Mohon tunggu...
Muhamad Farda Setiawan
Muhamad Farda Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - 22107030043 Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menaruh minat pada ilmu-ilmu sosial, agama, serta sains dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membela Islam, Membela Alam

19 Mei 2023   20:59 Diperbarui: 19 Mei 2023   21:14 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Freepik.com

Membela Islam, Membela Alam

“Annadhofatu Minnal Iman”

Kebersihan adalah bagian dari iman”

Sebuah kalimat yang selalu digaung-gaungkan oleh guru agama kita sejak usia dini. Mungkin SD, mungkin TK. Walaupun bukan sebuah hadits asli dari nabi, kalimat tersebut memiliki arti yang luar biasa dan sejalan dengan prinsip islam. Menjaga lingkungan.

Dalam prinsip-prinsip syariah atau maqashid syariah kita mengetahui 5 prinsip, menjaga agama (hifdz al-din), menjaga nyawa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz a-’aql), menjaga harta (hifdz al-maal), dan menjaga keturunan (hifdz al-nasl). Kelima bagian tersebut dipahami dalam pemahaman lama terbatas sebagai prinsip-prinsip teo-antroposentris yang hanya memedulikan manusia sebagai satu-satunya subjek. Padahal pemahaman islam patutnya dipahami dalam kerangka teo-antropo-ekosentris. Islam adalah agama yang memperhatikan lingkungan. Islam adalah agama yang memperhatikan alam. Dr. Ilyas Supena dalam “Rekonstruksi Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman” menyebutkan gagasan tentang Hifdz al-bi’ah (menjaga lingkungan) dan hifdz al-’alam 9 menjaga alam). Walaupun As-Syathibi sebagai pencetus konsep maqashid syariah belum menulis dua hal tersebut, namun bukan berarti bahwa itu hanyalah wacana kosong. Islam dengan Al-Quran dan Sunnah nabinya menyebutkan banyak sekali dalil yang berkaitan dengan alam dan lingkungan.

Dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa sesungguhnya “Allah indah dan mencintai keindahan” (H.R Muslim). Menjaga keindahan seharusnya menjadi prinsip yang melekat pada diri setiap muslim dimana pun ia bertempat. Kebersihan adalah hal yang perlu menjadi kesadaran setiap individu, terutama dalam hal ini adalah umat muslim.

Hal yang ironi adalah ketika melihat di negara-negara Islam kondisi ekologis yang ada jauh dari kata ideal. Umat islam di negaranya seakan tidak memiliki kesadaran, tidak memiliki kepedulian terhadap alam. Lihat saja sekitar kita, berapa banyak orang yang masih dengan ringannya membuang sampah di sembarang tempat tanpa melihat konsekuensi atas tindakannya. Mereka beralasan bahwa satu sampah tidak berpengaruh banyak bagi kebersihan alam. Bayangkan jika separuh saja dari seluruh warga Indonesia berpikir demikian. Dan mungkin saat ini memang begitulah yang terjadi.

Di kota-kota kita telah menjumpai program pemilahan antara sampah organik dan non-organik atau anorganik. Namun apakah efeknya berjalan seperti seharusnya? Jawabannya tidak. Sampah-sampah itu ketika sudah diangkut kebanyakan akan dicampur di satu tempat yang sama. Seakan pemilahan ini hanya sebagai formalitas. Masyarakat pun masih tidak peduli dengan tulisan yang tertera di tempat sampah tersebut dan akhirnya sampah-sampah itu akan berhenti di satu tempat. Tempat Pembuangan Umum. Banyak orang menyalahkan para elite Lapindo yang menyebabkan lumpur di Situbondo itu menyebar semakin lebar. Padahal masalahnya sama saja dengan warga Jakarta yang memperbesar gunung sampah di Bantar Gebang hingga menjadi menjadi masalah yang lebih besar. Polusi dan kebersihan.

