Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Saksi Mata Rahasia

14 September 2024   17:01 Diperbarui: 14 September 2024   17:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nampaknya sebuah surat, pikirku. Sialnya, ada laba-laba yang menempel di pundakku dan aku menjerit ketakutan sambil keluar dari persembunyian itu. Si laki-laki melihat ke arahku dan memasukkan kertas itu ke dalam saku celana sembari mengamatiku dari jauh sementara aku sedang membersihkan diri dari sarang laba-laba yang menempel.

"Kamu ngapain ada disini?" Tanyaku. Aku teramat kenal siapa dia.

"Harusnya aku yang tanya itu. Kamu ngapain ada disini?" Dia malah bertanya balik.

Aku bingung akan menjawab apa, "Ya, kebetulan lewat aja, sih,"

"Mana mungkin kebetulan? Ruang komputer ini di lantai dua dan buntu. Kayaknya nilai ujian Bahasa Indonesia kamu bagus, ya, sampe bisa ngarang yang gak masuk akal," jangan tanya bagaimana perasaanku karena saat ini karena aku sangat jengkel.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kamu ngapain disini, Kinara?"

"Cuma iseng," Ia membaca name tag milikku. 

Dia hanya ber-oh dan kami menghabiskan sore itu dengan berdiam diri dalam hening sampai akhirnya dia pergi.

"Sudah selesai?" Aku terkejut karena Si-Manusia-Masa-Depan berbisik di telingaku.

"Aduh! Bisa nggak jangan ngagetin? Kalau aku mati disini gimana?"

"Seingatku, kamu nggak punya riwayat penyakit jantung, kok. Nar,"

"Lupakan. Bukan itu point pentingnya."

"Jadi, urusan perasaanmu sama dia sudah selesai belum?"

"Nggak tahu," aku kemudian pergi kembali ke kelas karena hari sudah sore dan sekolah sudah sepi dengan suasana hati tak karuan. Hari berganti.

Sudah seminggu aku terjebak di masa SMA ku. Hingga suatu sore, aku bertemu lagi dengan laki-laki yang kutemui di koridor ruang komputer.

"Kita ketemu lagi," ia diam, aku ikut diam.

"Menurutmu..," katanya, 

"kalau perempuan jadi cuek banget pas laki-laki itu udah jadi pacarnya, itu kenapa?"

"Ya, berarti perempuan itu cuma penasaran. Gitu aja masa ngga tau," pertanyaan yang aneh untuk orang asing sepertiku.

"Tapi nanti dia perhatian lagi ke saya--- eh maksudnya ke laki-laki itu," katanya kikuk.

"Suasana hatinya memang gampang berubah, mungkin. Kenapa nggak kamu tanya aja?" Aku menahan tawa karena sebenarnya dia sedang menceritakan dirinya sendiri.

"Gimana mau nanya, orang dia aja lagi nyuekin saya,"

Kan.

"Eh, bukan saya loh, ya. Orang lain, bukan saya! Awas aja kamu berpikiran yang nggak-nggak," ucapnya membela diri.

"Hahahahahaha.. iya deh, iya. By the way, aku Kinara," ucapku sambil mengulurkan tangan. Ia menyambut uluran tanganku sembari menyebutkan namanya.

"Andri,"

Saat menyentuh tangannya, aku merasakan rindu yang terpendam selama beberapa tahun di masa seharusnya aku hidup sudah tersalurkan. Aku melepaskan tangannya.

"Eh, sorry. Ngelanjutin pertanyaan kamu yang tadi, menurutku kamu harus sadar karena mungkin saja perempuan itu cuma penasaran dan, ya, bisa jadi sudah bosan,"

"Widia, namanya Widia. Jangan sebut 'perempuan itu'," aku menutup mulut dan mengangguk mengerti.

"Kamu sendiri, gimana?"

"Gimana apanya?" Tanyaku.

"Punya pacar?"

"Kebetulan nggak,"

"Oh. Mau aku kenalin ke temen sekelasku?" Pertanyaan yang sangat konyol bersamaan dengan ekspresi konyol.

"Nggak. Makasih," percakapan kami berakhir bersamaan dengan tenggelamnya surya di barat.

Waktu terus berjalan hingga sampai pada titik dimana aku jenuh dengan semua cerita Andri tentang perempuan yang ia suka. Bukan masalah perempuannya yang sering gonta-ganti tetapi ia seperti orang bodoh jika sudah masalah perasaan. Hingga di suatu malam pukul 20.00, ia datang ke rumah ku dan izin pamit kepada ibu untuk mengajakku berjalan-jalan sebentar. Ibuku mengizinkan tetapi tidak boleh lewat dari jam 21.00 malam. Berangkatlah kami pergi ke taman kota. Suasana yang sendu sehabis hujan, jalanan becek di beberapa titik, dan bisik angin malam yang menggelitik. Sampai saat ini, masih terlihat beberapa muda-mudi berkumpul, sekedar bercanda atau bercerita seperti aku dan Andri saat ini.

"Nar, aku mau minta pendapat--"

"Pendapat lagi?! Ini perempuan yang mana lagi, Ndri?" Ujarku jengkel.

"Nggak-nggak, ini masih perempuan yang kemarin, soal Sandra. Kamu udah nggak mau dengar lagi, ya?"

"Gini, deh. Jujur ya, Ndri. Aku capek banget denger kamu curhat ke aku tentang semua perempuan yang kamu dekati. Kenapa sih, kamu nggak pernah belajar dari kesalahan? Kenapa harus selalu mengulang kesalahan yang sama dengan orang lain?! Hah?!?!" Nafasku putus-putus, suaraku sedikit meninggi dan dadaku kembang kempis seperti seorang ibu yang memarahi anaknya yang bandel.

"Bukan aku nggak belajar dari kesalahan, Nar. Aku cuma minta sudut pandang kamu tentang perempuan yang aku suka sekarang, kok. Kenapa kamu jadi emosi gini, sih??" Aku sadar telah terbawa emosi.

Aku lalu mengatur napas dan pikiran supaya tetap sadar untuk tidak melewati batas. Batas antara 'teman bercerita' dan perasaan yang tidak kasat mata.

"Kali ini tentang apa?" Aku sudah lebih tenang sekarang.

Ia menyodorkanku selembar kertas usang terlipat-lipat dengan tulisan di dalamnya. Aku membacanya dan ternyata itu tulisan perpisahan dari Sandra. Dasar bodoh! Bahkan ketika aku kembali ke masa lalu pun aku masih bodoh karena masih mau mendengarkan ceritanya. Tapi kali ini, dia tidak menjawab pertanyaanku. Aku melirik ke arahnya. Dia sedikit menangis.

"Aku sayang sama Sandra, Nar, tapi kenapa dia mau putus terus ya?" Cinta monyet itu lagi.

Aku hanya menghela napas. Kalian pasti sudah membodoh-bodohi aku jika sudah sampai bagian ini. Ya karena aku memang bodoh, bahkan setelah bertahun-tahun.

"Udahlah, Ndri. Aku mau pulang, ngobrolnya nanti lagi," pertanyaan yang ia lontarkan tidak aku jawab karena aku sudah terlanjur kesal kepadanya meskipun ia tetap mengantarku pulang dengan selamat.

Malam itu, lagu Terlalu Manis yang dibawakan oleh grup band Slank, mengisi penuh udara di kamarku. Musik dengan melodi ramai tak mampu memeriahkan suasana hatiku saat ini.

Aku menangis tanpa suara di ranjang kasur yang hanya cukup untuk satu orang itu.

Terlalu manis untuk dilupakan

Kenangan yang indah bersamamu

Tinggallah mimpi

Terlalu manis untuk dilupakan

Walau kita memang tak saling cinta

Tak kan terjadi ... (diantara kita)

"Ini kesalahanmu, Kinara, inilah masalah yang belum selesai," aku refleks melompat dari kasur karena terlalu terkejut.

"Kamu ngapain ada disini?! Nggak sopan banget?!?!" Si--Manusia--Masa--Depan itu hanya ber-huft pelan.

"Maaf kalau aku muncul tiba-tiba, tapi aku perlu menyampaikan hal ini ke kamu, Nara. Kamu terlalu takut untuk mengutarakan apa yang kamu rasakan. Kamu terlalu takut untuk bilang ke Andri bahwa kamu memiliki perasaan lain yang tidak bisa kamu jelaskan. Kamu takut hal itu akan menghancurkan pertemanan yang sudah kamu jalin sangat baik dengannya. Kamu--,"

"CUKUP! Berhenti ganggu aku dan silahkan kamu pergi,"

"Tapi--,"

"Pergi. Sekarang," ia lalu menghilang entah kemana, meninggalkan aku berbaring sendirian di ranjang.

Memikirkan semua hal yang sudah terjadi. Aku yang menemani Andri saat ia ingin cerita, memberi pendapat dari sudut pandangku untuknya, hampir sebagian besar perempuan yang ia dekati aku selalu tahu. Manusia itu dinamis. Mereka bisa berubah seperti apa yang mereka mau, yang mereka bayangkan dan yang mereka inginkan. Begitu pula aku dan Andri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun