Alunan lagu "I Always Wanna Die" dari The 1975 perlahan masuk ke telinga Oceanna. Pikirannya sering kali terasa gaduh, dihantui oleh hal-hal di luar kendalinya. Beban harapan dan keinginan yang ia tuntut dari dirinya sendiri tampaknya terlalu berlebihan. Baru-baru ini, Anna menghadiri sebuah acara yang mempertemukannya dengan orang-orang baru. Meski ia menyadari bahwa dirinya tak pandai bersosialisasi, Anna tak menyangka bahwa kebiasaannya berdiam diri di rumah membuatnya gentar memulai percakapan.
Di tengah acara, sementara orang lain asyik berinteraksi, Anna malah terjebak dalam pikirannya sendiri. Merasa putus asa, ia menyerah pada kesepian dan rasa tidak nyaman. Kini, ia menyesali ketidakberaniannya untuk membuka obrolan. Siklus ini selalu terulang; bahkan hal sepele seperti tidak menuntaskan To-Do List membuatnya menyalahkan diri. Anna selalu yakin bahwa setiap rencana yang ia buat akan berhasil, namun kenyataan sering kali tidak sejalan dengan harapannya. Anna menghela napas. Pikirannya kembali berputar pada hal-hal yang mengganggu. Mengapa memahami diri sendiri terasa begitu sulit?
"Ce," panggil Rara, satu-satunya teman yang akrab dengannya dan selalu memanggilnya dengan sebutan tersebut.
Anna tersentak dari lamunannya, tersadar bahwa ia tak fokus meskipun wali kelasnya sedang mengumumkan libur pasca ujian.
"Hmm," gumamnya, masih bersandar dengan dagu di tangan.
"Kenapa melamun terus?" tanya Rara, penasaran.
"Pasti gara-gara masalah kemarin, kan? Kamu selalu santai kalau menghadapi orang lain, tapi coba deh perlakukan dirimu dengan cara yang sama." Rara melanjutkan dengan beruntun.
"Susahlah," jawab Anna putus asa.
"Susah bukan berarti nggak bisa," sahut Rara sambil gemas melihat Anna yang terlalu keras pada dirinya sendiri. Anna hanya mengangkat bahu, tanda menyerah.
"Baiklah anak-anak, liburan dimulai. Gawai bisa diambil," ujar Pak Anton.
"Ce, lihat nih, drama Korea ini seru banget. Kamu pasti suka," katanya sambil memamerkan poster drama. Rara kembali dengan semangat setelah mengambil gawainya.
"Aku lagi pengen tidur aja buat ngilangin stres," jawabnya. Tidur selalu menjadi pelariannya saat pikiran sedang kacau. Anna hanya menatap poster itu dengan malas.
"Serius deh, coba tonton. Siapa tahu bisa bantu kamu menerima diri sendiri," kata Rara sambil menggoyangkan tubuh Anna.
"Iya, iya, nanti aku tonton." Akhirnya, Anna pasrah.
Beberapa hari kemudian, Anna terkejut karena telah menyelesaikan drama tersebut hanya dalam waktu dua hari. Ceritanya benar-benar menarik. Bahkan, ia jadi tertarik mempelajari psikologi, terinspirasi oleh karakter Moon Gang Tae yang diperankan oleh Kim Soo Hyun. Minat ini semakin kuat setelah ia membaca novel online tentang kesehatan mental. Anna merasa bahwa mungkin jawabannya ada dalam psikologi, terutama karena salah satu kerabatnya juga mengalami gangguan kesehatan mental. Ia ingin membantu agar kerabatnya bisa hidup lebih nyaman.
Waktu terus berlalu, dan liburan semester pun usai. Kembali ke rutinitas sekolah, Anna masih merasa tak nyaman bertemu orang baru. Ia benci ketika suasana menjadi canggung, dan lebih benci lagi ketika tidak bisa mencairkannya. Baru-baru ini, ia bertemu seorang teman lama di kantin. Situasinya terasa sangat canggung, dan seperti biasa, Anna menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu memperbaiki suasana.
Anna mulai merenung tentang mimpinya menjadi seorang psikolog. Rasa takut tidak mampu menjalani impian itu membuatnya berpikir untuk menyerah dan memilih jalur lain. Tiba-tiba, keributan terjadi di kantin. Salah satu siswa melakukan tindakan nekat, dan darah bercucuran di lantai. Anna teringat kejadian serupa di masa lalu yang membuat tubuhnya gemetar. Ia berlari ke kamar mandi, berusaha menenangkan diri. Apakah ia benar-benar siap menghadapi dunia psikologi?
Sudah seminggu Anna mengurung diri di kamar dan tidak pergi ke sekolah. Ibunya masuk, mencoba membujuknya untuk makan.
"Nak, makan dulu ya, nanti kita ngobrol," kata ibunya lembut, membelai rambut panjang Anna yang menutupi wajahnya.
Ketika Anna memasuki ruangan terapi untuk kelima kalinya, ia disambut oleh senyum lembut dokter yang sudah menunggunya. Setelah beberapa sesi, Sera, pasiennya, meminta untuk menghentikan terapi. Anna mendengarkan dengan sabar, tidak memaksa. Jika Sera merasa cukup, ia tidak akan menahan. Namun, Anna merenung; mengenali diri sendiri memang sulit, tapi bukan berarti mustahil.
Pada akhirnya, setelah melewati berbagai tantangan, Anna berhasil menjadi psikiater. Meskipun ia awalnya ingin menjadi psikolog, perubahan jalur ini membantunya menemukan jati diri. Sedikit demi sedikit, Anna belajar menerima dan berdamai dengan dirinya sendiri. Seperti lautan yang tenang, Anna pun ingin menemukan ketenangan dalam dirinya, seiring dengan namanya, Oceanna.
Cr: Sachita Parelia