Di negara mayoritas Islam lain, Mesir misalnya, terdapat sebuah kota sampah dimana seluruh sampah dari satu negara tertampung ke kota tersebut. Kota itu adalah Manshiyat Naser. Menjadi pusat sampah terbesar di dunia. Miris melihat hal itu terjadi di negara mayoritas muslim.

Muhammad Abduh, seorang reformis Islam terkenal asal Mesir bahkan sampai mengatakan “aku pergi ke negara barat dan melihat Islam tetapi tidak melihat muslim, dan aku pergi ke Arab, aku melihat muslim di sana namun aku tidak melihat Islam”. Luar biasa mengingat Abduh mengatakannya sudah beberapa abad lalu, dan didapati bahwa hari ini belum ada perubahan berarti.

Kalimat Abduh itu mendapat legitimasi dari sebuah data survey oleh islamicity-index.org pada 2018 lalu tentang indeks negara ter-islamatau paling islami. Ironisnya, tidak ada satu pun negara Islam yang masuk 10 besar. New Zealand mendapat peringkat pertama sebagai negara paling “islami”. Uni Emirat Arab sebagai negara mayoritas Islam dengan urutan teratas berada posisi 45. Indonesia? Indonesia ada di posisi 64. Hasil tersebut diukur berdasarkan beberapa variabel yang termasuk dalam ajaran Islam, termasuk kebersihan.

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah berbuat kerusakan di bumi!" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan." Al-Baqarah ayat 11.

Allah Swt telah berulang kali menyinggung masalah kerusakan di muka bumi ini dalam ayat-ayatnya yang agung. Bahkan dikisahkan dalam Al-Baqarah ayat 30 tentang pertanyaan Jibril pada sang pencipta tentang alasan penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi, padahal diketahui bahwa manusia pada akhirnya akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah. Membuktikan bahwa perbuatan manusia terhadap bumi adalah masalah yang telah diketahui sejak awal.

Belum mencapai kata selesai hingga hari ini membicarakan problematika iklim dan lingkungan. Industri disebut-sebut sebagai salah satu penyebab utama yang sering dianggap bertanggung jawab atas perubahan iklim dan kondisi ekologis dunia. Namun masalahnya adalah sebuah industri, perusahaan, atau institusi apapun lahir dari kumpulan para manusia. Inti utamanya adalah terletak pada kesadaran para manusia itu sendiri. Humanisme kuno menganggap supremasi manusia atas segala makhluk lainnya di muka bumi. Manusia dengan sombongnya menganggap seluruh sumber daya dapat ia eksploitasi sesuai keinginannya tanpa bertanggung jawab atas hal itu.

Dalam kepedulian terhadap laut saja, masih sangat kurang sekali kesadaraan masyarakat atas hal ini. Indonesia berada pada peringkat kedua, setelah Tiongkok sebagai pengotor laut terbesar di dunia. Laut dianggap hanya sebagai tempat pembuangan saja. Padahal kenyataannya, oksigen terbesar dihasilkan dari laut, bukan pohon. Oksigen 70% dihasilkan dari lautan. Fitoplankton, Kelp, hingga Alga adalah penghasil utama oksigen di bumi. Namun banyak manusia masih tidak menyadari ini.

Etika lingkungan, environmental ethics, environmentalisme, kepedulian terhadap alam seharusnya menjadi bahasa baru hari ini. Seluruh dunia telah menyuarakan bagaimana cara mereka menjaga bumi tetap sehat seperti seharusnya. Umat Muslim, dan manusia Indonesia secara umum harusnya tidak boleh tertinggal atas isu yang sekarang telah menjadi grammar baru global ini sebagai isu bersama. Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah diperintahkan oleh tuhannya untuk setiap muslim melakukan penjagaan terhadap alam. Ini perlu menjadi perhatian bagi kita bahwa manusia adalah bagian dari alam itu sendiri, merusaknya berarti merusak apa yang menjadi satu bagian dari kita.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun