditengah hiruk-pikuk suasana yang sangat ramai itu, perasaan saya berubah dari yang awalnya gembira menjadi kecewa sekaligus cukup marah. Memang kondisi jalanan menjadi ramai dan agak macet, namun bukan sebuah masalah karena saya menggunakan sepeda motor yang masih bisa nyelip sana-sini dan tidak sedang terburu-buru juga. Melainkan adalah bagaimana kondisi lingkungan yang begitu kotor oleh sampah-sampah plastik bekas konsumsi Masyarakat. 

Dengan tanpa merasa bersalah, masyarakat membuang wadah air minum kemasan dengan melemparnya ke sembarang tempat. Begitu pula plastik bekas cilok, dan styrofoam dari jatah konsumsi. Membentang hampir di seluruh jalan raya, seperti tak ada sejengkal tanah pun yang luput dari plastik yang menutupi.

Masalah sampah di negara ini telah menjadi kelaziman sejak zaman dulu. Bahkan mata kita seperti buta untuk melihat tumpukan plastik yang tertinggal di jalanan. Padahal dari sejak SD (atau mungkin TK), selalu terpampang besar tulisan di dinding sekolah, "buanglah sampah pada tempatnya", atau mungkin kutipan paling legendaris "kebersihan sebagian dari iman". 

Namun kata-kata hanyalah kata-kata. Implementasi di masyarakat sulit direalisasikan. Berapa banyak orang yang mulai sadar tentang environmental ethics, etika lingkungan. Bahkan di kalangan mahasiswa ataupun orang kaya perkotaan masih belum paham bagaimana menjaga alam yang telah menyediakan berbagai sumber daya yang kita gunakan tiap harinya. Seakan tak tau diri. Tak bisa berterima kasih pada alam. 

Jika kita menganggap hal ini hanya dilakukan oleh orang-orang berpendidikan rendah, maka salah besar. Jamak ditemui di perkotaan bahkan, masyarakat kelas menengah bahkan atas dengan sembrono melemparkan botol minuman, plastik jajanan, atau puntung rokok keluar jendela. Padahal kebanyakan juga telah mengenyam pendidikan yang cukup dan ekonomi yang mapan. Apakah ini salah sistem pendidikan kita? Bukankah dari kecil sudah diajari cara membuang sampah pada tempatnya? entahlah. 

Pada tingkat tertentu bahkan kita dapat menilai kualitas seseorang dari cara dia membuang sampah. Jika dari hal kecil saja, yaitu membuang sampah kita sudah tidak bisa, bagaimana kita mau memikirkan hal-hal besar selanjutnya yang dengannya harus ada kesadaran yang lebih tinggi. Ini bisa menjadi tolok ukur bagaimana kesadaran masyarakat Indonesia atas hal-hal di sekitarnya. 

Kesadaran menjadi kunci penting bagaimana pola pikir bangsa ini dapat berkembang. Bahkan jika boleh disamakan, orang yang membuang sampah sembarangan tidak berbeda dengan seorang koruptor. Mereka memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama tidak memiliki kesadaran atas hal lain diluar dirinya. Seakan pusat dari kehidupan adalah merekaa sendiri. Orang lain bahkan alam bukanlah suatu yang berarti bagi mereka.

Di tingkat yang lebih tinggi, Indonesia bahkan masih belum punya apa-apa untuk menyiapkan sustainable energy ketika negara-negara lain di Eropa telah menyepakati untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil mulai 2030 nanti. Kita masih belum mempunyai visi dan lagi-lagi... kesadaran untuk menjaga bumi.

Orientasi kita masih berada pada keuntungan jangka pendek yang semakin merenggut potensi kualitas hidup kita di masa depan. Belum lagi isu tentang polusi udara akibat penggunaan bahan bakar fosil entah itu untuk pembangkit listrik maupun kendaraan. Jadi boro-boro kita siap beralih ke kendaraan listrik, sementara efisiensi kendaraan begitu rendah dengan uji emisi yang tidak begitu ketat pula. Selain itu, masih ada saja orang yang dengan bangganya memamerkan asap dari kendaraannya yang sangat "jahat" itu dan mengatakannya sebagai hobi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun