Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senyum Terindah Manusia Terpilih

29 September 2024   09:37 Diperbarui: 29 September 2024   09:41 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Senyum terindah manusia terpilih. Sumber: Pixabay.com

Aku terbangun, sudah tidak mengherankan bagiku ketika terbangun dari tidur dengan mimpi yang begitu menyesakkan tadi. Aku Renjana Elegia, sudah 16 tahun aku menjalani hidup dan sekarang merupakan siswi SMA, lalu anak laki-laki yang selalu terlihat di dalam mimpi adalah Kakakku, Rakarza Pradipta. Usia kita hanya terpaut tiga tahun dan karena peristiwa tersebut, dan kini kakak sudah tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya dan bisa beristirahat dengan tenang tanpa gangguan.

Aku benci mengakuinya, akan tetapi Kakak ku dilahirkan dengan kondisi yang berbeda dari orang lain pada umumnya. Bagi orangtua ku yang saat itu menanti kelahiran anak pertamanya, Kak Arza merupakan sebuah anugerah yang pada awalnya karena ia dilahirkan dengan normal sebagai bayi kecil yang lucu, tidak heran bila Ayah dan Ibuku selalu mengabadikan setiap momen kakak dalam album foto. Namun, dengan seiring berjalannya waktu, tingkah laku Kak Arza yang terlalu aktif mulai menjadi masalah bagi Ayah dan Ibu.

Seringkali Kakak berperilaku aneh dan mulai tidak bisa mengendalikan emosinya, Kak Arza menjadi orang temperamental yang mudah marah dan merusak barang-barang. Ayah dan ibu yang sudah tidak sanggup mulai memeriksa kondisi kakak pada Dokter rehabilitasi medik anak hingga ke Psikiater, hasil menunjukan bahwa Kak Arza mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau sering disebut ADHD. Pada saat itu kabar kehamilan Ibu serta lahirnya diriku menjadi alasan Ayah dan Ibu bisa kembali Bahagia.

Ketika usiaku beranjak empat tahun, aku mulai mengerti jika kehadiranku membuat Ayah dan Ibu mengabaikan keberadaan Kak Arza. Beberapa kali aku menemukan Kakak menyembunyikan dirinya saat sedang menggambar setelah dimarahi oleh Ayah dan Ibu, aku bahkan tidak mengetahui bahwa banyaknya luka dan memar di badan Kak Arza ternyata dilakukan oleh Ibu. Aku yang saat itu masih kecil belum bisa mengerti bahwa Ibu masih tidak bisa menerima kekurangan yang ada pada diri Kak Arza.

"Memangnya apa yang salah dengan penyandang Disabilitas? Mereka juga pasti tidak ingin punya kondisi keterbelakangan seperti itu, huft." Ucapku sembari menghela nafas.

Hari ini aku bangun lebih awal dari biasanya karena Kak Amara akan datang, Kak Amara merupakan guru les yang didatangkan khusus oleh Ibu untukku supaya aku berhasil masuk kuliah jurusan kedokteran. Lalu benar saja, aku segera menemukan Kak Amara tengah duduk di ruang tamu yang memainkan gawainya untuk menunggu kedatanganku.

"Halo Renja, hari ini sudah siap kan?" sapa Kak Amara setelah menyadari kehadiranku.

"Halo juga kak, kalau hari ini aku mau libur dulu bagaimana?" tanya ku.

"Ibu tidak akan mengizinkan. Bulan ini kamu sudah kosong les banyak." Ibu yang tiba-tiba datang dan membalas ucapan ku.

"Tapi Renja capek bu, seminggu ini tugas sekolah dan kerja kelompok selalu numpuk." Aku menjelaskan alasanku kepada ibu.

"Semua orang juga capek Renja! Bagaimana dengan Kak Amara yang sudah jauh jauh datang kesini untuk kamu? Lagipula ini yang terbaik untuk masa depan kamu nanti, kalau kamu terus seperti ini Ibu juga bisa capek." Tegas jawab Ibu.

"Yang terbaik untuk Ibu belum tentu terbaik untuk aku, berhenti paksa aku untuk menuruti kemauan Ibu dengan alasan masa depan yang baik. Ibu bersikap seperti ini ke aku pasti karena Ibu merasa gagal untuk merawat Kak Arza kan?  Aku sendiri juga mau yang terbaik bu, apa ibu tahu kalau selama ini aku punya keinginan untuk membantu orang-orang yang punya kekurangan seperti Kakak? Selama ini ibu selalu memaksa aku untuk menuruti kemauan ibu tanpa pernah bertanya apa yang sebenarnya aku inginkan." Ucap ku dengan intonasi suara yang lebih rendah, aku menyadari bahwa aku terlalu emosional terhadap ibu.

Terkejut dengan balasan ku, Ibu mulai membisu seakan ucapan yang dilontarkan adalah kebenaran. Setelah mengatakan hal itu aku berniat keluar dari rumah sementara untuk menenangkan diri, aku berlari melewati Kak Amara yang tidak mengetahui apapun dan sedang terpaku dengan situasi saat ini. Aku berjalan dengan sejuta pikiran di kepalaku hingga tidak menyadari bahwa aku sudah sampai di taman perumahanku, aku segera duduk dan memikirkan hal tadi.

Kakak adalah salah satu alasan mengapa aku memiliki mimpi ini, namun alasan lainnya adalah karena aku sangat menyukai anak kecil. Entah kenapa aku mempunyai empati yang besar terhadap mereka, seringkali aku merasa sakit hati melihat anak kecil yang memiliki kekurangan sehingga mereka tidak bisa merasakan masa kecil seperti anak pada umumnya.

"Seharusnya mereka bisa bahagia", 

"Seharusnya mereka bisa tumbuh dan berkembang seperti orang normal lainnya",

"Seharusnya mereka bisa merasakan apa yang orang lain rasakan", 

"Kira-kira mereka sedih ga sih? Gimana ya perasaan nya", 

"Mereka tetap harus dapet kasih sayang dari orang tua kan"

"Gimana nasib masa depan mereka nanti?"

Hal-hal yang sering dipertanyakan mulai muncul kembali di kepalaku. Kebanyakan dari difabel pasti memiliki kelebihan tertentu, namun terkadang aku berpikir jika saja mereka tidak seperti itu maka pasti mereka akan memiliki masa depan yang lebih baik lagi, tentunya ada banyak hal yang bisa mereka lakukan tanpa harus merasakan rasa rendah diri. Pikiranku teralihkan ketika melihat seorang anak kecil perempuan berlarian di taman dengan Ibu nya. Ketika kedua mata kami bertatapan, dia mulai menghampiri ku sehingga sang Ibu pun ikut berjalan ke arah ku.

"Halo cantik, nama kamu siapa?" Aku mulai memberi senyuman kepada dia dan berkata.

Berbeda dari dugaanku, dia mulai melambaikan tangannya di kepala dan menjelaskan namanya dengan menggunakan gerakan tangannya, aku bisa langsung mengetahui bahwa anak kecil itu tuna wicara berdasarkan bahasa isyarat yang digunakannya.

"Maaf ya kak, dia sedari kecil tidak bisa mendengar dan berbicara." Sang Ibu yang sudah berdiri di hadapanku dan menjelaskan kondisi anaknya padaku.

"Eh gapapa Ibu, saya justru senang disamperin. Saya mau komunikasi sama dia tapi tidak bisa menggunakan bahasa isyarat, apa ibu bisa jadi perantara untuk mengobrol?" Aku meminta dengan sopan.

"Tentu saja, anak saya tadi bilang kalau namanya adalah Elisha." Terkejut dengan balasan ku, Ibu itu segera membalas dengan cepat

"Halo Elisha, perkenalkan nama kakak Renjana. Elisha disini sedang apa sama Mama?" Tanya ku.

