Perkara tawaran kerja via telepon di pagi buta itu masih mengusik Aksa. Di hadapan secangkir kopinya yang mulai dingin, pikirannya bergulir seperti api yang tak terkendali. Padahal, jika dipikir lebih jauh, keputusannya cukup sederhana: setuju atau menolak. Namun, rasa jenuh yang sudah lama dirasakan Aksa dengan pekerjaannya sebagai jurnalis di sebuah surat kabar kecil di Surabaya menambah berat pertimbangan itu. Tawaran ini terasa seperti persimpangan besar yang akan menguji nyali dan keyakinannya.
Telepon itu datang dari Aditya, seorang pimpinan redaksi Harian Nusantara yang berbasis di Jakarta. Ia mengagumi tulisan-tulisan Aksa dan ingin mengajaknya bergabung untuk menulis dalam bahasa Indonesia. Meski tersanjung, Aksa ragu. Ia terbiasa menulis dalam bahasa Jawa, bahasa yang ia gunakan sehari-hari sejak kecil. Beralih ke bahasa Indonesia terasa seperti meninggalkan sebagian dirinya sendiri.
"Aku pertimbangkan dulu, Pak Aditya," jawab Aksa akhirnya. Kalimat itu menggantung di udara, menambah kebimbangannya.
Di apartemennya yang sederhana, Aksa memandangi rak buku yang penuh dengan karya-karya dalam bahasa Jawa dan beberapa buku dalam bahasa Indonesia. Meski ia mampu berbicara dalam bahasa Indonesia, menulis adalah hal yang berbeda. Ia teringat berapa lama waktu yang diperlukan untuk benar-benar menguasai bahasa Jawa sebagai medium tulis. Menyerap bahasa hingga menjadi bagian dari jiwa bukanlah proses singkat.
"Apakah aku mampu?" gumamnya sambil menatap kopi yang belum disentuh.
"Mas Aksa, saya yakin kemampuan menulis Anda akan memberikan dampak besar di Harian Nusantara. Kami ingin mengangkat isu-isu perjuangan, persatuan, dan harapan bangsa." Suara Aditya kembali terngiang di benaknya.
Kata-kata itu terus menggelitik pikirannya. Harian Nusantara adalah salah satu media terkemuka yang terkenal dengan liputannya tentang perjuangan kemerdekaan dan isu-isu kebangsaan. Tawaran itu bisa menjadi batu loncatan besar bagi kariernya, tetapi sekaligus juga membawa tantangan yang tak kalah besar.
Beberapa hari kemudian, Aksa memutuskan untuk menemui Aditya di kantor Harian Nusantara di Jakarta. Perjalanan panjang dari Surabaya memberinya waktu untuk merenung, meskipun tidak cukup untuk mengusir kegundahannya sepenuhnya.
 "Wah, Mas Aksa! Saya tidak menyangka Anda benar-benar datang. Jadi, apa kabar baik yang Anda bawa?" Setibanya di kantor yang ramai, Aditya menyambutnya dengan hangat.
 "Pak Aditya, saya masih ragu. Saya belum pernah menulis dalam bahasa Indonesia. Apalagi, menulis dengan baik itu butuh waktu dan latihan panjang." Aksa tersenyum tipis.
 "Mas Aksa, saya paham. Tapi saya yakin Anda bisa. Anda sudah membuktikan diri dengan tulisan-tulisan Anda dalam bahasa Jawa. Kita akan mendukung Anda sepenuhnya, termasuk pelatihan jika diperlukan. Bahkan, Anda bisa ikut diskusi-diskusi kami dengan teman-teman di komunitas sastra." Aditya tertawa kecil.
Aksa mengangguk pelan. Mata Aditya yang penuh keyakinan mengingatkannya pada pandangan almarhum ayahnya --- pandangan penuh harapan namun tanpa paksaan. Tapi, justru itulah yang membuatnya semakin sulit menolak.
"Kenapa Anda begitu yakin pada saya, Pak?" tanya Aksa akhirnya.
"Karena tulisan Anda punya jiwa, Mas. Anda tidak hanya menulis, tapi menggugah pembaca. Bayangkan jika Anda membawa semangat itu ke dalam bahasa Indonesia. Anda akan menjangkau lebih banyak orang, lebih banyak hati."
Aksa terdiam. Kata-kata Aditya perlahan menembus keraguannya. Namun, satu pertanyaan masih mengganjal di benaknya.
"Kenapa harus bahasa Indonesia, Pak? Bukankah bahasa Jawa juga bisa menjadi alat perjuangan?"
 "Mas Aksa, bahasa Indonesia bukan hanya soal komunikasi. Ini tentang persatuan. Kita bangsa yang beragam, dan bahasa Indonesia adalah jembatan yang menyatukan kita. Dengan bahasa ini, kita tidak hanya berbicara, tapi juga merangkul perbedaan." Aditya tersenyum bijak.
Malam itu, Aksa diajak menghadiri sebuah pertemuan pemuda di kawasan Menteng. Gedung pertemuan kecil itu dipenuhi oleh para pemuda dari berbagai daerah. Diskusi yang berlangsung membahas isu-isu nasionalisme, pendidikan, dan persatuan. Aksa hanya duduk di sudut, mencoba menyimak meski pikirannya masih kacau.
Tiba-tiba, seorang pemuda maju dengan membawa biola. Ia memperkenalkan diri sebagai Rendra, seorang jurnalis muda yang juga musisi.
"Lagu ini adalah doa untuk tanah air kita," katanya sebelum mulai memainkan biola. Gesekan dawainya menghadirkan melodi yang sederhana namun penuh emosi.
Aksa terpaku. Lagu itu, yang berjudul "Indonesia Raya," menyentuh hatinya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan setelah Rendra selesai. Di sudut matanya, Aksa melihat Rendra menghapus air mata.