Ketika mendengar kata "kiri" sebagian dari kita mungkin akan langsung mengingat sebuah kata yang sering diucapkan ketika hendak turun dari kendaraan umum. Namun bukan itu yang dimaksudkan untuk ditulis dalam tulisan kali ini. Kiri identik dengan gerakan politik buruh, berhubungan dengan warna merah, dan revolusioner. Di Indonesia, corak politik ini dimiliki oleh sebuah partai kontroversial yang telah dilarang. PKI.
Gerakan politik sayap kiri atau Left-Wing Politics awalnya berasal dari sidang parlemen Prancis tahun 1789 pada masa Raja Louis XVI dalam era revolusi Prancis dimana golongan yang mendukung raja memiliki hak veto penuh duduk di sebelah kanan raja dan umumnya didominasi oleh golongan elit, sementara suara yang tidak menginginkan raja memiliki hak veto penuh duduk di sebelah kiri raja dan umumnya didominasi oleh rakyat.
Bentuk ini kemudian diadopsi dalam politik Rusia sebelum Perang Dunia II. Partai Bolshevik yang berhaluan komunis ala Marx dan Lenin kemudian menggunakan istilah "kiri" ini sebagai identitasnya, setidaknya menjadi populer di dunia semenjak Stalin menjadi pemimpin besarnya. Pada era setelah perang dunia kedua istilah ini kian populer terutama untuk membedakan pengaruh ideologi negara-negara dalam perang dingin. Uni Soviet dengan komunismenya yang menjadi sayap kiri, dan Amerika Serikat dengan Liberalisme-Kapitalisme yang diidentifikasikan sebagai sayap kanan. Walaupun itu bukan sebuah pengkotakan yang baku karena di barat, Liberalisme pun dimasukkan dalam ideologi sayap kiri.
Setelah masa keruntuhan negara-negara komunis pasca berakhirnya perang dingin tahun 1991 ditandai dengan hancurnya pemerintahan USSR dan dirobohkannya tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur, Gerakan politik kiri diberbagai belahan dunia bergeser dari kekuatan politik elitis menjadi tren pemikiran, gaya hidup, dan perjuangan kalangan akar-rumput. Banyak dari kaum muda saat itu (bahkan hingga kini) yang memiliki obsesi terhadap ciri khas para tokoh-tokoh sosialisme.
Di Indonesia setidaknya pasca keruntuhan orde-baru atau awal reformasi, tren ke-kiri-kiri-an kian populer sebagai simbolisme kemenangan kaum marjinal melawan "tirani". Gambar-gambar Che Guevara dan logo genggaman tangan kiri berwarna merah tertempel dimana-mana. Tokoh-tokoh kiri Indonesia seperti Tan Malaka atau Pramoedya Ananta Toer seakan menjadi selebriti baru bagi kalangan muda "revolusioner". Buku-buku kiri menjadi kian populer di kalangan intelektual baru. Bahkan dalam ranah politik formal muncul partai-partai agak ke-kiri-an yang sebelumnya menjadi "aliran sesat" di masa pemerintahan orde baru.
Sebagian kalangan bahkan membuat diskursus tertentu mengenai keadlian bagi para "tertuduh" PKI yang lenyap semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Atau bahkan mengenai pembatalan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan PKI dan Komunisme Di Indonesia. Hal itu jelas menjadi kontroversi ditengah masyarakat Indonesia yang baru saja mengalami reformasi.
Namun perlu dipahami lagi, gerakan kiri dikalangan anak muda ini bukan menjadi gerakan politik masif seperti era perang dingin, melainkan sebuah gaya hidup atau tren. Kebanyakan mereka bahkan menyematkan atribut-atribut tertentu sebagai tanda dari eksistensi mereka. Menurut pengamatan pribadi penulis ada beberapa ciri khusus yang menjadi ciri khas kaum kiri modern ini.
Mereka seringkali menggunakan atribut-atribut seperti kaos, topi, atau tas yang ada kaitannya dengan ciri khas tokoh-tokoh kiri. Bisa berupa gambar-gambar tokoh seperti Karl Marx dan Che Guevara, ataupun topi dengan satu bintang berwarna merah ditengahnya. Juga poster dengan bentuk gambar khas propaganda Soviet
Buku-buku yang mereka baca dan pamerkan pun bukan sembarangan. Biasanya buku-buku seperti Das Kapital, Ayat-ayat kiri, Catatan Seorang Demonstran, ataupun GERPOLEK menjadi yang paling populer diantara mereka. Jarang sekali mereka mau membaca buku-buku populer seperti novel Tere Liye dan Pidi Baiq. Bahkan sebuah toko buku di Sleman, Berdikari Book, menggunakan elemen-elemen kiri sebagai brandingnya, seperti topi bergambar bintang merah, poster-poster tokoh sosialis, hingga logo resmi mereka pun menggunakan gambar tanda panah yang mengarah kekiri dibalut dengan warna merah.
Dalam eksistensinya di media sosial pun tak luput untuk menampilkan dirinya sebagai orang-orang yang terlihat intelek dan kritis. Kata-kata yang dipakai tak jauh dari sajak-sajak perjuangan. Begitupun dengan penampilan mereka yang dijaga ciri khas "kiri" nya. Tak lupa untuk membahas sesuatu yang "kritis" dan "revolusioner" serta "antimainstream". Topik-topik mengenai ketidakadilan penguasa terhadap kaum buruh dan tani pribumi menjadi yang paling utama.
Lagi-lagi perlu dipahami bahwa kaum kiri modern yang didominasi anak muda ini adalah gaya hidup dan gerakan intelektual baru. Hal-hal yang dibawa mereka seperti berpikir kritis ataupun literasi bahkan kesadaran mereka terhadap nasib kaum marjinal adalah bukti adanya wacana sosial yang bertujuan positif. Namun menjadi masalah jika berpikir kritis yang mereka bawa dimaknai sebagai sikap merasa paling benar dan istilah "REVOLUSIONER" dimaknai sebagai tindakan anarkis melawan hukum secara sewenang-wenang demi kepentingannya dengan dibalut nama "rakyat".
Referensi:
History.com
Mojok.co
Senjahari.com
Qureta.com
id.rbth.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H