Di sebuah kota kecil yang sibuk namun penuh cerita, berdiri sebuah pohon cendana besar di halaman depan rumah Raka. Pohon itu telah menjadi saksi bisu banyak kejadian dalam hidupnya. Ada sesuatu yang istimewa tentang pohon itu, atau setidaknya begitulah keyakinan Raka. Setiap kali dia duduk di bawah pohon itu, sesuatu yang baik akan terjadi. Namun, Dito, sahabatnya, selalu menganggap itu hanyalah kebetulan belaka.
"Sudahlah, Ra. Jangan terlalu percaya sama mitos-mitos seperti itu," ujar Dito sambil menyeruput kopi yang disajikan Raka di teras rumah.
"Apa yang kamu bilang keajaiban itu cuma hasil kerja keras kamu sendiri. Pohon itu nggak ada hubungannya sama sekali."
"Tapi ini selalu terjadi, To. Setiap kali aku duduk di bawah pohon cendana ini, ada saja hal baik yang datang. Waktu aku menunggu pengumuman lomba menulis itu, aku duduk di sini, dan aku menang. Bahkan waktu aku nggak sengaja ketemu Pak Satria yang akhirnya nawarin aku proyek freelance, itu setelah aku duduk di sini juga," jawab Raka dengan nada penuh keyakinan.
"Itu cuma kebetulan, Ra. Kamu terlalu meromantisasi pohon itu. Jangan lupa, ada banyak hal yang nggak ada hubungannya sama pohon ini. Kamu cuma ingat kejadian-kejadian yang cocok sama teori kamu." Dito hanya tertawa kecil, melipat tangannya dengan skeptis.
Raka mengabaikan ejekan itu. Dia percaya, pohon cendana itu membawa keberuntungan. Hari ini, seperti biasa, dia kembali duduk di bawah pohon sambil menunggu kabar baik: apakah cerpen yang dia kirim ke salah satu media besar akan dimuat. Dia membawa gorengan dan menyeduh kopi, membiarkan dirinya larut dalam ketenangan suasana sore.
"Dengar, Ra. Daripada kamu nunggu kabar yang belum pasti, kenapa nggak coba cari pekerjaan tetap aja? Lihat aku. Aku memang nggak lagi nulis cerita kayak dulu, tapi aku punya penghasilan tetap. Aku juga punya rencana nikah tahun depan. Kamu gimana?" Dito, yang kini bekerja sebagai manajer media sosial di sebuah perusahaan startup, merasa Raka menyia-nyiakan potensinya.
"Aku nggak bisa, To. Menulis itu hidupku. Meski gajinya kecil, aku merasa bahagia. Lagipula, aku yakin tulisan-tulisanku akan membawa perubahan suatu hari nanti." Raka tersenyum samar.
"Perubahan apa? Dunia nggak peduli sama cerita pendek, Ra. Orang-orang lebih peduli sama video TikTok atau drama Korea. Kalau kamu terus begini, sampai kapan kamu bisa bertahan?" ujar Dito, menekan nada suaranya.
Raka hanya menghela napas. Mereka telah membahas hal ini berulang kali, dan jawabannya selalu sama. Baginya, menulis adalah panggilan jiwa, bukan sekadar pekerjaan. Namun, dia tidak menyangkal bahwa kadang-kadang, rasa putus asa mulai merayapi hatinya.
Awal Perubahan
Sore itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Seorang pria paruh baya dengan jaket lusuh datang mengetuk pintu pagar rumah Raka. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Juna, seorang editor senior di sebuah penerbit besar.
"Kamu Raka, kan? Aku baca salah satu cerpenmu yang diterbitkan online minggu lalu. Aku tertarik dengan gaya tulisanmu. Kamu punya waktu untuk ngobrol?" tanya Juna sambil tersenyum ramah.
Raka hampir tidak percaya. Dito, yang masih duduk di teras, terdiam sambil memandang pria itu dengan curiga. Mereka akhirnya mengundang Juna masuk, menyajikan kopi, dan mulai berbincang. Juna menjelaskan bahwa dia sedang mencari penulis berbakat untuk proyek buku kumpulan cerpen bertema modern. Tulisan Raka tentang kehidupan sehari-hari yang penuh makna sederhana berhasil menarik perhatiannya.
"Kami ingin menerbitkan buku yang relevan dengan generasi sekarang. Sesuatu yang bisa menghubungkan tradisi lama dengan kehidupan modern. Dan aku pikir, kamu orang yang tepat," kata Juna.
"Hati-hati, Ra. Jangan sampai ini cuma tipu-tipu." Raka merasa seperti bermimpi. Dia menerima tawaran itu tanpa ragu. Namun, Dito tetap skeptis.
Namun, intuisi Raka mengatakan bahwa ini adalah peluang nyata. Dia mulai bekerja keras, mengembangkan ide-ide baru, dan mengirimkan beberapa draft kepada Juna untuk direview. Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan menulis di bawah pohon cendana, seolah-olah energi positif pohon itu semakin kuat.
Konflik yang Tak Terduga
Namun, tidak semua berjalan mulus. Dalam perjalanan menyelesaikan naskahnya, Raka menghadapi tekanan besar. Tenggat waktu yang ketat, kritik dari Juna yang kadang terasa terlalu tajam, dan rasa lelah mulai membuatnya goyah. Bahkan, pohon cendana yang selalu menjadi sumber inspirasinya tampak kehilangan pesonanya.
"Aku tahu aku sering mengejek kamu, tapi aku nggak mau lihat kamu menyerah. Kamu udah sejauh ini, Ra. Kalau kamu berhasil, aku janji aku bakal traktir kamu makan di restoran mahal." Dito, meskipun masih skeptis, mulai menunjukkan dukungannya.
Kata-kata itu memberikan semangat baru bagi Raka. Dia mulai mengubah caranya bekerja, lebih terorganisir, dan menerima kritik dengan pikiran terbuka. Dalam prosesnya, dia menemukan bahwa keberuntungan bukan hanya soal pohon cendana, tapi juga kerja keras, dukungan teman, dan kemauan untuk terus belajar.