Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Saksi Mata Rahasia

14 September 2024   17:01 Diperbarui: 14 September 2024   17:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stasiun kota memang tidak pernah berhenti dari nafas kesibukan. Beradu nasib di ibukota memang bukan suatu hal yang mudah, mengharuskan langkah kaki seakan tidak boleh berhenti agar tidak tersingkir dari pertiwi. Aku menjadi salah satu diantara jutaan orang yang ikut bertarung di dalamnya. Seperti yang disebutkan oleh Darwin tentang teori evolusi, 'Makhluk hidup yang tidak bisa beradaptasi dengan lingkungannya, maka tidak akan bisa hidup,'. Aku mencoba mensejajarkan langkah yang teramat cepat untuk bisa melesat tepat. Tapi sore itu, aku berhenti.

Notifikasi dari ponsel yang tiba-tiba berbunyi mengalihkan perhatianku. Kuraih ponsel, melihat notifikasi Instagram dan ternyata itu kamu yang memposting foto berdua dengan kekasih hatimu yang baru dengan pose yang selalu aku bayangkan dulu jika suatu saat aku dapat foto bersama denganmu. 

Aku terdiam beberapa saat, kemudian berakhir dengan menutup aplikasi dan memasukkan ponsel ke dalam tas untuk berganti kereta karena akan sampai di stasiun transit. Kenangan sialan itu kini sudah mulai memainkan filmnya. Pertunjukkan yang seolah dirinya adalah satu-satunya hal yang bisa aku kenang.

Kereta berhenti. Penumpang turun berhamburan keluar bak air bah yang berdesakan untuk keluar. Aku tidak langsung berganti peron untuk menempuh perjalanan kereta selanjutnya. Entah apa yang mendorongku, untuk kali ini saja aku ingin bergerak perlahan. Perlahan mengikhlaskan hal-hal yang terjadi di masa lalu dan berhenti berkata, "seandainya aku dulu begitu...,". Aku menatap ke sekitar, sepi. Hanya aku dan seorang penumpang pria duduk di peron seberang. Angin sore menyapa wajahku lembut. Tak ku sadar, sesuatu yang aneh terjadi.

Suara sepi itu kini sudah berganti menjadi suara bising orang berbicara tentang pelajaran matematika umum di kelas. Aku membuka mata dan terkejut karena mendapati diriku sudah memakai seragam putih abu-abu.

"Hei, Nar! PR matematika udah belum?" Ucap seorang gadis bertubuh tinggi semampai.

"Hah?" Hanya itu responku.

"Yeee, ni anak malah hah heh hoh, aku pinjem buku MTK kamu, deh," gadis itu mengambil buku tulis MTK dari dalam tas coklat dan duduk di sampingku. Aku melihat nametag di bajunya, tertulis KARLA S.

"La, sekarang tahun berapa?" Gadis itu menoleh ke arahku. Ia menempelkan punggung tangannya ke dahiku.

"Kamu gak panas, kok. Kenapa nanya tahun sekarang? Tahun 2017, lah. Kejedot?" Ia menghiraukan aku dan melanjutkan menyalin PR matematika.

2017? Berarti ini saat aku kelas 3 SMA? Astaga. Aku kembali ke masa lalu? Untuk apa?

"Kinara! Ada yang nyariin kamu, nih!" Teriak teman sekelasku dari pintu kelas. Aku beranjak pergi ke luar kelas dan bertemu dengan seorang laki-laki yang aku rasa tidak asing wajahnya.

"Kamu...,"

"Ikut saya. Sekarang," Ia meraih tanganku 

Kami sudah berjalan---setengah berlari dengan tangan yang masih bertaut. Tiba di lantai dua ruang komputer yang telah lama ditinggalkan karena banyak plafon yang bocor. Manusia memang aneh. Mereka tidak mau memperbaiki hal yang rusak dan lebih memilih untuk beranjak, menemukan tempat yang lebih baik. Padahal, di bangunan baru juga bisa saja bocornya lebih parah.

"Kamu laki-laki yang di peron seberang itu, kan?" Ucapku membuka percakapan setelah lima menit hanya sunyi yang hambar.

"Ya, kamu benar," jawabnya.

"Kenapa aku bisa ada di tahun ini? Tahun 2017?"

"Kamu kembali ke masa lalu,"

"Bagaimana bisa?"

"Tentu saja bisa. Hanya saja, manusia pada zaman mu sebelum ke tahun ini mereka masih primitif,"

"Primitif? Apa kamu---"

"Ya, aku dari masa depan. 2050," aku terlonjak berkali-kali lipat sampai aku jatuh terduduk. Ia, si lelaki misterius itu tetap diam di tempatnya. Perjalanan ruang dan waktu adalah salah satu hal di zamanku yang mustahil untuk dilakukan.

"Kau tahu mengapa aku kembali ke masa lalu dan menemuimu, Kinara?" Kini aku beralih menatap wajahnya dengan kening berkerut.

"Aku tahu, Kinara, kamu memiliki hal yang belum selesai di masa lalu. Kamu memiliki banyak pertanyaan atas semua yang terjadi di masa lalu. Aku ingin kamu menyelesaikannya sekarang," aku bergeming, memikirkan semuanya. Nafasku tidak teratur, degup jantung yang semakin cepat dan keringat yang semakin deras.

"Kamu siapa?"

"Aku tidak bisa menyebutkan namaku karena aku sedang ada di masa lalu, itu peraturan yang harus aku patuhi. Jika tidak, aku tidak akan pernah ada di masa depan dan kamu tidak bisa kembali ke masa dimana kamu hidup sebelum kamu di sini," baiklah. Aku mengerti penjelasannya.

"Ada hal lain yang perlu aku ketahui?"

"Aku tidak bisa dilihat oleh orang lain selain kamu karena aku kembali hanya untuk dirimu," aku hanya ber-oh menanggapi perkataannya.

Terdengar langkah kaki dari tangga.

Tap tap tap

Aku memutuskan bersembunyi di ujung koridor yang penuh dengan kursi bekas dan barang-barang tak terpakai lainnya. Dia seorang lelaki bertubuh jangkung dengan kulit kecoklatan dan rambut hitam legam. Ia mengeluarkan selembar kertas dari saku celana dan membuka kertas tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun