Mohon tunggu...
Farda Noprianto
Farda Noprianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang

saya seorang mahasiswa ilmu sejarah yang gemar menulis sebuah tulisan sejarah dari topik tertentu, selain itu saya memiliki ketertarikan pada hal-hal yang berbau kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah dan Kebudayaan Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang

20 April 2023   00:34 Diperbarui: 20 April 2023   00:37 1693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sesi wawancara dengan bapak Sujitno selaku narasumber (Dokpri)

Secara historis, cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk ialah desa. Soetardjo Kartohadikoesomoe dalam bukunya yang berjudul "Desa", menjelaskan bahwa istilah desa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "Swadesi" yang memiliki arti tempat asal, tempat tinggal atau negeri asal. Dahulu kala desa merupakan kesatuan masyarakat kecil, sehingga pola hubungan serta tingkat komunikasi pada masa itu masih sangat rendah terutama di daerah pedesaan yang terpencil/pedalaman. Begitu pula dengan Kelurahan Mangunharjo, jauh sebelum menjadi kelurahan, Mangunharjo dulunya merupakan sebuah desa kecil.

Mangunharjo merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Tembalang. Memiliki luas wilayah 303.796 km, dengan jumlah penduduk sebanyak 12.285 jiwa. Kelurahan Mangunharjo kini berisikan perumahan-perumahan elite yang diisi oleh para pendatang, baik dari Kota Semarang sendiri maupun luar kota. Kemajuan ini terus berkembang seiring berjalannya waktu. Namun, bagaimana asal-usul dari Kelurahan Mangunharjo jauh sebelum menjadi kelurahan masih sulit untuk diurai, karena keterbatasan sumber sejarah tertulis dan hanya mengandalkan sumber lisan. Pada kesempatan ini, mahasiswa KKN UNNES 2023 berupaya untuk melestarikan nilai sejarah dari Kelurahan Mangunharjo dengan menguliknya melalui sumber lisan dari warga asli Mangunharjo.

Sumber lisan bisa berupa cerita dari mulut ke mulut, dari orang yang mengalami langsung, dan turun temurun diceritakan ke anak hingga cucu mereka. Bapak Sujitno, narasumber yang didapat bersedia menjelaskan mengenai bagaimana asal-usul terbentuknya Desa Mangunharjo hingga kini menjadi sebuah kelurahan.

Asal-Usul Terbentuknya Desa Mangunharjo

Diketahui asal usul berdirinya Desa Mangunharjo sebelum menjadi kelurahan jauh sebelum zaman penjajahan bangsa kolonial Belanda di Indonesia berlangsung, mungkin bisa dikatakan di zaman kerajaan. Diketahui ada seorang punggawa Kerajaan Demak yang dikenal dengan nama Mbah Jo Slepo yang mengembara karena terjadi perselisihan dengan pihak Kerajaan Demak kala itu, sehingga beliau dengan keluarga serta sahabatnya mengembara pergi dari Demak.

Dari perjalanan tersebut kemudian tibalah di sebuah wilayah yang kala itu masih berupa hutan dan tidak ada penduduk. Menurut cerita Pak Sujitno, Mbah Jo Slepo merasa nyaman dengan tempat tersebut karena terdapat aliran sungai yang mengalir jernih sehingga Mbah Jo Slepo dan lainnya membuat pemukiman dan menetap. Selang waktu kemudian banyak pendatang yang kemudian menetap juga karena melihat ada pemukiman yang didirikan oleh Mbah Jo Slepo, lambat laun pendatang yang datang dan menetap semakin banyak dan terbentuklah menjadi sebuah desa.

Terbentuknya Desa Mangunharjo Hingga Peralihan Menjadi Kelurahan

Mbah Jo Slepo kemudian memberi nama desa tersebut yaitu Mangunharjo, yang memiliki arti Mangun "membangun" Harjo "tentrem/rejo". Setelah terbentuknya Desa Mangunharjo, kemudian perlu adanya seorang kepala desa sebagai pemimpin di Desa Mangunharjo. Dari hasil wawancara dengan Pak Sujitno, diketahui seorang Kepala Desa yaitu Mbah Sukarjo yang masih satu garis keturunan dengan Pak Sujitno (narasumber). Mbah Sukarjo diperkirakan menjabat beberapa puluh tahun hingga pada akhirnya terjadi pergantian kepala desa dengan diangkatnya Mbah Samian yang diperkirakan menjabat hingga tahun 1972.

Kemudian pada 1972-1975 Pak Rusman menjabat sebagai PLT (pelaksana tugas sementara) menggantikan mbah Samian yang kala itu pensiun. Pada tahun 1975 kemudian dilaksanakan pemilihan kepala desa kembali dengan diikuti dua calon yaitu Pak Sugiyanto dan Pak Sujitno sendiri. Pada pemilihan tersebut terpilih Pak Sugiyanto yang menjabat hingga tahun 1999. Mangunharjo kala itu masih masuk wilayah Ungaran, hingga pada tahun 1977 ditarik oleh kota Semarang dan masuk di Kecamatan Tembalang.

Bangunan bekas kantor kelurahan yang pertama (Dokpri)
Bangunan bekas kantor kelurahan yang pertama (Dokpri)

Pada saat Pak Sugiyanto menjabat, terjadi pengangkatan PNS secara massal sekaligus peralihan dari desa menjadi kelurahan. Sehingga seluruh perangkat yang bertugas diangkat menjadi PNS. Pelaksanaan tugas kelurahan ini berlangsung di Rumah Pak Sugiyanto hingga pada tahun 1984 mulai menempati Kantor Kelurahan yang telah selesai dibangun sejak tahun 1983. Kantor kelurahan kala itu masih bertempat di wilayah RW 1, hingga pada 2005 pindah ke kantor yang hingga saat ini digunakan yang berada di wilayah RW 2 tepat di pinggir jalan.

Pemekaran Wilayah, Keadaan Geografis hingga Sosial-Budaya Masyarakat

Wilayah Kelurahan Mangunharjo pada awalnya hanya terdiri dari RW 1 & 2. Hingga pada tahun 1993, ada penataan wilayah oleh Pemkot Semarang sehingga ada beberapa wilayah yang masuk menjadi wilayah Kelurahan Mangunharjo termasuk wilayah yang kini menjadi RW 3. Seiring berjalannya waktu, wilayah Mangunharjo mulai banyak dibangun perumahan hingga sekarang terdapat 10 RW yang 5 di antaranya merupakan perumahan yang notabene diisi oleh para pendatang dari luar Mangunharjo.

Wilayah Mangunharjo merupakan daerah perbukitan dan masih banyak wilayah hijau pepohonan rindang. Hal ini juga diketahui menjadi penyebab Mbah Jo Slepo berhenti dan menetap di Mangunharjo karena merasa nyaman serta terdapat aliran sungai yang kini dijadikan tempat wisata alam dengan nama "Keceh Asmoro". Sehingga keadaan geografis juga menjadi faktor kemudian terbentuknya Desa Mangunharjo kala itu. Selain itu dengan keadaan geografis yang demikian, dahulu warga Mangunharjo mayoritas bekerja sebagai petani kebun dengan komoditas berupa umbi-umbian, jagung, hingga padi pekarangan.

Dengan mayoritas mata pencaharian sebagai petani, kesadaran pendidikan warga Mangunharjo kala itu masih rendah dan menganggap pendidikan tinggi tidak terlalu penting. Setelah tahun 1975 mulai ada peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga warga Mangunharjo mulai memikirkan pendidikan tinggi untuk anak-anak mereka. Hal tersebut tentunya memberi peningkatan bagi sosial masyarakat Mangunharjo.

Selain berbicara sejarah, Mangunharjo juga menyimpan kebudayaan yang turun temurun dilakukan hingga saat ini. Seperti Sedekah Deso yang diikuti acara pewayangan, Nyadran hingga Kirab Budaya yang biasanya dilaksanakan menyambut bulan Ramadhan.

Sedekah Deso merupakan tradisi yang biasa dilakukan sebagai rasa syukur setelah panen. Tradisi ini diikuti dengan pertunjukan wayang dan dihadiri oleh warga Mangunharjo. Sedangkan, Nyadran merupakan salah satu tradisi yang melekat pada masyarakat Jawa. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta "Sraddha" yang artinya keyakinan. Tradisi Nyadran ini berisi serangkaian kegiatan seperti mendoakan leluhur yang sudah meninggal di makam setempat. Secara historis, tradisi Nyadran merupakan akulturasi budaya antara Jawa dengan Islam.

Sedangkan, Kirab Budaya sendiri seperti Sedekah Deso yang merupakan tradisi dalam rangka mengungkapkan rasa syukur atas hasil bumi. Namun, Kirab Budaya ini berisikan kegiatan arak-arakan membawa sebuah gunungan berupa sayuran ataupun buah-buahan dan masih banyak lagi kegiatan yang tidak jauh dari kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun