Mohon tunggu...
Muhamad Farda Setiawan
Muhamad Farda Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - 22107030043 Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menaruh minat pada ilmu-ilmu sosial, agama, serta sains dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Romantisme Teknokrasi dan Pemerintah Era Orde Baru

3 Juni 2023   10:50 Diperbarui: 3 Juni 2023   10:56 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang pertama kali kita pikirkan ketika mendengar kata orde baru? Pelanggaran HAM? Militer? Atau Korupsi, kolusi, dan nepotisme?

Selain hal-hal di atas, ada karakteristik lain yang merekat kuat pada rezim pemerintahan Presiden Soeharto. Teknokrasi.

Teknokrasi menurut KBBI adalah "pemerintahan yang dijalankan oleh teknokrat". Artinya, para pejabat pemerintahan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian spesifik di bidang yang ia tekuni seperti para insinyur, akademisi, ilmuwan, hingga ahli kesehatan profesional. Teknokrasi juga sering dipertentangkan dengan sistem demokrasi-populis yang mana setiap warga negara dapat ikut serta menjalankan pemerintahan tanpa adanya pengetahuan atau kepakaran khusus. Teknokrasi dalam bentuk tertentu dapat disandingkan dengan meritokrasi, yaitu sebuah sistem di mana kesempatan seseorang dalam kepemimpinan dilihat dari kualifikasi dirinya terhadap kemampuan yang dimiliki.

Dalam kepemimpinan orde baru, para menteri dari kabinet Presiden Soeharto kebanyakan berasal dari golongan profesional dan terpelajar alias teknokrat. Bisa dimulai ketika melihat kementrian ekonomi pada awal masa orde baru. Ada Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, menteri Koordinasi Perekonomian, Keuangan, dan Industri yang menjabat dari tahun 1973 hingga 1983. Bersamanya ada Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo,  yang menjabat sebagai menteri keuangan di era orde lama (1955-1956) dan menjadi menteri riset negara sekaligus menteri perdagangan era orde baru (1968-1978). Dua profesor tersebut sering dijuluki sebagai pemimpin "Mafia Berkeley". Istilah Mafia Berkeley disematkan pada para murid Soemitro Djojohadikoesoemo di FE UI yang kemudian melanjutkan pendidikan di University of California, Berkeley dan menjadi profesor bidang ekonomi dan keuangan.

Anggota Mafia Berkeley tersebut antara lain adalah Emil Salim, Mohammad Sadli, Ali Wardhana, J.B Soemarlin, dan Dorodjatun Koentjoro-jakti. Julukan tersebut dicetuskan oleh David Ransom, penulis dari Amerika Serikat yang menuding adanya upaya dari CIA bersama para lulusan Berkeley untuk menghilangkan pengarus sosialis di Indonesia dengan adanya pembangunan ekonomi ala barat. Adanya upaya liberalisasi dan kapitalisasi ekonomi Indonesia tersebut rupanya membuahkan hasil. Tingkat inflasi yyang mencapai angka 650 persen pada 1967, berhasil ditekan hingga menyentuh angka 9,5 persen pada 1979. Namun seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan stabilitas yang semakin baik, pada tahun 1980 an Presiden Soeharto lebih memilih untuk menjalankan ekonomi Indonesia ke arah nasionalisme ekonomi dan perlahan menyingkirkan pengaruh para mafia Berkeley.

Melemahnya pengaruh para ekonom tersebut juga disebabkan oleh menguatnya pengaruh lain dari teknokrat di bidang teknologi atau para insinyur yang diketuai oleh B.J Habibie. Sulfikar Amir dalam bukunya The Technological state in Indonesia: The Constitution of High Technology and Authoritarian Politics bahkan menyebut rivalitas dua pengaruh tersebut sebagai "Widjojonomics vs Habibienomics". Pertumbuhan ekonomi yang pesat pada awal orde baru disertai dengan tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi pula. Hal itulah yang menjadi kritik Habibie pada para ekonom liberalis.

B.J Habibie kemudian dikenal sebagai contoh seorang teknokrat besar di bidang teknologi, melalui penemuannya di bidang teknologi pesawat dan penerbangan hingga diangkat menjadi menteri riset dan teknologi periode 1978-1998 hingga kemudian menjadi wakil presiden, dan menjabat sebagai Presiden RI setelah keruntuhan orde baru. Latar belakangnya di bidang sains dan teknologi pun sangat bisa diperhitungkan. Di bidang aeronautika, ia bahkan meiliki 46 hak paten. Salah satu yang terkenal adalah teori keretakan sayap. Dari penemuannya ini, Habibie kemudian dijuluki sebagai Mr. Crack.

Selain di bidang ekonomi dan teknologi, teknokrasi Indonesia pada saat itu juga sangat kuat di bidang sosial, hingga keagamaan mulai dari Saifuddin Zuhri, Mukti Ali, hingga Quraish Shihab. Mereka adalah para akademisi dan intelektual kenamaan pada masanya. Prof. Saifuddin Zuhri dahulunya adalah Sekretaris Jendral PBNU. Sementara itu Prof. Mukti Ali dan Prof. Quraish Shihab adalah akademisi keaagamaan di IAIN. Mukti Ali dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Quraish Shihab dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mukti Ali adalah ahli dalam bidang perbandingan agama yang merupakan lulusan doktoral dari McGill University Canada, hingga mendapat julukan "bapak kerukunan umatt beragama". Sementara Quraish Shihab adalah ulama kenamaan yang terkenal hingga saat ini dengan berbagai karyanya, salah satunya adlaah Tafsir Al-Mishbah.

Banyak sekali tokoh intelektual di bidang keagamaan yang lahir pada era itu, baik di lingkungan pemerintah maupun akademisi di lingkungan universitas. Bahkan pada saat itu sekitar tahun 1980-1990an terkenal sebutan "Mazhab Sapen" bagi para intelektual keagamaan dari kampus IAIN Yogyakarta, dan "Mazhab Ciputat" untuk akademisi dari IAIN Jakarta. Tetapi berbanding terbalik untuk keagamaan di ranah umum. Tidak banyak pembicara yang tampil di hadapan publik maupun melalui media seperti saat ini, salah satu dari sedikit yang terkenal adalah Zainuddin M.Z. Aktivitas pemikiran keagaam pada saat itu lebih terpusat pada lingkungan akademik dan pemerintahan saja, sehingga kemudian hasilnya adalah berupa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Teknokrasi menjadi sebuah ciri khas yang ada pada pemerintahan orde baru. Banyaknya tokoh pemerintahan yang diangkat karena keahliannya mungkin menjadi kelebihan pada pemerintahan kala itu. Berbeda dengan era reformasi ketika banyak sekali pejabat negara yang tidak memiliki latar belakang keahlian tertentu, karena adanya pergeseran dari meritokrasi-teknokrat ke demokrasi-populisme. Namun perlu diperhatikan juga bahwa tidak semua pejabat dan petinggi negara pada masa orde baru adalah teknokrat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun