Setelah perkataan Rama tadi ia langsung pergi meninggalkan aku yang terdiam dan belum sempat mengutarakan sepatah kata pun. Angin sore dihari itu berhembus kencang menerpa wajahku, suara gemuruh petir ikut mengiringi, perlahan hujan mulai turun membasahi kota, aku tetap melanjutkan perjalananku tanpa peduli orang-orang berlalu lalang menatapku dengan tatapan heran, aku bisa merasakannya namun aku tetap tidak menghiraukan hal itu,aku merasa seperti ada yang terhilang dari hidupku .
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan aku, mengapa mimpi ku tidak pernah mendukungku, jadi ini rasanya semesta tidak mendukung” aku bergeming sendiri dengan perasaan sedih.
Mengingat bahwa seperti nya aku harus mengubur mimpiku lagi dan lagi. Pada kkeesokan harinya, aku kembali kepada rutinitas semula tanpa mengajar, kembali bekerja sebagai pelayan biasa. Aku masih sedih namun mau bagaimana lagi, aku harus tetap profesional apalagi untuk menghadapi tamu atau pelanggan.
Gantungan pintu berbunyi tanda bahwa pelanggan datang, tidak seperti biasanya,ini masih pukul delapan pagi tetapi sudah ada pelanggan yang berkunjung .
“Selamat datang” sapaku ramah, sambil membersihkan meja-meja di cafe.
“Permisi mbak, saya mau tanya disini ada yang namanya mbak Naya?” tanya pria itu.
“Saya sendiri pak, ada apa ya pak?” tanya ku kembali.
“Oh ini mbak Naya, perkenalkan saya Ariz, dan ini pak Matthew” ujar pelanggan tadi.
Aku memandang kepada sosok dengan nama Matthew tersebut, sosok pria bertubuh tinggi dan tegap,dengan kulit putih kemerahan dan bola mata berwarna coklat, apa yang aku lihat menggambarkan bahwa ia bukan orang indonesia.
“Halo pak Matthew” tegur ku sambil berjabat tangan.
“Hai Naya” balasnya dengan sopan.
“Pak Matthew dan saya ini adalah sponsor untuk membantu anak-anak yang tidak bisa sekolah karena biaya,saya dengar kamu suka mengajar anak-anak yang tidak mampu sekolah.” Jelas pak Ariz kepadaku.
“Bapak tahu dari mana saya mengajar anak-anak disana pak?”tanya ku penasaran “Saya tahu karena warga sekitar sudah memperhatikan kegiatan yang kamu lakukan itu, dan saya memang sudah mengirimkan orang untuk memantau aktivitas kamu, ternyata benar saja.” Pungkasnya.
“Kegiatan itu terkendala pak, sekarang mereka sudah tidak bisa belajar lagi karena tuntutan hidup pak, untuk mereka makan sehari hari mereka harus bekerja jadi saya tidak bisa melanjutkan kegiatan itu pak.” Ujar ku dengan raut sedih.
“Kalau saya tanya saat ini apa mimpimu, kamu mau bilang apa sama saya?” tanya Pak Ariz sangat serius.
Aku terdiam kembali, jika ditanya soal ini lebih sulit menjawab nya dari pada mengerjakan soal ujian sekolah. Saat ini dalam pikiranku hanya teringat wajah anak-anak yang menyeringai saat belajar, buku yang digenggam oleh Rama saat aku bertemu dengannya di jalan, semuanya tentang anak-anak itu.
“Rumah belajar pak.” Tak kusangka tiga kata itu meluncur begitu saja dari bibirku Pak ariz tersenyum.
Senyuman tipisnya yang menggambarkan makna yang cukup dalam untuk dimengerti.
“Ayo buat rumah belajar.” Ujar Pak Ariz.
Tidak, sepertinya benar aku tidak salah dengar, kalimat yang diucapkan pak Ariz tadi berhasil membuat ku menatap pak Ariz tak percaya. Pak ariz tertawa melihat ekspresi wajah ku yang sepertinya layak untuk ditertawakan.
“Ada apa Naya? saya dan pak Matthew memang sedang menjalankan misi untuk anak-anak Indonesia, saya lupa bertanya kamu ini kuliah dimana?” tanya pak Ariz padaku.
“Saya tidak kuliah pak, tidak ada biaya.” Aku menjawab singkat.
“Tidak ada biaya ya, dulu kamu mau ke universitas mana memangnya?” Pak ariz bertanya lagi.
“Dulu mimpi nya mau ke Amsterdam pak, tapi sudah dikubur dalam-dalam karena saya harus bantu orang tua menyekolahkan adik saya, sepertinya memang saya harus mengalah walaupun terkadang saya masih berharap bisa ke Amsterdam untuk sekolah Pak.” Jelas ku pada Pak Ariz.
Pak Ariz berbicara kepada Pak Matthew menggunakan bahasa asing, aku memperhatikan dengan seksama percakapan kedua pria itu sampai pak Ariz kembali berbicara kepadaku.
“Naya, Pak Matthew bilang kepada saya jika kamu benar-benar serius dengan mimpimu itu kami akan bantu kamu,Pak Matthew ingin menyekolahkan kamu di Amsterdam karena kebetulan beliau orang Belanda, disana kamu akan menemani istri beliau karena mereka tidak memiliki anak.” Jelas Pak Matthew.
Kami bertiga di ruangan itu sama-sama terdiam dan aku belum memberikan jawaban apapun kepada pak Ariz dan pak Matthew, karena ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan untuk ini.
“Besok Naya pulang Bu, ibu tidak perlu repot-repot ya Bu.” Ujarku ditelepon pada ibuku yang ternyata sudah 5 tahun lama nya tidak aku jumpai.
Aku mempersiapkan diri untuk kembali ke Indonesia dengan sangat bersemangat, Amsterdam menyimpan banyak cerita indah, lulus sebagai mahasiswa terbaik dan bekerja ditempat yang sungguh amat bagus semua ruang kosong dalam hidupku sudah terisi penuh, mengingat bahwa selama bekerja di Belanda aku dapat membantu anak anak didikku di Indonesia membuat hidupku semakin berarti.
“Kak Naya!” Panggil salah seorang anak.
Suara itu, suara yang aku rindukan selama bertahun-tahun sudah berhasil menumpahkan air mataku, kini dihadapan ku berdiri 10 anak remaja yang tidak pernah luput dari pikiranku langsung ku peluk mereka dengan erat. Kutatap dengan rinci sekitar tempat aku berpijak,sudah sangat berbeda, tempat kumuh sudah berubah menjadi bangunan kokoh terawat yang sungguh indah.
“Pak Ariz, Pak Matthew.” Panggil ku pada dua pria yang sedang duduk di kursi koridor kelas.
“Naya.” Ucap Pak Matthew dan Pak Ariz bersamaan sambil menoleh ke arahku. “Terimakasih banyak pak, ini sangat luar biasa saya berpikir bahwa mimpi itu akan kandas namun ini tidak seperti yang saya kira.” Ujarku pada mereka.
“Ingat janji kami padamu nak, sebelum pergi ke Belanda kamu sudah berjuang sendiri untuk mengajar mereka. Selain itu pula juga sudah mengedukasi orang tua mereka bahwa pendidikan itu sangat penting bagi kehidupan anak-anak mereka, kini sudah ada tenaga pendidik untuk mengajar mereka terimakasih karena kamu sudah membantu.” Jelas pak Ariz kepadaku, dengan wajah terharu.