Sekali lagi, Elisha mulai menggerakan tangannya untuk membalas pertanyaanku.

"Elisha bilang kalo dia disini lagi main sama saya sambil menunggu kedatangan Ayah nya, Kak Renja." Sang Ibu yang melihat itu bergegas menyampaikan sesuatu kepadaku.

"Memangnya ayah Elisha lagi dimana?" tanyaku.

Ibu nya mulai menjelaskan pertanyaanku kepada Elisha dengan menggunakan bahasa isyarat. Elisha yang mengerti mulai menggerakan tangannya lagi untuk membalas pertanyaanku.

"Ayah lagi beli balon dan es krim untuk aku kak, jadi aku disuruh untuk menunggu bersama ibu disini." Jawab sang Ibu yang menerjemahkan perkataan Elisha.

 "Sekarang Elisha umur berapa?" Aku tersenyum mendengar hal itu.

Elisha mengangkat 6 jari nya kepada ku sembari tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaan ku setelah mendengar apa yang ibunya sampaikan, mengatakan bahwa usianya 6 tahun. Percakapan terus berlanjut hingga aku mulai tersadar ketika melihat jam di arlojiku yang sudah mengarah pada pukul 12 siang, dengan terpaksa aku harus mengakhiri obrolan dengan Elisha karena ayah akan segera pulang, aku tidak ingin Ayah mengetahui bahwa aku dan ibu sedang bertengkar.

"Elisha, Kakak pulang dulu ya? Terimakasih juga untuk Ibu karena sudah mengizinkan Renja untuk mengobrol dengan Elisha. Sehat selalu ya untuk Ibu dan Elisha, semoga Elisha selalu bahagia." Aku mengakhiri percakapan dengan sopan dan segera beranjak setelah mendengar balasan serupa dari Ibu Elisha.

"Sepertinya aku sudah mengetahui tujuanku." Batin ku sambil tersenyum.

Elisha, perempuan kecil itu tidak hanya cantik dengan fisiknya tetapi juga indah dengan bahasa isyarat yang dia gunakan, lalu mataku fokus tertuju padanya setiap kali dia mulai menggerakan tangan kecilnya. Rasanya ikut bahagia ketika melihat dia semangat menceritakan kisahnya, dan kepribadiannya yang ceria ikut membuatku merasa senang untuk berbincang dengannya.

Kurasa aku hampir lupa alasan utama yang membuatku ingin menjadi relawan untuk para difabel. Dulu sekali ketika aku berusia 4 tahun dan Kak Arza berusia 7 tahun, Kak Arza mungkin memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya, akan tetapi kakak tak pernah sekalipun memperlakukan aku yang saat itu masih kecil dengan buruk. Seringkali ia berusaha membantuku untuk mengambilkan mainan dan memberi sebagian makanannya untukku, bahkan kakak pernah mengajarkanku untuk menggambar saat ia sendiri sedang sedih.

Dibalik semua itu, senyuman Kak Arza adalah senyuman terindah yang pernah kulihat dan menjadi alasan diriku untuk melangkah selama ini. Sama hal nya seperti senyum Elisha, aku merasa senyum mereka selalu tulus hingga membuatku merasa nyaman. Mungkin alasan pertamaku adalah untuk melihat semua senyum tulus dan bahagia dari semua anak yang memiliki kekurangan.

"Kenapa Kak Arza harus mengalami hal seperti ini ya? Waktu itu pasti tidak ada orang yang bisa mengerti dia sama sekali di rumah." Aku tersenyum getir ketika menyadari apa yang baru saja dipikirkan.

"Kurasa setelah ini aku harus meminta maaf pada Ibu dan memberitahukan mengenai pilihanku sendiri, aku harus bisa meyakinkan ibu." Batin ku.

Aku tidak ingin melaksanakan sesuatu yang tidak kusukai dengan terpaksa lagi, aku akan fokus dengan mimpi dan cita-citaku untuk menjadi relawan bagi orang-orang disabilitas.

Cr: Raihana Fauziyah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun