Wilayah Kelurahan Mangunharjo pada awalnya hanya terdiri dari RW 1 & 2. Hingga pada tahun 1993, ada penataan wilayah oleh Pemkot Semarang sehingga ada beberapa wilayah yang masuk menjadi wilayah Kelurahan Mangunharjo termasuk wilayah yang kini menjadi RW 3. Seiring berjalannya waktu, wilayah Mangunharjo mulai banyak dibangun perumahan hingga sekarang terdapat 10 RW yang 5 di antaranya merupakan perumahan yang notabene diisi oleh para pendatang dari luar Mangunharjo.
Wilayah Mangunharjo merupakan daerah perbukitan dan masih banyak wilayah hijau pepohonan rindang. Hal ini juga diketahui menjadi penyebab Mbah Jo Slepo berhenti dan menetap di Mangunharjo karena merasa nyaman serta terdapat aliran sungai yang kini dijadikan tempat wisata alam dengan nama "Keceh Asmoro". Sehingga keadaan geografis juga menjadi faktor kemudian terbentuknya Desa Mangunharjo kala itu. Selain itu dengan keadaan geografis yang demikian, dahulu warga Mangunharjo mayoritas bekerja sebagai petani kebun dengan komoditas berupa umbi-umbian, jagung, hingga padi pekarangan.
Dengan mayoritas mata pencaharian sebagai petani, kesadaran pendidikan warga Mangunharjo kala itu masih rendah dan menganggap pendidikan tinggi tidak terlalu penting. Setelah tahun 1975 mulai ada peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga warga Mangunharjo mulai memikirkan pendidikan tinggi untuk anak-anak mereka. Hal tersebut tentunya memberi peningkatan bagi sosial masyarakat Mangunharjo.
Selain berbicara sejarah, Mangunharjo juga menyimpan kebudayaan yang turun temurun dilakukan hingga saat ini. Seperti Sedekah Deso yang diikuti acara pewayangan, Nyadran hingga Kirab Budaya yang biasanya dilaksanakan menyambut bulan Ramadhan.
Sedekah Deso merupakan tradisi yang biasa dilakukan sebagai rasa syukur setelah panen. Tradisi ini diikuti dengan pertunjukan wayang dan dihadiri oleh warga Mangunharjo. Sedangkan, Nyadran merupakan salah satu tradisi yang melekat pada masyarakat Jawa. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta "Sraddha" yang artinya keyakinan. Tradisi Nyadran ini berisi serangkaian kegiatan seperti mendoakan leluhur yang sudah meninggal di makam setempat. Secara historis, tradisi Nyadran merupakan akulturasi budaya antara Jawa dengan Islam.
Sedangkan, Kirab Budaya sendiri seperti Sedekah Deso yang merupakan tradisi dalam rangka mengungkapkan rasa syukur atas hasil bumi. Namun, Kirab Budaya ini berisikan kegiatan arak-arakan membawa sebuah gunungan berupa sayuran ataupun buah-buahan dan masih banyak lagi kegiatan yang tidak jauh dari kebudayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H