Oleh: Nursayyid Santoso Kristeva
Disadur dalam Training Of Facilitator (Tof)
Sebuah gerakan yang rapi dan massif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah perebutan. Tanpa mengunakan logika ini maka gerakan akan selalu terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyuran dan kebanggaan diri belaka. Katakanlah kita sedang akan membangun sebuah gerakan maka dimana wilayah perebutan yang akan kita temui dan oleh karena itu apa yang harus kita produksi dan mengunakan jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak disabotase di tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata rantai yang tidak boleh putus, karena putusnya sebuah mata rantai ini berati matinya gerakan atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan menjadi tempat kader-kadernya heroisme-ria. Dan yang lebih penting bahwa gerakan semacam ini akan lebih mudah untuk di aborsi. Yang pertama-tama perlu di kembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan dengan masa lalu, bukan karena semata-mata masa lalu itu ada, tetapi karena masa lalu telah membentuk hari ini dan hari esok. Artinya capaian tertinggi dari sebuah gerakan adalah ketika satu generasi telah berhasil mengantar generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih tingi. Visi historis inilah yang akan menjadikan PMII sebagai organisasi besar yang berpandangan kedepan dan universal, karena PMII tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau dua puluh tahun, tetapi PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur dan sistem. Dengan demikian paradigma menempati posisi yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke depan, bukan semata-mata karena kita membutuhkan paradigma, tetapi karena paradigma itu seharusnya memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam bingkai dunia.
Selama ini, perdebatan paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang didasarkan pada gerak maju yang terencana. Kondisi seperti inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan dan perebutan sektor-sektor setrategis yang memiliki resonansi luas kepada publik. Sejauh berkaitan dengan perubahan struktural yang dicitakan PMII, maka pendudukan dan perebutan sektor-sektor publik adalah suatu keniscayaan. Masalahnya selama ini yang di puja-puja oleh sebagaian besar aktifis PMII adalah gerakan kultural an sich yang mengabaikan segala sesuatu yang bersifat struktur. Katakanlah dikotomi gerakan kultural-struktural yang menjadikan PMII sebagai penjaga gerbang kultural sementara organisasi kemahasiswaan yang lainnya, misalnya sebagai pemain struktural telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal tentang gerakan yang dibayangkan (imagined movement) oleh kader-kader PMII, bahwa PMII cukup hanya bergerak di LSM-LSM saja dan tidak perlu berorientasi di kekuasan. Jadi paradigma merupakan suatu keniscayaan yang di bangun berdasakan atas pandangan PMII tentang dunia dalam realitas globalisasi dan pasar bebas yang saat ini sedang berjalan.
Konsistensi Kaderisasi PMII di Tengah Transformasi Global Pemikir kontemporer Inggris, Anthony Giddens menggambarkan istilah globalisasi sebagai runway world. Dunia yang tunggang langgang. Istilah itu bukan sekedar menggambarkan seekor kuda yang berpacu dengan cepat, atau harimau yang sedang mengejar mangsanya. Kecepatan mereka tidaklah memiliki dampak siginifikan lingkungan sekelilingnya. Jika diqiyaskan, barangkali mirip dengan bencana Tsunami yang menimpa bangsa kita. Gelombang Tsunami, kita tahu, menyeret, menerjang, dan menghancurkan, apapun, di depannya. Namun, sedahsyat apapun gelombang tersebut, tetap ada yang survive. Demikianlah dengan apa yang terjadi di dunia ini. Transformasi global melanda semua wilayah, dari kota metropolitan hingga pelosok pedesaan.
Transformasi global menembus semua dataran, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, hingga nilai. Di berbagai negara maju yang rawan bencana alam, seperti Jepang, AS, dan lainnya, korban dari bencana dapat diminimalisir. Berbagai teknologi dan sumber daya manusia disiapkan untuk mengantisipasinya. Bencana alam yang selalu terjadi pun relatif dapat "dijinakkan." Kata kunci menjinakkan berbagai bencana tersebut adalah kemampuan memahami struktur tantangan bencana alam. Dengan memahami struktur tersebut, mereka menciptakan teknologi, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang berkualitas.
Pemadanan di atas dapat diterapkan dalam konteks transformasi global yang saat ini sedang terjadi. Transformasi yang berjalan cepat dan kompleks ini akan berubah menjadi bencana jika kita gagal memahami logika dan arahnya, kemudian merancang langkah dan strategi, agar bukan hanya mampu menghindar gelombang globalisasi, namun juga mampu memanfaatkan potensi globalisasi. Dalam pengertian inilah makna konsistensi kader harus diletakkan. Dengan demikian, ada tiga tugas besar kita dalam hal ini. Pertama, memahami logika transformasi global. Kedua, melakukan kritrik otokritik terhadap kita dan organisasi kita. Ketiga, menyiapkan jawaban yang bertumpu pada bacaan kedua hal di atas.
Yang pertama kita harus memahami aktor sosial dibalik proses-proses globalisasi, logika yang bekerja, ideologi dominannya, dan dampaknya terutama terhadap masyarakat marjinal seperti kalangan nahdliyyin. Dataran keduanya mencoba untuk membangun tradisi agar kita mampu memandang komunitasnya sendiri. Dari peneropongan internal ini kita akan memahai kekuatan dan kelemahn kita. Sedangkan yang ketiga kita akan memahami secara konkret makna konsistensi kader di tengah transformasi global. Konsistensi Kader Demikianlah dampak dari apa yang disebut transformasi global. Tanpa memahaminya secara kritis kita akan benar-benar menjadi korban Tsunami globalisasi. Pemaknaan konsistensi kader diletakkan dalam konteks ini sehingga bukan hanya mampu mengelak dari dampak negatifnya, namun juga mampu merebut peluang dari globalisasi. Pemaknaan tersebut kemudian diterjemahkan dalam konteks kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan organisasi kita. Paling tidak kita telah memiliki modal sosial dan kultural yang kaya. Kesatuan hati (ideologi), karakter kultur, dan bangun organisasi yang mencakup berbagai wilayah dan isu. Sehingga, konsistensi kader pun dimaknai dalam pengertian multilevel. Bukan sekedar konsistensi dalam pengertian kesetiaan mengawal agenda-agenda kultural. Namun harus dimaknai lebih maju daripada itu. Di sini penulis menawarkan paling tidak empat level pemaknaan konsistensi kader. Pertama, pemaknaan paling dasar, yakni untuk tetap setiap mengawal kerja-kerja organisasi yang berorientasi penguatan masyarakat. Pemaknaan ini merupakan penolakan terhadap proses politisasi organisasi baik dalam pengertian politisasi kelembagaan, maupun personal dalam pengertian beraktivisme di PMII sebatas batu loncatan untuk meraih karir politik personal. Semangatnya adalah khidmah dengan segala resikonya: tidak populer dan miskin. Kedua, konsistensi di atas diterjemahkan dalam kerja panjang mencetak SDM berkualitas yang mampu menjawab tantangan zaman. Salah satu karakter globalisasi adalkah persaingan dengan pola berbasis kualitas SDM. Artinya, untuk memenangkan kompetisi liar globalisasi tidak lain dengan memenangkan kualitas SDM. Reorientasi teologis menjadi penting untuk membangun pijakan bahwa kepakaran dalam ilmu fiqh, dalam konteks jamaah, tidak melebihi kepakaran dalam pertanian, kelautan, atau teknologi komputer. Ketiga, konsistensi di atas ditransformasikan dalam konteks kelembagaan sehingga pemberdayaan kader seiring dengan penguatan organisasi. Kekuatan kepemimpinan kharismatik atau personal sudah saatnya ditransformasikan menjadi kekuatan kelembagaan. Sehingga tumpuan organisasi bukan lagi personal, namun sistem. Kekuatan kelembagaan ini menjadi penting untuk menopang sekian agenda penting organisasi. Keempat, kekuatan kelembagaan di atas diberi ruh dengan perspektif yang kritis terhadap living reality dan living issues di masyarakat. Sehingga mampu merespons secara kreatif berbagai tantangan global. Pada titik ini gerakan organisasi bukan lagi bertumpu pada upaya merebut momen dari dinamika geopolitik dan geoekonomi global, namun ikut menciptakan momen atau menentukan arus strukturalnya.
Reparadigmatisasi Praxis Kaderisasi PMII
Dengan konteks problematik semacam itu lalu apa signifikansi deklarasi PMII ini? Paling tidak PMII menjadi penting dalam konteks membangun oposisi kritis di negeri ini. Oposisi kritis yang sejati susah disandarkan pada kekuatan parlementarian yang terjebak dalam nalar kalkukasi kekuasaan. Maka, oposisi kritis hanya bisa diharapkan dari kaum muda, salah satunya PMII. Apalagi dalam konteks daerah seperti Bantul yang posisi asosiasi masyarakat sipil belum begitu kuat. Manifestasi dari oposisi kritis ini adalah mendorong perlawanan terhadap penterasi kepentingan global dalam berbagai kebijakan terutama dalam bidang liberalisasi perdagangan, privatisasi, pencabutan subsidi sosial untuk melindungi hak[1]hak sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat, serta SDA; mendorong kebijakan publik yang berbasis pada kepentingan rakyat dan menuntaskan konsolidasi demokrasi (meletakkan basis material-konstitusional demokrasi substansial); membangun kesadaran kritis di masyarakat hingga mampu mengorganisir komunitasnya. Sedangkan secara internal, peran penting PMII adalah mencetak kader yang memiliki kekuatan analisis sosial tajam; berbasis pengetahuan global, nasional, dan lokal; memiliki kapasitas leadership dan teknikalitas organisasi handal; serta memiliki integritas moral yang tinggi
Pertama, PMII haruslah tetap memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat sipil. Gerakan mahasiswa harus kembali ke khittah sebagai bagian dari gerakan sosial masyarakat. Pijakan ini, tidak dimaknai sebagai anti-negara, atau antiglobalisasi mutlak seperti sering disalahpahami, melainkan menempatkan gerakan mahasiswa sebagai solidarity maker dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness), dan melakukan advokasi sosial kerakyatan. Ketika era Orde Baru, semua elemen masyarakat sipil dalam satu barisan menentang otoritarianisme negara. Berhadap-hadapan dengan negara dan pasar. Begitu proses dekontruksi terjadi, dan terjadi proses liberalisasi politik, sebagian besar mereka, dari intelektual sampai aktifis LSM, dari akademisi sampai aktifis mahasiswa, melakukan proses negaranisasi. Di titik ini, terjadi kevakuman actor gerakan yang setia mendampingi dan. memperjuangan hak-hak masyarakat. Di sinilah, gerakan mahasiswa harus menempatkan khittah perjuangannya.
Kedua, bergerak dengan basis lokalitas. Gerakan dengan basis lokalitas memiliki dua makna. Makna pertama, gerakan mahasiswa hendaknya tanggap terhadap persoalan riil yang terjadi di sekelilingnya. Penggusuran, biaya pendidikan mahal, harga pupuk yang melambung, akses kesehatan yang mahal sampai persoalan Peraturan daerah sebagai implikasi logis otonomi daerah harus menjadi basis material gerakan. Isu-isu lokal semacam ini niscaya memiliki keterkaitan dengan desain global. Karenanya, bergerak dengan basis lokalitas bukan berarti abai dengan realitas global, namun justru mematerialkan berbagai isu global. Bergerak dalam ranah ini mensyaratkan pemahaman politik, sejarah, sosiologi, antropologi, dan ekonomi masyarakat lokal. Makna kedua, terkait dengan ranah pertarungan PMII di kampus. Merebut basis kampus adalah satu-satunya jawaban jika PMII hendak merebut masa depan.
Ketiga, rekonstruksi teologi sosial. Tantangan yang terkait dengan keagamaan dan keislaman merupakan tantangan yang kian membutuhkan respons serius. Paling tidak tiga hal yang mendasari hal ini. Pertama, liberalisasi telah menumbuhkan keberislaman yang cenderung ekstrem. Kedua, kemandegan pemikiran Islam kritis atau kiri Islam. Seperti terlihat, pemikiran tersebut kehilangan relevansi sosialnya seiring runtuhnya otoritarianisme negara. Pemikiran teologi keislaman kritis telah mengalami kemandegan. Pemikiran Islam kiri lahir dalam konteks berhadapan dengan negara. Ketika negara mengalami pergeseran, pemikiran tersebut kehilangan basis social, sehingga tidak berkembang dengan intensif. Pada saat yang sama lahir basis social baru yakni realitas globalisasi yang membutuhkan rekonstruksi teologi social baru keislaman agar gerakan social berbasis Islam dapat merespons secara kritis perkembangan globalisasi. Ketiga, keringnya spiritualitas warga pergerakan. Dekonstruksi dan “sekularisasi” yang terlalu berlebihan telah menyebabkan PMII gagal memberikan semacam keberislaman berbasis spiritualitas yang dibutuhkan masyarakat awam, sekaligus mendasari ruh perjuangan. Karenanya, pemikiran keislaman tersebut harus mneyatu dengan teori gerakan, lebih empiris, operasional, dan applicable.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H