buku yang sudah sangat legendaris, Gunung Agung. Hal itu menciptakan asumsi di masyarakat bahwa menurunnya minat baca atau literasi masyarakat dan kurang populernya tren membaca buku fisik menjadi penyebab keruntuhan toko buku yang satu itu. Tetapi benarkah demikian?
Baru-baru ini publik Indonesia dihebohkan dengan gugurnya sebuha tokoBerdasarkan data dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Tingkat Kegemaran Membaca masyarakat Indonesia pada tahun 2022 adalah 63,9 dan merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya 7,4% dengan poin 59,52 poin pada tahun 2021. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi provinsi dengan minat baca tertinggi, sebaliknya Papua Barat adalah yang terendah dalam hal kegemaran membaca masyarakat.
Ini berseberangan dengan pendapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia semakin menurun. Adapun tentang buku fisik, memang ada pergeseran tren di era digital masa kini ketika masyarakat lebih menyukai tayangan video, bahkan video pendek seperti yang ada di media sosial ketimbang harus membaca buku atau teks dengan bacaan yang panjang.Â
Ini berkaitan dengan efek dari dopamin yang dihasilkan oleh video pendek seperti di tiktok misalnya, di mana orang-orang menjadi lebih tidak sabaran dalam mendapat kepuasan sementara, dan media sosial menawarkan hal itu. Jelas berbeda dengan gaya membaca buku secara seksama yang mana kita tidak akan mendapatkan kepuasan dalam waktu yang cepat , apalagi kalau buku yang dibaca cukup tebal.
E-book atau buku digital juga sedikit banyak memengaruhi terkait penjualan buku fisik karena sifat dari buku digital yang teramat-sangat praktis. Hanya dengan mendownload sebuah file, kita dapat membaca buku yang kita inginkan kapan saja dan dimana saja, dan tidak perlu khawatir akan memenuhi ruangan karena cukup mengaksesnya hanya dari telepon genggam atau laptop saja.Â
Adanya aplikasi perpustakaan legal seperti Ipusnas misalnya, juga semakin mempermudah dan menghemat akses masyarakat untuk dapat membaca buku dengan berbagai genre dengan legal dan gratis.
Kelemahan dari e-book yang sering dikeluhkan masyarakat tentu saja adalah kenyamanan di mata yang jauh lebih nyaman membaca buku fisik ketimbang buku digital.Â
Tampilan layar lcd yang menghasilkan radiasi sinar biru dan efek bayangan dan flickering akibat response time panel layar membuat mata terasa lebih cepat lelah, bahkan dalam waktu lama dapat merusak mata. Sebaliknya, buku fisik yang menggunakan media kertas dan tinta tentu lebih nyaman untuk dibaca berlama-lama.
Hal-hal diatas tentu memengaruhi minat masyarakat untuk membaca buku fisik dan beralih ke media informasi lainnya. Namun, berbeda dengan kenyataan bahwa buku fisik masih digemari para pembacanya.Â
Jika kita berkelana mencari-cari di toko online, banyak sekali bermunculan toko-toko online yang menjual berbagai macam buku, dan terbukti masih banyak peminatnya.Â
Sebut saja Berdikari Book, Bukuakik, hingga Buku Beta adalah contoh dari toko-toko buku online yang memiliki banyak pelanggan. Bahkan buku-buku indie yang bukan merupakan terbitan penerbit besar pun laris manis di toko berdikari book yang memang banyak menjual buku-buku indie.Â
Padahal jika kita kembali ke beberapa tahun lalu ketika penjualan buku masih didominasi toko-toko offline besar seperti Gramedia dan Gunung Agung, akan sangat sulit menemukan buku-buku yang bukan dar penerbit besar. Ini juga menjadi angin segar bagi para penulis dan penerbit baru karena lebih dimudahkan dalam produksi dan distribusi karyanya.
Bukan hanya di toko online, toko-toko offline seperti Gramedia pun sebenarnya masih banyak dikunjungi oleh para pencinta buku. JIka kita mengunjungi ke Gramedia yang ada di mall-mall, selalu saja ramai oleh pengunjung.Â
Suasana Gramedia yang tenang dan nyaman serta banyaknya pilihan buku-buku terbaru yang dipampang selalu menjadi keunggulan tersendiri dari raja toko buku di Indonesia ini. Toko buku offline lain seperti Bukuakik di Yogyakarta menawarkan hal lain berupa desain dari toko itu sendiri yang lain daripada yang lain.
Menggunakan gaya klasik dan homey  menjadi daya tarik para calon pembeli untuk datang. Begitu juga dengan toko offline dari berdikari book yaitu rumah berdikari yang tidak sekedar menjual buku selayaknya toko buku pada umumnya, tetapi juga ada perpustakaan disitu untuk orang-orang yang ingin membaca buku tanpa harus membelinya. Terdapat pula cafe yang siap menyuguhkan kopi-kopi khas untuk menemani para pembaca sembari berdiskusi dengan teman.
Disrupsi global yang begitu cepat menuntut setiap orang untuk lebih banyak membaca. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin sadarnya masyarakat terhadap isu-isu sosial yang ada juga membuat buku sebagai sumber segala pengetahuan semakin dibutuhkan di tengah gempuran media-media baru.Â
Untuk menggaet para pembaca baru dan mendongkrak penjualan buku yang sebenarnya diperlukan adalah inovasi yang dilakukan oleh toko buku itu sendiri. Bagaimana sebuah toko buku dapat terlihat menarik melalui cara-cara tertentu patut dilakukan demi menjaring calon pelanggan.Â
Kasus tutupnya Gunung Mas seharusnya menjadi pelajaran bagi para pengusaha buku lainnya untuk terus berinovasi demi terjaganya literasi masyakarat akan buku-buku fisik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H