Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menghidupkan Sejarah: Garis Mimpi Baru

12 Januari 2025   11:24 Diperbarui: 12 Januari 2025   12:23 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu tahu nggak sih, dek? Kerajaan Singasari itu ternyata berawal dari gabungan Kerajaan Kediri dan wilayah Tumapel. Ken Arok, yang dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Singasari, berhasil menguasai Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel, dengan keris Mpu Gandring," jelas Kak Eva dengan antusias.

Mata kecilku berbinar mendengar Kak Eva mulai bercerita. Aku sangat penasaran dengan kelanjutannya, berharap semua rasa ingin tahuku terjawab. Kali ini, kakakku mengisahkan sejarah Kerajaan Singasari, yang ternyata penuh liku-liku intrik dan pengkhianatan.

"Terus, setelah membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok langsung menikahi istrinya, Ken Dedes. Kamu tahu, Ken Dedes itu katanya wanita yang sangat cantik dan punya aura ratu," lanjut Kak Eva, semangatnya menggebu-gebu seperti menemukan uang jatuh tanpa pemilik di lantai.

Aku mendengar dengan serius, sesekali mengangguk. 

"Jadi, Kak, di Kerajaan Singasari banyak pembunuhan, ya?" tanyaku polos.

"Betul! Ini memang kerajaan dengan sejarah pembalasan dendam paling rumit. Misalnya, Anusapati, anak Tunggul Ametung, membalas dendam dan membunuh Ken Arok dengan keris yang sama. Lalu, Tohjaya, anak Ken Arok, membunuh Anusapati. Setelah itu, ada Ranggawuni, Kertanegara, dan seterusnya. Karena itu, masa pemerintahan mereka pendek-pendek. Tapi Singasari mencapai puncak kejayaannya di era Kertanegara sebelum akhirnya dia juga dibunuh."

Kak Maeva Edeline, biasa kupanggil Kak Eva, adalah kakakku yang paling pintar bercerita. Saat itu, dia masih duduk di bangku kelas 11 SMA, sementara aku, Sireia Levasya, baru memasuki kelas 7 SMP. Meski usia kami terpaut empat tahun, kami memiliki kesamaan yang mempererat hubungan kami: kecintaan terhadap sejarah. Sejak kecil, setiap kali ikut Ibu ke pasar, kami selalu memilih buku dongeng yang penuh kisah menakjubkan.

Sebagai penggemar sejarah, Kak Eva memutuskan masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Menurutnya, IPS adalah tempat terbaik untuk mendalami sejarah. Namun, tidak semua orang mendukung keputusannya. Banyak yang memandang anak IPS sebelah mata.

"Kenapa sih mereka selalu menganggap anak IPS itu bodoh? Padahal, ini pilihan murni aku sendiri karena aku ingin belajar sejarah lebih dalam," keluh Kak Eva suatu hari. Meski kesal, Kak Eva tidak pernah menyerah dan tetap optimis.

Kak Eva selalu menjadi inspirasiku. Melihat perjuangannya, aku pun bertekad untuk mengikuti jejaknya. Aku ingin menjadi anak IPS yang bisa membuktikan bahwa jurusan ini tidak kalah hebat dari IPA.

Sekarang, di usia 17 tahun, aku telah mencapai impianku menjadi siswa kelas 11 jurusan IPS. Aku bahkan meraih beberapa prestasi akademik. Namun, di balik keberhasilan itu, ada kekosongan yang kurasakan. Tidak ada lagi teman diskusi tentang sejarah seperti Kak Eva dulu. Semua orang tampaknya mulai melupakan pentingnya sejarah.

Ketika pertama kali menjadi murid SMA, aku bergabung dengan ekstrakurikuler teater setelah terpukau oleh pertunjukan mereka tentang Revolusi Perancis. Aku berharap, melalui teater, aku bisa memperkenalkan sejarah kepada lebih banyak orang dengan cara yang menarik.

Saat ini, aku sedang mempelajari kehidupan masyarakat di Eropa pada era feodalisme. Sistem kerajaan yang penuh intrik dan pesta-pesta bangsawan menjadi hal yang menarik untuk dieksplorasi. Meski kehidupan kerajaan terasa jauh dari realitas, aku yakin sejarah mereka menyimpan pelajaran berharga. Buku-buku sejarah dengan gambar ilustrasi sering menjadi favoritku. Aku bahkan mulai mencoba membuat catatan bergambar sendiri untuk lebih memahami materi yang kupelajari.

"Jadi anak-anak, kata 'renaissance' berasal dari Bahasa Latin 'renaitre' yang berarti lahir kembali. Pengertian ini merujuk pada kebangkitan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi," suara Bu Feli, guru sejarah, bergema di kelas.

"Ada yang tahu siapa orang pertama yang menggunakan istilah ini?" tanyanya.

Aku segera mengangkat tangan. 

"Jules Michelet, Bu. Dia seorang sejarawan Perancis yang menulis 'History of France'."

"Betul sekali! Michelet adalah tokoh penting abad ke-19 yang memperkenalkan istilah ini," jawab Bu Feli, tersenyum.

Dari sebelahku, Bianca Arabella atau Anca, temanku yang paling ceria, berbisik sambil tertawa kecil. 

"Gila ya, lu emang jago banget kalau soal sejarah, Rei."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun