PERINGATI HARI KARTINI KITA PERLU SADAR ANTARA IRONI DAN REALITAÂ
Setiap Tanggal 21 April Kita selalu mengetahui secara seksama sebagai hari KARTINI, bangsa indonesia khususnya kalangan terdidik pasti semua tau Namnya, namun saya yakin banyak dari sosok emak-emak diIndonesia yang hamya tau namanya saja. Dan kebanyakannya sama sekali tidak mengetahui sejarah perjuangan serta filosopih dari sebuah makna peringatan Hari Kartini.
Di era post truth seperti sekarang ini seharusnya kemajuan informasi teknologi diimbangi dengan kemajuan pengetahuan yang holistik serta multy-interpretatif. Meski secara garis revolusi industri hari ini kita sedang dihadapkan pada sebuah kejumudan presefsi individu yang arogan serta cendrung reaksioner dalam mengejawantahkan realitas pasca helatan election day yang secara ratio antusiasme pemilih cukup signifikan peningkatnnya. Contoh saja di Jawa Barat antara pemilih laki-laki dan perempuan di akumulasikan ada peningkatan jumlah pemilih yang tercatat dalam DPT sekitar 7% dimasing-masing kab/kota sejabar.
Saya kira itu merupakan sebuah kemajuan yang diperlihatkan oleh warga jabar khususnya, umumnya Bangsa Indonesia, dalam upaya peningkatan jumlah partisipasi pemilh dalam Pemilu 2019 ini menunjukan bahwa masivnya arus informasi menjadi titik tolak dari hulu ke hilir begitupun sebaliknya. Indonsua saat ini memasuki babak baru untuk memajukan kembali berbagai program strategis yang telah dilakukan ataupun yang akan dikerjakan tanpa ada dikotomi arus, ataupun distorsi sejarah bangsa indonesia ini.Â
Mengapa demikian pentingnya meningkatkan partisipasi pemilih dalam sebuah helatan Pesta Demokrasi di Negara Kita ini. Mengingat bahwa konteks pergerakan sebuah masyarakat tergntung pada watak dan corak kesadarannya, dari 200 juta lebihjumlah jiwa Di Indonesia masih sedikit dari banyak nya masalah yang terjadi disikapi secara nomeral, artinya letak kemajuan bangsa tersebut ternyata ada pada pengetahuan sejarahnya, sejauhmana dia bisa menjembatani manusia lain secara utuh, arus masyarakat modern tidak bisa dibendung.
Pun dengan arus masyarakat pinggiran tetap pada value ekschange yang timpang dengan realitas. Sejatinya kemajuan ilmu pengetahuan SDM negara kita-pun masih lemah, kita lihat dari tingkat kesadaran membaca dan menulis saja bangsa kita masih menempati posisi ke-47 dari 65 Negara di Asia. Ini merupakan sebuah masalah besar bagi kita khususnya menyikapi arus masyarakat pinggiran yang rata2 gini ratio perempuannya tidak memiliki produktifitas yang signifikan.
Mau maju secara Pengetahuan bagaimana jika gerakan Partiarki masih disadari sebagai perubahan alamiah yang tidak diindahkan secara seksama melalui gerakan pengentasan kebodohan dan ketimpangan sosial, minimnya pengetahuan yang dikonsumsi bagi kebanyakan SDM perempuan dipedesaan ataupun diperkotaan menjadi sebuah penyebab sulitnya memunculkan KARTINI diera revolusi industri 4.0 ini. Belum lagi watak yang mengedepankan ego ketimbang fikirannya membuat manusia yang berlablekan perempuan tersebut kesulitan memetakan sebuah permasalahan dan solusi atas pengetahuan yang ada.
Inilah IRONI dan REALITA dinegeri Tercinta, salam juang bagi kartini-kartini yang selalu haus akan perubahan yang dimulai sejak dalam pikiran, saya sebagai penulis saja mencoba mengimplementasikan gerakan sejarah KARTINI kepada keluarga khusunya istri saya, dan tidak mudah ternyacata bagi seorang IRT yang kesehariannya perlu mengurusi RUMAH juga Suaminya, kita rasionalkn saja semisal Seorang perempuan yang sudah berumah tangga saja, secara kalkulasi waktu dari 24 jam waktu normal apabila seorang istri muda memiliki waktu produktif rata-rata 4-7 jam dalam sehari semalam itupun produktifitas mengurusi rumah tangga ya sahabat, belum jika seorang perempuan karir, sudah tidak terbayangkan dimana waktu ia mengonsumsi nutrisi ilmu pengetahuannya.
Ok silahkan rasionalkan saja secara logika, bahwa semua manusia tak terlepas perempuan ataupun laki-laki pasti menginginkan kemajuan individu, mau itu dalam bidang intern ataupun ekstern. Jika saja yang di kritisi oleh istri itu bukan hanya soal, Uang belanja Dapur yang kurang ataupun uang belanja kosmetik yang cendrung selalu berevolusi dengan menyesuaikan merk poundation misal, atau bahkan uang shoping yng selalu saja itu dituntut kepada suami. Huhh.. Deh... Coba difikir ya tugas antara suami memberi nafkah kepada keluarga perbadingannya dimana . Hehe... Coba kita throwback sobat berdikari, misal ibu kita yang selalu mengimgatkan saat kita kecil sampai dewasa, beliaubselalu ingat kepada sebuah perjuangan para orang tuanya dahulu, sejarah memang selalu menjadi tolak ukur keberlangsungan kehidupan manusia dari jaman samawi sampai kini.
Lalu terbersit pertanyaan bagaimana kah sebuah negara dapat memiliki tingkat kemajuan pengetahuan bagi SDM perempuan dipedesaan ataupun diperkotaan seperti halnya sosok-sosok perempuan hebat yang negara kita miliki dahulu, coba mulai dari kita, dari sebuah kesadaran organisatoris juga subtantif. Saya yakin perempuan bisa lepas dari belenggu pemahaman sudut pandang patriarkisme. Mulai dari diskusi dan menyusun strategi bagi kemajuan pengetahuan perempuan dari lingkungan kita semisal. Dan sebarkanlah setiap pengetahuan yang kita miliki kepda sipapun yang kehendak watak dan pengetahuannya ingin maju.