Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lembaran Baru di Kota Raya

18 Januari 2025   15:05 Diperbarui: 18 Januari 2025   16:26 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerita. sumber: pixabay.com

Diskusi berlanjut, dan ketua pertemuan, seorang pria bernama Harun, mengambil alih podium. "Saudara-saudara sekalian, mari kita bersatu dalam satu tujuan: tanah air yang merdeka. Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa persatuan kita, alat untuk menghapus sekat-sekat perbedaan. Dengan bahasa, kita bisa menyuarakan kemerdekaan bangsa ini."

Kata-kata itu menggema dalam benak Aksa. Ia teringat diskusi-diskusi sebelumnya tentang pentingnya bahasa sebagai alat perjuangan. Meski awalnya ragu, malam itu ia merasa mulai memahami alasan di balik pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Hari-hari berikutnya, Aksa mulai membiasakan diri menulis dalam bahasa Indonesia. Awalnya, ia merasa canggung dan kaku. Namun, ia teringat pada kata-kata Aditya: "Menulis adalah perjalanan. Nikmati prosesnya, dan Anda akan menemukan kekuatan di dalamnya."

Dengan bantuan teman-teman di redaksi, Aksa perlahan-lahan menguasai bahasa barunya. Ia menulis tentang isu-isu kebangsaan, mengangkat kisah perjuangan rakyat kecil, dan menyuarakan harapan untuk masa depan. Tulisan-tulisannya mendapat sambutan hangat dari pembaca, dan ia mulai merasa bahwa keputusannya untuk menerima tawaran Aditya adalah langkah yang tepat.

Suatu hari, Aditya mengajak Aksa menghadiri Kongres Pemuda yang berlangsung di Jakarta. Kongres itu menjadi momen bersejarah, di mana para pemuda dari berbagai daerah mengikrarkan sumpah untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia, menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Ketika mendengar Sumpah Pemuda dibacakan, Aksa merasakan haru yang mendalam. Ia akhirnya memahami bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga simbol identitas dan persatuan. Dalam hati, ia berjanji untuk terus menulis demi mengobarkan semangat perjuangan dan persatuan bangsa.

Di bawah langit Jakarta yang terang, Aksa menatap ke kejauhan. Kota ini, dengan segala kerumitannya, telah memberinya pelajaran berharga. Dari seorang jurnalis yang ragu, kini ia menjadi bagian dari gerakan besar yang mengukir sejarah bangsa.

Aksa tersenyum. Perjalanan ini belum berakhir. Masih banyak kisah yang harus ditulis, masih banyak hati yang harus disentuh. Dan ia tahu, di ujung pena dan kata-katanya, ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun