Ibu kota pada pagi ini terlihat sangat padat seperti biasanya ada begitu banyak kendaraan yang siap bergulat dengan macetnya jalanan Jakarta sebenarnya suasana ini sangat tidak cocok untuk merenung namun itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap pikiranku yang terus menerus berpikir tanpa henti.
Tinn!!! “Hei! Kalau jalan yang benar!” Aku tersentak mendengar suara keras itu.
Lalu, tanpa disadari ternyata aku berada di tengah jalan raya besar yang seharusnya pejalan kaki tidak berjalan disana. Aku menepi ke sisi jalan sambil menghela nafas panjang sesekali aku bergumam terimakasih karena ternyata hari ini aku tidak jadi menghadap sang Ilahi.
Kini aku ada di sebuah tempat bernuansa hitam putih, dengan semerbak aroma kopi yang memenuhi ruangan itu siapapun tahu bahwa tempat itu adalah sebuah cafe di sanalah aku bekerja sebagai pelayan, apakah itu kemauanku? Jelas tidak, Ini semua berbanding terbalik dengan mimpiku.
Semenjak dibangku SMP aku sangat ingin menempuh pendidikan di Amsterdam Belanda dan bekerja dengan penghasilan yang banyak disana, realistis bukan? Namun sayang itu kandas begitu saja, kini aku seorang perempuan yang bahkan tidak kuliah, dan ini merupakan alasan aku menjadi pemurung.
Rutinitas sehari-hari yang tampak nya sudah sangat membosankan bagi diriku, namun kali ini berbeda. Dititik yang sama dan di waktu yang sama ketika kejadian mengenaskan itu terjadi aku melihat sesuatu yang berbeda, dan ini dapat dikatakan sangat mengharukan bagiku. Aku berjalan perlahan dan aku mendapati apa yang baru aku lihat tadi.
“Halo... kamu lagi baca apa? Kenapa baca buku di sini?” tanyaku.
“Ini buku baca, tulis, hitung tadi dari tempat rongsokan.” Anak itu menjawab tanpa sedikitpun tertarik akan keberadaanku.
“Mau Kakak ajarkan?” Entah apa yang aku pikirkan, kata-kata itu keluar begitu saja.
“Kakak bisa ajarkan? Kami ingin sekolah kak, tapi tidak ada biaya, aku tidak sendiri kak, ada banyak teman-teman yang lain, Kakak mau kan?” ia kembali bertanya.
Mendengar itu aku mulai memikirkan banyak pertimbangan, namun cepat-cepat aku putuskan.
“Oke, Kakak ajarkan kalian ya.” Ucapnya.
“Terimakasih kak, besok kakak bisa kesini lagi, aku yang akan bawa kakak ketempat teman-teman nanti kak” Ucap nya dengan penuh semangat.
Semua nya terjadi begitu saja, kini aku sudah memutuskan menjadi guru sekaligus pelayan cafe, dan beruntung nya aku dapat membagi waktu ku untuk itu.
“Halo semuanya, kenalin nama kaka Naya, panggil aja kak Nay ya.” Sapaku bersemangat sambil memperkenalkan diri.
Lalu, didepan mataku saat ini ada sekitar sepuluh anak dengan wajah sumringah seperti orang yang baru diberi hadiah.
“Hai Kak Nay!” jawab mereka bersama-sama.
Aku mulai mengajar anak-anak dengan ilmu yang aku miliki, harus kuakui bahwa selama 12 tahun aku bersekolah dan semua prestasi yang aku raih tidak sia-sia walaupun aku kecewa karena tidak bisa berkuliah. Tak terasa waktu berlalu kegiatan belajar mengajar ini berlangsung dalam rentang waktu yang sudah cukup lama, aku mulai menikmati kehidupan baruku, dan kekecewaanku lama kelamaan menjadi pulih setiap kali aku melihat wajah anak-anak itu.
Setelah itu, aku mulai merencanakan banyak hal, uang yang kudapat dari upah bekerja tidak lagi aku pikirkan untuk diriku sendiri aku menabung untuk memberikan fasilitas belajar yang nyaman untuk mereka. sedikit demi sedikit aku mulai memupuk mimpi untuk bisa memberikan bangunan. Sampai pada suatu hari....
“Kak nay.” Panggil salah satu anak yang bernama Rama.
“Hai Rama, dari mana saja? teman-teman yang lain dimana? Kaka sudah menunggu dari setengah jam yang lalu” tanya ku pada Rama.
“Mereka tidak boleh belajar lagi kak, orang tua mereka melarang mereka untuk belajar, katanya mengamen lebih penting, kalau tidak mengamen mereka tidak bisa makan kak,aku juga tidak bisa belajar lagi kak.” Ujar Rama menjelaskan.
Setelah perkataan Rama tadi ia langsung pergi meninggalkan aku yang terdiam dan belum sempat mengutarakan sepatah kata pun. Angin sore dihari itu berhembus kencang menerpa wajahku, suara gemuruh petir ikut mengiringi, perlahan hujan mulai turun membasahi kota, aku tetap melanjutkan perjalananku tanpa peduli orang-orang berlalu lalang menatapku dengan tatapan heran, aku bisa merasakannya namun aku tetap tidak menghiraukan hal itu,aku merasa seperti ada yang terhilang dari hidupku .
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan aku, mengapa mimpi ku tidak pernah mendukungku, jadi ini rasanya semesta tidak mendukung” aku bergeming sendiri dengan perasaan sedih.
Mengingat bahwa seperti nya aku harus mengubur mimpiku lagi dan lagi. Pada kkeesokan harinya, aku kembali kepada rutinitas semula tanpa mengajar, kembali bekerja sebagai pelayan biasa. Aku masih sedih namun mau bagaimana lagi, aku harus tetap profesional apalagi untuk menghadapi tamu atau pelanggan.
Gantungan pintu berbunyi tanda bahwa pelanggan datang, tidak seperti biasanya,ini masih pukul delapan pagi tetapi sudah ada pelanggan yang berkunjung .
“Selamat datang” sapaku ramah, sambil membersihkan meja-meja di cafe.
“Permisi mbak, saya mau tanya disini ada yang namanya mbak Naya?” tanya pria itu.
“Saya sendiri pak, ada apa ya pak?” tanya ku kembali.
“Oh ini mbak Naya, perkenalkan saya Ariz, dan ini pak Matthew” ujar pelanggan tadi.
Aku memandang kepada sosok dengan nama Matthew tersebut, sosok pria bertubuh tinggi dan tegap,dengan kulit putih kemerahan dan bola mata berwarna coklat, apa yang aku lihat menggambarkan bahwa ia bukan orang indonesia.
“Halo pak Matthew” tegur ku sambil berjabat tangan.
“Hai Naya” balasnya dengan sopan.
“Pak Matthew dan saya ini adalah sponsor untuk membantu anak-anak yang tidak bisa sekolah karena biaya,saya dengar kamu suka mengajar anak-anak yang tidak mampu sekolah.” Jelas pak Ariz kepadaku.
“Bapak tahu dari mana saya mengajar anak-anak disana pak?”tanya ku penasaran “Saya tahu karena warga sekitar sudah memperhatikan kegiatan yang kamu lakukan itu, dan saya memang sudah mengirimkan orang untuk memantau aktivitas kamu, ternyata benar saja.” Pungkasnya.
“Kegiatan itu terkendala pak, sekarang mereka sudah tidak bisa belajar lagi karena tuntutan hidup pak, untuk mereka makan sehari hari mereka harus bekerja jadi saya tidak bisa melanjutkan kegiatan itu pak.” Ujar ku dengan raut sedih.
“Kalau saya tanya saat ini apa mimpimu, kamu mau bilang apa sama saya?” tanya Pak Ariz sangat serius.
Aku terdiam kembali, jika ditanya soal ini lebih sulit menjawab nya dari pada mengerjakan soal ujian sekolah. Saat ini dalam pikiranku hanya teringat wajah anak-anak yang menyeringai saat belajar, buku yang digenggam oleh Rama saat aku bertemu dengannya di jalan, semuanya tentang anak-anak itu.
“Rumah belajar pak.” Tak kusangka tiga kata itu meluncur begitu saja dari bibirku Pak ariz tersenyum.
Senyuman tipisnya yang menggambarkan makna yang cukup dalam untuk dimengerti.
“Ayo buat rumah belajar.” Ujar Pak Ariz.
Tidak, sepertinya benar aku tidak salah dengar, kalimat yang diucapkan pak Ariz tadi berhasil membuat ku menatap pak Ariz tak percaya. Pak ariz tertawa melihat ekspresi wajah ku yang sepertinya layak untuk ditertawakan.
“Ada apa Naya? saya dan pak Matthew memang sedang menjalankan misi untuk anak-anak Indonesia, saya lupa bertanya kamu ini kuliah dimana?” tanya pak Ariz padaku.
“Saya tidak kuliah pak, tidak ada biaya.” Aku menjawab singkat.
“Tidak ada biaya ya, dulu kamu mau ke universitas mana memangnya?” Pak ariz bertanya lagi.
“Dulu mimpi nya mau ke Amsterdam pak, tapi sudah dikubur dalam-dalam karena saya harus bantu orang tua menyekolahkan adik saya, sepertinya memang saya harus mengalah walaupun terkadang saya masih berharap bisa ke Amsterdam untuk sekolah Pak.” Jelas ku pada Pak Ariz.
Pak Ariz berbicara kepada Pak Matthew menggunakan bahasa asing, aku memperhatikan dengan seksama percakapan kedua pria itu sampai pak Ariz kembali berbicara kepadaku.
“Naya, Pak Matthew bilang kepada saya jika kamu benar-benar serius dengan mimpimu itu kami akan bantu kamu,Pak Matthew ingin menyekolahkan kamu di Amsterdam karena kebetulan beliau orang Belanda, disana kamu akan menemani istri beliau karena mereka tidak memiliki anak.” Jelas Pak Matthew.
Kami bertiga di ruangan itu sama-sama terdiam dan aku belum memberikan jawaban apapun kepada pak Ariz dan pak Matthew, karena ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan untuk ini.
“Besok Naya pulang Bu, ibu tidak perlu repot-repot ya Bu.” Ujarku ditelepon pada ibuku yang ternyata sudah 5 tahun lama nya tidak aku jumpai.
Aku mempersiapkan diri untuk kembali ke Indonesia dengan sangat bersemangat, Amsterdam menyimpan banyak cerita indah, lulus sebagai mahasiswa terbaik dan bekerja ditempat yang sungguh amat bagus semua ruang kosong dalam hidupku sudah terisi penuh, mengingat bahwa selama bekerja di Belanda aku dapat membantu anak anak didikku di Indonesia membuat hidupku semakin berarti.
“Kak Naya!” Panggil salah seorang anak.
Suara itu, suara yang aku rindukan selama bertahun-tahun sudah berhasil menumpahkan air mataku, kini dihadapan ku berdiri 10 anak remaja yang tidak pernah luput dari pikiranku langsung ku peluk mereka dengan erat. Kutatap dengan rinci sekitar tempat aku berpijak,sudah sangat berbeda, tempat kumuh sudah berubah menjadi bangunan kokoh terawat yang sungguh indah.
“Pak Ariz, Pak Matthew.” Panggil ku pada dua pria yang sedang duduk di kursi koridor kelas.
“Naya.” Ucap Pak Matthew dan Pak Ariz bersamaan sambil menoleh ke arahku. “Terimakasih banyak pak, ini sangat luar biasa saya berpikir bahwa mimpi itu akan kandas namun ini tidak seperti yang saya kira.” Ujarku pada mereka.
“Ingat janji kami padamu nak, sebelum pergi ke Belanda kamu sudah berjuang sendiri untuk mengajar mereka. Selain itu pula juga sudah mengedukasi orang tua mereka bahwa pendidikan itu sangat penting bagi kehidupan anak-anak mereka, kini sudah ada tenaga pendidik untuk mengajar mereka terimakasih karena kamu sudah membantu.” Jelas pak Ariz kepadaku, dengan wajah terharu.
Rumah belajar itu kini menjadi tempat mengenyam pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu, tidak hanya di daerah jakarta saja namun sudah banyak dibangun di berbagai daerah di Indonesia. Aku tetap menjadi aku, yang berubah adalah mimpiku yang dahulu terkubur bersama kekecewaan kini terbang jauh, sungguh jauh sampai tidak berujung.
Cr: Nethania Priscilla Pattiasina
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI