Media sosial belakangan ini menjadi hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia kekinian. Tempat utama para warganet (utamanya milenial dan Gen Z) beradu pikiran dan ekspresi. Kita dapat membagikan pengalaman, pemikiran, hobi, bahkan berdebat dengan orang nun jauh disana.
Dalam bermedia sosial hari ini, lahir sebuah gerakan lama yang diperbarui. Ini dikenal sebagai Social-Justice Warrior atau populer dengan singkatan SJW. Namun siapakah atau apakah sebenarnya SJW itu?
SJW jelas bukanlah sebuah frasa yang baru karena dari masa silam pun telah muncul istilah ini yang diartikan sebagai orang-orang yang membela keadilan sosial. Pada 1990an hingga awal 2000an, Social-Justice Warrior menurut Oxford Dictionaries adalah frasa yang dianggap positif karena tujuannya yang membela isu-isu terkait dengan masalah sosial, bahkan alam. Pada tahun-tahun tersebut Social-Justice Warrior dianggap sebagai bentuk pujian karena tidak semua orang pada saat itu memiliki kesadaran akan isu-isu sosial dan sumber pengetahuan pun lebih sulit didapat ketimbang sekarang. Orang-orang yang memiliki kesadaran atas berbagai permasalahan sosial pada saat itu dianggap memiliki previlege.
Menurut Katherine Martin dalam wawancara oleh Abby Olheiser dalam The Washington Post, perubahan konotasi SJW dari sesuatu yang positif menjadi negatif pertama diidentifikasi pada 2011 lalu di twitter ketika frasa itu digunakan sebagai celaan dan kemudian menjadi makin populer setidaknya pada 2014.
Sebenarnya banyak sekali isu-isu yang diangkat oleh para SJW ini di media sosial. Mulai dari perubahan iklim, politik, anti-rasisme, anti-kapitalisme, hingga yang paling hangat baru-baru ini adalah masalah mengenai gender dan hak asasi manusia.
Feminisme misalnya, menjadi salah satu topik yang palingg sering diangkat. Berkaitan tentang menyuarakan hak-hak perempuan dan perlawanan terhadap patriarki. Atau topik yang lebih kontroversial adalah tentang isu LGBT (atau lebih lengkapnya LGBTQ+). Di Indonesia, isu ini mencuat setidaknya mulai Juni 2015 lalu ketika Amerika Serikat mengesahkan pernikahan sesama jenis di negaranya. Ini disambut baik oleh negara-negara lainnya terutama negara barat. Namun tentu tidak dengan Indonesia dan negara-negara timur yang memiliki religiusitas tinggi.
Kedua kubu, antara yang pro dan yang kontra saling beradu jari di media sosial. Mereka saling mancela satu sama lain. Kelompok SJW yang lebih "terpelajar" biasanya menggunakan argumen berbasis data dan referensi yang tentu kemudian dilawan kembali oleh kubu seberang dengan data yang menunjukkan sebaliknya. Jika lawan mereka tidak mau mengikuti pemikiran yang mereka bawa, biasanya akan dilabeli sebagai orang yang tidak "open-minded". Komunikasi media baru hari ini telah menjadi riuh.
Kata-kata open-minded pun kini menjadi korban hingga mengalami pergeseran makna dari sangat positif menuju negatif. Open-minded pada media sosial hari ini dikonotasikan sebagai orang yang mendukung gerakan feminisme dan LGBT. Padahal, makna aslinya lebih baik dari itu. Masyarakat luas hanya dituntut untuk memiliki pikiran yang terbuka dan tidak terbawa oleh tendensi masing-masing.
Baru-baru ini pula, Gita Savitri Devi atau akrab dipanggil Gitasav membawa kehebohan publik semenjak dia beserta suaminya menyatakan untuk child-free atau akan hidup tanpa anak. Ini berlanjut hingga beberapa waktu yang lalu, akun twitter @/itsmeiliyaml18 mememuji gita yang tampak awet muda. Gitasav pun membalas dengan berkata bahwa child-free memang dapat menjadi "anti-agging alami". Komentar tersebut pun langsung diserbu habis-habisan oleh netizen yang kontra dengan pandangannya. Bukan hanya kali ini saja, Gitasav juga sempat membuat kehebohan jagat media sosial karena postingannya yang dianggap mendukung LGBTQ+ atas komentarnya terhadap foto timnas Jerman yang tutup mulut. Gitasav menjadi contoh sebuah gerakan masif SJW di media sosial.
Kembali lagi pada hakikat asalnya, SJW sendiri tidak melulu negatif dan agresif. Banyak diantara mereka yang memang betul-betul menyuarakan kebaikan masyarakat global. Sebagian mereka membawa diskursus tentang perubahan iklim bumi yang mana hal itu menjadi masalah yang harus menjadi perhatian utama manusia abad ini.Â
Adapula SJW ke-kiri-an yang lebih banyak mengkritik atas perilaku politik modern, kekuasaan, dan kerakusan manusia sehingga kondisi-kondisi kaum marjinal menjadi terpinggirkan. Mereka tak lebih adalah gambaran atas suara manusia terhadap realita sosial yang terjadi, meskipun tidak selalu dari mereka memiliki cara penyampaian yang bijak dan mungkin terindikasi menjadi korban dari Band-wagonn effect atau efek ikut-ikutan.
Idealnya, gerakan ini menjadi wadah bagi intelektualisme baru. Sesuatu yang dahulunya hanya diusung oleh sebagian pemikir tertentu, kini menjadi pengarusutamaan bahkan grammar baru bagi masyarakat modern. Kepekaan terhadap realitas sosial dan alam menjadi bukti eksistensi baru. Bagaimana kita ber-wacana menjadi standar baru komunitas masyarakat hari ini.
Referensi:
Ohlheiser, Abby (October 7, 2015). "Why 'social justice warrior,' a Gamergate insult, is now a dictionary entry". The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/news/the-intersect/wp/2015/10/07/why-social-justice-warrior-a-gamergate-insult-is-now-a-dictionary-entry/ Â Diakses pada 11 Februari 2022
https://www.youtube.com/watch?v=ri7LG1wRIjI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H