Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Saksi Mata Rahasia

14 September 2024   17:01 Diperbarui: 14 September 2024   17:03 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perjumapaan. Sumber: pixabay.com

Pagi tadi saat berangkat sekolah aku berpapasan dengannya di gerbang sekolah dan ia menunjukkan senyum yang ringan kepadaku. Aku hanya diam dan tidak merespons dengan senyum atau sapaan. Berlalu begitu saja. Hari sudah sore dan aku berulang kali bertindak bodoh, salah satunya dengan pergi ke ruang komputer lantai dua dan jelas saja aku bertemu dengan Andri di koridor.

"Maaf, Nar, kalo selama ini aku bikin kamu jenuh dengan semua ceritaku tentang perempuan yang aku dekati. Aku minta maaf, tapi kali ini aku benar-benar butuh pendapatmu," Aku hanya diam berdiri di sebelahnya, tanpa mengucapkan apa-apa sampai akhirnya ia buka suara. 

"Nar..," aku tak menjawab 'iya' atau 'tidak', hanya diam.

"Bicara saja," Andri menceritakan semuanya.

Dari A sampai Z. Tentang bagaimana ia berkenalan, mencari tahu semua tentang perempuan yang ia dekati hingga permasalahan sepele yang ia hadapi sekarang dengan perempuan itu.

"Sudah?" Tanyaku. Ia mengangguk.

"Putus aja, daripada pusing kayak gini. Memangnya kamu yakin dia mikirin masalah kalian sampe kayak orang gila gini?" Ujarku santai tetapi tidak demikian untuk Andri.

"Nggak bisa gitu, lah, Nar. Memangnya aku gila? Sama dia tuh, butuh usaha,"

"Ya terus, kenapa sekarang kamu pusing? Lakuin aja USAHA kayak kamu deketin dia dulu," ucapku dengan penekanan yang teramat jelas di kata 'usaha'. Dia diam disusul aku yang juga diam.

"Aku mau ngasih pendapat tapi ini untuk terakhir kali," ia memasang telinga baik-baik.

"Namanya hidup, pasti ada masalahnya. Dari aspek manapun, masalah pasti ada termasuk dalam urusan perasaan. Kamu sudah memilih dia, jadi tanggung semuanya. Jangan libatkan orang lain untuk masalah kamu. Satu hal lagi, aku suka sama kamu, Ndri. Setelah ini, aku harap kita jangan pernah ketemu dan ngobrol lagi. Selamat tinggal,"

Aku lari meninggalkan Andri yang masih mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari mulutku. Aku merasa lega, seperti banyak beban yang terangkat dari hati. Aku tidak lagi memikirkan konsekuensi apa yang akan terjadi nanti. Yang terpenting, aku sudah mengatakan semua yang ingin aku katakan.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu terluka dengan semua cerita-ceritaku, Nar? Kenapa?" Teriak Andri dari ujung tangga paling atas.

"Harusnya kamu bilang dari awal, Nar. Supaya aku tahu, kamu tidak senang saat mendengarnya. Kamu sakit hati ketika mendengarnya," Andri menuruni anak tangga satu per satu hingga sampai pada anak tangga di tempatku berdiri.

"Untuk apa?! Untuk membuat kamu menjauh, begitu? Setelah semua kita lewati bareng-bareng sebagai 'teman'?" Air mataku menggenang, bahkan aku sudah tidak bisa melihat Andri dengan jelas. Dia hanya terdiam.

"Esok hari, aku disini bukan aku yang ini, bukan aku dengan jiwa yang ini. Itu sebabnya aku bilang semua yang aku rasakan. Terima kasih untuk semuanya," aku segera meninggalkan Andri yang kebingungan tanpa menatap matanya. Aku berlari meninggalkan sekolah hingga tiba di perempatan jalan.

"Kamu hebat, Kinara," itu suara Si-Manusia-Masa-Depan.

"Selamat karena sudah berhasil mengungkapkan apa yang kamu rasakan. Kamu bisa kembali ke masa yang sebenarnya dalam 48 jam kedepan," tuturnya.

"Tunggu, apa sekarang aku sudah boleh tahu kamu siapa?"

"Sayangnya tidak, sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberitahu siapa aku sebenarnya. Terima kasih sudah mengatakan semua apa yang kamu rasakan kepada Andri. Aku akan kembali lagi menemuimu dalam 48 jam kedepan. Selamat tinggal," ia tersenyum lembut.

"Selamat tinggal," balasku. Sebelum Si-Manusia-Masa-Depan menghilang, ia memberikanku sebuah gantungan kunci berwarna biru dengan corak bunga lily.

47 jam sudah terlewat, sisa 1 jam lagi sampai aku harus kembali ke masa yang sebenarnya. Aku telah menunggu orang itu datang untuk menjawab perkataanku pada beberapa hari yang lalu. Akhirnya ia datang.

"Halo," sapaku.

"Aku punya jawabannya sekarang, Nar. Tapi sebelum itu aku mau minta maaf kalau ternyata tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan," katanya sambil tersenyum.

"Ya, katakan saja,"

 "Aku sadar bahwa hanya kamu yang selalu ada untukku. Hanya kamu. Aku sangat berterima kasih untuk itu. Tapi maaf," Ia menelan ludah sejenak dan mengatakan semuanya.

"Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang sebagai temanmu," aku sudah bisa menebak apa kelanjutannya. 

Aku tersenyum sambil menahan air yang sedikit menggenang di pelupuk mata.

"Aku minta maaf, Kinara. Semoga kamu menemukan seseorang yang lebih baik di masa depan, aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu," tambahnya.

Aku hanya bisa mengangguk paham akan keputusannya, bahwa aku memang hanya dianggap 'teman' olehnya dan tidak berubah. Si-Manusia-Masa-Depan datang tepat waktu, kemudian menghentikan waktu di sekitarku termasuk Andri yang berhenti bergerak. Aku menatap wajahnya untuk terakhir kali sebagai aku dari masa depan. Aku langsung menutup mata saat Si-Manusia-Masa-Depan memerintahkannya. Sekejap, aku sudah berada di masa yang seharusnya aku berada dengan keadaan yang masih sama. Si-Manusia-Masa-Depan kemudian menghilang setelah kami mengucapkan kalimat selamat tinggal. Masih dengan keadaan ibukota yang bising serta langkah kaki yang terus berpacu dengan waktu.

"Masihkah kau ingat padaku? Aku Saksi Mata Rahasiamu, Andri," aku membuka ponsel dan melihat postingan terbaru pada akun Instagram milikmu.

Aku sadar bahwa apa yang diharapkan tidak semua bisa terjadi, sekalipun berdo'a sampai berbusa jika tidak digariskan untukmu maka tidak akan pernah terjadi. Kenyataannya, Tuhan selalu menggariskan sesuatu untuk dijadikan pelajaran. Awal terjadi, rasanya berat sekali. Menerima sesuatu yang tidak pernah diharapkan. 

Namun percayalah, Tuhan akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Setelah perjalanan 'singkat' ke masa lalu, aku menjadi lebih ikhlas atas semua hal yang terjadi di masa lalu dan menjalani kehidupan yang sekarang dengan perasaan ringan di dalam hati. Ya, semoga saja akan terus begitu.

CR: Lurry Puspa Kinasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun